Laura jatuh cinta, menyerahkan segalanya, lalu dikhianati oleh pria yang seharusnya menjadi masa depannya—Jordan, sahabat kecil sekaligus tunangannya. Dia pergi dalam diam, menyembunyikan kehamilan dan membesarkan anak mereka sendiri. Tujuh tahun berlalu, Jordan kembali hadir sebagai bosnya … tanpa tahu bahwa dia punya seorang putra. Saat masa lalu datang menuntut jawaban dan cinta lama kembali menyala, mampukah Laura bertahan dengan luka yang belum sembuh, atau justru menyerah pada cinta yang tak pernah benar-benar hilang?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chika Ssi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14. Cincin di Tengah Luka
“Aku tahu dari awal. Saat kamu memberiku hasil tes itu, aku mencurigainya. Tapi … aku memilih percaya. Aku memilih untuk membungkam hati kecilku.” Jordan menatap tajam, matanya berkaca-kaca.
Jordan tertawa getir. “Tapi ternyata sekarang aku yang hancur sendiri. Melihat Laura sesakit itu, membuatku semakin hancur.”
Jordan melangkah ke pintu. Tangannya sempat ragu di gagang, sebelum berbisik, “Dia sudah tahu segalanya kemarin malam. Aku sudah memberitahu Laura.”
Saat pintu terbuka, Leysha bangkit panik. “Jordan, jangan! Kalau kamu pergi sekarang … semuanya akan berubah!”
Jordan menoleh setengah. “Aku tidak peduli semuanya berubah jika itu tentang aku dan kamu. Justru itu yang aku inginkan.”
Begitu pintu tertutup, Leysha jatuh terduduk. Tatapannya tak lepas dari pintu yang tertutup dengan tatapan buram. Usahanya melakukan segalanya seakan sia-sia.
Di sisi lain, Laura sedang termenung di meja makan. Leon yang sejak tadi berusaha mengajaknya berkomunikasi, terus melayangkan protes. Akan tetapi, Laura seakan tuli. Sampai akhirnya sebuah sentuhan di punggung tangan perempuan tersebut, membuatnya mendongak.
"Laura, kamu baik-baik saja? Dari tadi aku perhatikan kamu lebih diam dari biasanya. Ada sesuatu yang seperti mengganggumu."
Laura melirik Leon yang hampir selesai dengan makan siangnya. Perempuan tersebut kembali menatap Noah sekilas. Sebuah senyum kaku terukir di bibir perempuan tersebut.
"Kita akan bicara nanti, Noah."
Kini Laura melanjutkan makannya. Setelah mendapati Leon mengosongkan piring, Laura mengusap lembut puncak kepala sang putra. Perempuan tersebut sedikit mencondongkan tubuh ke arah Leon.
"Leon, bisa tunggu di kamar sambil main puzzle? Mama harus bicara berdua dengan Paman Noah," pinta Laura dengan suara lembut.
"Baik, Mama." Leon turun dari kursi dengan patuh.
Langkah kecil Leon mengayun menuju kamar. Dia membuka pintu, lantas masuk ke ruangan pribadinya tersebut. Leon tersenyum lebar sambil melambaikan tangan sebelum akhirnya kembali menutup pintu.
"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Noah sambil menatap manik mata jerih milik Laura.
"Semalam ... Jordan mendatangi aku lagi." Laura mengusap wajah kasar dan berakhir dengan menenggelamkannya ke dalam kedua telapak tangan.
"Apa dia mengganggumu lagi? Apa aku harus melakukan sesuatu yang lebih ekstrem agar dia menjauh?" tanya Noah dengan rahang mengeras dan tangan mengepal di atas meja.
"Setelah ini dia pasti akan sering mendatangiku, Noah. Aku harus bagaimana?" Tatapan Laura nanar dengan kabut air mata yang menyelimutinya.
"Jelaskan dengan kalimat yang mudah aku pahami, Laura. Sejujurnya hal ini terlalu rumit untuk bisa aku mengerti." Noah masih mengerutkan dahi berusaha memahami apa yang dikatakan oleh Laura.
Laura menggigit bibir bawahnya. Jemarinya saling meremas satu sama lain. Tak lama kemudian bibirnya mulai terbuka dengan suara yang seakan ragu keluar dari dalam tenggorokan.
"Jordan ... sudah tahu kalau Leon adalah putra kandungnya." Suara Laura bergetar ketika mengatakan hal tersebut kepada sang sahabat.
Mendadak hati Noah resah. Dia seakan tidak rela kalau Jordan mengetahui kenyataan tersebut. Lelaki itu takut kalau Laura akan goyah dan justru semakin dekat dengan Jordan karena hal ini.
Namun, Noah berusaha bersikap netral. Dia menggenggam jemari Laura. Tatapan keduanya pun beradu.
"Lalu, apa yang kamu takutkan karena Jordan telah mengetahui kebenarannya, Laura?" tanya Noah sambil menghapus air mata Laura menggunakan ujung jempolnya.
"Aku takut Leon diambil dariku. Aku takut Jordan merampas Leon yang kini hanya aku miliki. Aku takut ...." Ucapan Laura menggantung di udara karena dipotong oleh Noah.
"Maka aku tidak akan membiarkannya terjadi. Aku akan menjadi benteng pertama yang harus dihadapi Jordan jika dia berniat merampas kebahagiaanmu, Laura." Rahang Noah mengeras dengan mata membara.
Noah menggenggam tangan Laura lebih erat. Dia tahu perempuan di hadapannya tengah digempur badai besar dalam hidupnya. Dan kali ini, dia ingin jadi pelindung, bukan sekadar penonton yang hanya mampu menghibur dari pinggir.
“Aku tahu kamu takut, Laura. Aku tahu kamu ragu. Tapi, kamu tidak harus menanggung semuanya sendiri.” Suara Noah lembut, tetapi terdengar sangat mantap.
Laura mengalihkan pandangannya. Langit di luar jendela perlahan berubah jingga. Waktu berjalan pelan, seolah memberi ruang bagi luka-luka lama untuk bicara kembali.
“Kamu tahu rasanya saat kamu sudah bangun dari luka, tapi kemudian seseorang dari masa lalu datang dan mengorek kembali semuanya?” bisik Laura.
Noah mengangguk pelan. Dia menarik napas dalam, lalu berdiri. “Tunggu aku sebentar.”
Beberapa menit kemudian, Noah kembali masuk ke ruang tamu dengan tangan menggenggam sebuah kotak beludru berwarna biru tua. Laura memandangnya bingung.
“Apa itu?” tanya Laura.
Noah tak langsung menjawab. Dia berlutut di hadapan Laura, menatap mata yang telah lama ingin dia jaga dari tangis dan luka. Perlahan, lelaki tersebut membuka kotak itu, menampilkan sebuah cincin berlian mungil yang memantulkan cahaya kehangatan.
Laura menutup mulutnya dengan tangan. Tidak percaya pada apa yang dilihatnya. Dia berulang kali menatap cincin dan Noah secara bergantian.
“Aku mencintaimu, Laura. Sejak lama. Aku mungkin tidak seberani Jordan, tidak setampan dia, dan mungkin juga tidak pernah mendapatkan hatimu sepenuhnya. Tapi aku … selalu ada untuk kamu. Akan kupastikan tak akan ada tangis dan luka lagi dalam hidupmu.”
Noah mengambil napas, lalu melanjutkan.
“Aku tidak ingin kamu sendirian terus. Aku ingin kamu tahu bahwa selalu ada seseorang di sisi kamu. Yang tidak akan pergi. Yang tidak akan mengkhianati kamu.”
Noah menyodorkan cincin itu.
“Will you marry me?”
Laura terdiam. Dadanya sesak oleh rasa haru, takut, dan bingung yang bercampur menjadi satu. Dia menatap cincin itu, lalu tatapan Noah yang penuh harap.
“Noah … aku .…” Suara Laura tercekat.
“Aku belum bisa memberikan jawaban sekarang.”
Noah tak langsung bereaksi. Dia hanya memejamkan mata sebentar, seolah menahan harapan yang runtuh pelan-pelan. Namun, saat membuka matanya, senyum tulus terlukis di wajahnya.
“Tidak apa-apa, Laura. Aku tidak meminta jawaban sekarang. Aku hanya ingin kamu tahu niatku. Kamu berhak memilih dengan tenang.”
Laura mengangguk pelan. Matanya berkaca. Dia tak sanggup berkata apa-apa lagi.
Noah lalu duduk kembali di sampingnya, meraih tangan perempuan itu dan menggenggamnya dengan hangat.
“Aku tidak akan memaksa. Tapi selama kamu belum menutup hatimu sepenuhnya … aku akan tetap di sini.”
Di luar, senja mulai berganti malam. Akan tetapi di dalam ruangan itu, ada harapan kecil mulai tumbuh perlahan di antara luka masa lalu dan cinta yang perlahan mengetuk pintu hati Laura.