Yang sudah baca novelku sebelumnya, ini kelanjutan cerita Brayn dan Alina.
Setelah menikah, Brayn baru mengetahui kalau ternyata Alina menderita sebuah penyakit yang cukup serius dan mengancam jiwa.
Akankah mereka mampu melewati ujian berat itu?
Yuk baca kelanjutan ceritanya 😊
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
"Kenapa kamu tidak memandangku sedikit saja? Padahal aku sudah berusaha keras untuk menjadi perempuan yang sesuai harapanmu. Kamu pernah bilang padaku menginginkan pasangan yang shalihah dan yang menutup auratnya. Aku sudah berusaha memenuhi semua itu?"
"Astaghfirullah, Siska lepas!" Brayn ingin melapas tangan wanita itu, namun semakin erat Siska memeluknya.
Ia menempel di punggung dengan begitu ketat.
"Kenapa kamu tidak memandangku sedikit saja dan malah menikahi Alina? Aku berusaha sabar. Di saat kamu mengucapkan ijab atas namanya, hati aku hancur. Hancur karena aku berharap namaku akan jadi satu-satunya nama yang kamu sematkan dalam ijabmu."
Mendengar kalimat panjang Siska, Brayn menghela napas.
Karena pelukan wanita itu semakin erat, Brayn menghempas dengan kasar hingga keduanya terpisah.
Meskipun merasa kesal, namun Brayn berusaha menahan diri. Siska adalah teman lamanya. Mereka kuliah di tempat yang sama.
Siska bahkan sudah beberapa kali menyatakan perasaannya terhadap Brayn, namun harus berakhir dengan penolakan halus.
"Jaga batasan, Dokter Siska! Ingat ini tempat umum. Kita sedang ada di rumah sakit. Apa kata orang nanti kalau ada yang melihat?"
Siska menyeka air mata yang membanjiri pipinya.
"Maaf, aku terbawa perasaan. Sejujurnya, aku masih sangat mengharapkan kamu."
"Aku mohon jangan berharap lagi. Di luar sana ada banyak laki-laki yang baik. Aku sudah menikah dan aku mencintai istriku."
"Kenapa malah Alina yang menjadi pilihanmu? Bukankah dia jauh dari kriteriamu? Aku tahu aku tidak berhak menilai seseorang. Tapi, dia sama sekali tidak memenuhi kriteria yang pernah kamu katakan padaku."
"Memenuhi atau tidak, dia tetap istriku. Tolong, Sis. Jangan buat aku menjauhimu."
Wanita itu menggeleng cepat. Maju mendekat, tapi Brayn lagi-lagi memberi jarak.
"Aku tahu kondisi Alina. Dia sudah ceritakan padaku dan dia berharap aku menemani kamu jika terjadi sesuatu padanya. Aku akan menunggu, kita akan bersama-sama menemani Alina di hari-hari terakhirnya."
"Maaf, Siska, sepertinya pembicaraan ini semakin tidak masuk akal." Brayn melangkah meninggalkan wanita cantik itu seorang diri.
Melangkah cepat menuju ruangan Dokter Faisal. Ketika memasuki ruangan, sang dokter senior tersebut langsung menyambut.
Brayn menyerahkan rekam medis Alina ke hadapan sang dokter.
"Sebelumnya, pasien melakukan pemeriksaan di sebuah laboratorium, lalu diarahkan ke beberapa dokter dan dia memilih saya."
Brayn mengangguk. "Benar, Dok. Istri saya sudah memberitahu semalam."
"Beliau sempat berkonsultasi, saya menyarankan untuk melakukan pemeriksaan. Tapi, pasien meminta waktu, katanya belum siap. Akhirnya Kami membuat janji untuk melakukan pemeriksaan lanjutan, tapi setelah itu pasien tidak pernah datang lagi," papar sang dokter, menceritakan sedikit tentang pertemuan pertamanya dengan Alina.
Brayn mengangguk paham.
"Saya juga sudah membujuknya untuk melakukan pemeriksaan lebih lanjut. Dia menolak, alasannya sama juga. Belum siap."
Brayn tidak ingin memaksa karena takut hal tersebut akan memengaruhi mental istrinya.
Sementara kesehatan mental akan memengaruhi proses pengobatan.
Stress bahkan dapat memicu kondisi yang jauh lebih buruk.
"Saya mengerti. Memang butuh kesiapan untuk menjalani pengobatan. Terutama kemoterapi." Sang dokter meraih map dan menjelaskan tentang kondisi Alina menurut hasil pemeriksaan tersebut. Bahkan sel kanker sudah menyebar ke beberapa titik.
Brayn pun menjelaskan beberapa gejala yang dialami Alina.
"Dia memang mengalami beberapa gejala. Penurunan berat badan walaupun masih dalam tahap wajar, pucat, mual, pusing dan kadang sampai pingsan. Awalnya saya tidak menemukan gejala penyakit berat, dan saya pikir semua kondisi itu hanya dipicu oleh stress yang berlebih."
"Seharusnya gejalanya memang sudah terlihat sejak memasuki tahap awal, bukan?"
"Jadi, apa langkah selanjutnya yang harus dilakukan?" Brayn menatap sang dokter penuh harap.
"Saya menyarankan menjalani beberapa pemeriksaan lagi untuk menentukan langkah apa yang akan diambil. Saya belum bisa bicara banyak karena pasien belum melakukan pemeriksaan lagi."
Brayn mengangguk. "Baik, Dok. Saya akan bicara dengannya lagi."
Setelah berbicara dengan dokter, Brayn berpamitan.
Ia menuju mushala untuk menenangkan hati yang sedang dipenuhi keresahan.
Siapa yang bisa tenang saat orang yang dikasihi sedang berada dalam kondisi sulit, bahkan kondisi yang mengancam jiwa.
Satu-satunya yang bisa ia lakukan hanya berdoa, memohon keselamatan untuk istrinya.
"Ya Allah, jaga Khumairahku, berikan keselamatan baginya. Sehatkan badannya. Semoga dia selalu berada dalam lindungan-Mu, semoga ujian ini membawa kebaikan baginya."
Beberapa menit dihabiskan Brayn di mushala. Ia lebih tenang setelahnya.
Ketika keluar dari ruangan tersebut, tatapan beberapa perawat wanita mengarah padanya. Ada yang hanya melirik, ada yang saling berbisik.
Brayn tidak asing lagi dengan kondisi seperti ini. Sejak awal ditugaskan di rumah sakit tersebut, ia memang menjadi pusat perhatian beberapa orang.
"Selamat siang, Dokter Wijaya," sapa beberapa orang.
"Siang." Brayn membalas dengan senyum ramah diiringi anggukan kepala.
Dokter Wijaya adalah sebutan yang disematkan beberapa orang kepadanya.
Pemberitahuan pesan masuk mengalihkan perhatian.
Brayn membuka ponsel, tertera nama Zayn pada layar dengan beberapa pesan bergambar.
"Lihat berita ini deh, Kak. Ini Kakak, bukan?" Isi pesan dari Zayn.
Dahi berkerut, Brayn membaca beberapa berita dan melihat video singkat berdurasi 10 detik yang dikirim adiknya.
Potongan Video yang tersebar di sosial media dengan judul "Dua dokter kedapatan bermesraan di rumah sakit" itu berhasil menggemparkan jagat maya.
Bahkan video yang disebar kurang dari satu jam lalu itu telah berhasil mendapat ribuan komentar.
Belum lagi taggar dengan menyebut nama Dokter Brayn Hadiwijaya dan juga Dokter Siska berikut nama rumah sakit ikut menjadi trending di sosial media.
"Astaghfirullah apa-apaan ini?" Brayn menatap layar ponsel dengan geram.
Namun, ia tak lantas panik. Joane adalah nama pertama yang terpikir untuk dihubungi. Ia meneruskan pesan dari Zayn ke ponsel Joane.
"Iya, Brayn ...," ucap Joane begitu panggilan terhubung.
"Om Joan maaf mengganggu waktunya, aku butuh bantuan."
"Iya, Om barusan lihat pesan yang kamu kirim. Bagaimana bisa ada video seperti itu?"
"Keadaannya tidak seperti yang ditulis dalam berita, Om. Ini fitnah."
"Oke, Om percaya, Nak. Tenanglah."
"Aku bantuan Om untuk menyelidiki sumber videonya dari mana."
"Baiklah."
"Terima kasih, Om." Setelah berbicara dengan Joane, ia mengakhiri panggilan.
Sekarang yang ia pikirkan hanya Alina dan keluarganya. Khawatir jika beredarnya video itu akan menimbulkan salah paham.
"Astaghfirullah Ya Allah, ada-ada saja."
Brayn masih belum dapat mengurai rasa terkejut dari berita yang beredar saat seorang dokter yang merupakan rekannya datang menghampiri.
"Sudah lihat berita di sosmed?" tanya lelaki itu.
"Baru saja. Ardan, ini tidak seperti yang ditulis di berita, Ini hanya salah paham."
"Aku percaya. By the way, kamu ditunggu direktur rumah sakit sekarang."
Brayn menarik napas panjang.
Tanpa pikir panjang ia langsung melangkah menuju ruangan pimpinan rumah sakit.
Setidaknya ia harus memberi penjelasan tentang video yang tersebar dan mencari pelaku yang sudah merekam mereka dan menyebar ke sosial media.
"Assalamu alaikum," ucap Brayn sesaat setelah memasuki ruangan pimpinan rumah sakit.
"Walaikum salam, silahkan masuk," ucap pria paruh baya tersebut.
Brayn menatap ke dalam dan memperhatikan beberapa orang di dalam ruangan.
Di salah satu kursi sudah ada Siska yang duduk sambil menangis.
**********
**********
up lagi thor