NovelToon NovelToon
Butterfly

Butterfly

Status: sedang berlangsung
Genre:One Night Stand / Cinta Beda Dunia / Diam-Diam Cinta / Cinta pada Pandangan Pertama / Mengubah Takdir / Identitas Tersembunyi
Popularitas:342
Nilai: 5
Nama Author: Kelly Astriky

Kelly tak pernah menyangka pertemuannya dengan pria asing bernama Maarten akan membuka kembali hatinya yang lama tertutup. Dari tawa kecil di stasiun hingga percakapan hangat di pagi kota Jakarta, mereka saling menemukan kenyamanan yang tulus.

Namun ketika semuanya mulai terasa benar, Maarten harus kembali ke Belgia untuk pekerjaannya. Tak ada janji, hanya jarak dan kenangan.

Apakah cinta mereka cukup kuat untuk melawan waktu dan jarak?
Atau pertemuan itu hanya ditakdirkan sebagai pelajaran tentang melepaskan?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kelly Astriky, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Eps. 14 Ngobrol

Tidak ada yang banyak kami rencanakan di pertemuan ini. Tidak ada destinasi megah, tidak ada daftar tempat yang harus dikunjungi. Kami hanya ingin bertemu. Itu saja. Dan itu… sudah lebih dari cukup.

Aku dan Maarten sama-sama lelah. Perjalanan yang panjang, udara yang panas, dan jalanan yang tak pernah benar-benar lengang, semuanya membuat tubuh kami hanya ingin istirahat sejenak. Maka, kami pun menuju hotel tempatnya menginap.

Ia membantuku membawa tas kecilku. Tidak ada percakapan panjang di sepanjang jalan menuju kamar hotel, tapi diam itu terasa penuh. Seperti dua jiwa yang tahu, mereka tidak perlu mengisi ruang dengan kata-kata untuk merasa terhubung.

Sesampainya di kamar, aku meletakkan tasku di dekat meja kecil. Maarten duduk di tepi ranjang, lalu menatapku sejenak.

"Akhirnya kamu di sini juga," katanya pelan, hampir seperti bisikan.

Aku duduk di sebelahnya, tersenyum kecil.

"Kita sama-sama capek ya."

Dia hanya mengangguk. Lalu, tanpa banyak kata, dia menarikku pelan ke dalam pelukannya.

Pelukan itu tidak terburu-buru. Tidak juga terlalu erat. Tapi cukup untuk membuatku merasa seperti dunia yang bising di luar kamar ini tiba-tiba berhenti.

"Nggak apa-apa," katanya sambil memejamkan mata.

"Tidak ada yang melihat kita di sini. Hanya kamu dan aku."

Aku diam. Tidak membalas dengan kata-kata, hanya membiarkan pelukannya menjadi tempat aku bersandar.

Setelah beberapa menit dalam diam, aku sedikit menjauh dari pelukannya, duduk bersila di atas ranjang. Martin menatapku sambil mengusap lengannya pelan, lalu membuka percakapan.

“Kamu lelah ya?” tanyaku ke maarten. Sambil menyandarkan tubuhku ke dinding.

“Lelah sih iya… tapi senang juga. Hari ini rasanya kayak padat tapi hangat.”

Martin menghela napas dan tersenyum, lalu bersandar juga.

“Perjalanan ke sini macet sekali. Tapi waktu aku lihat kamu di stasiun tadi, semua capekku langsung hilang.”

Aku tersenyum kecil, menunduk.

“Kamu selalu tahu gimana caranya bikin aku nggak bisa jawab balik, ya?”

Martin tertawa pelan.

“Karena aku bilang yang aku rasa. Nggak dibuat-buat.”

Kami saling diam sebentar.

Aku menatap lampu kamar yang redup, lalu kembali menatap wajahnya yang mulai terlihat sedikit letih.

“Martin…”

“Hmm?”

“Kenapa kamu mau repot-repot balik ke Jakarta cuma buat ketemu aku?”

“Nggak takut kamu bakal kecewa?”

Dia memiringkan wajahnya, menatapku dalam-dalam.

“Karena kamu bukan tempat yang bisa aku lewati begitu saja.”

“Ada sesuatu dalam dirimu yang bikin aku ngerasa… tenang. Kecewa atau tidak, ini pilhanku..”

Aku terdiam. Kata-katanya masuk tanpa mengetuk.

Lembut tapi cukup kuat untuk membuat dadaku hangat.

“Aku udah jalan ke banyak tempat. Tapi jarang banget aku nemuin orang yang bisa bikin aku ngerasa kayak... pulang.”

“Dan kamu, Kelly, entah kenapa… kamu kasih rasa itu.”

Aku tertunduk.

Ingin menangis, tapi aku tahan. Bukan karena sedih. Tapi karena akhirnya… ada yang melihat aku seperti itu. Bukan dari penampilanku. Bukan dari caraku berbicara. Tapi dari caraku hadir.

“Aku nggak janji apa-apa, Martin. Tapi aku senang kamu datang"

Martin tersenyum, mendekat perlahan, lalu memegang tanganku.

“Kita nggak perlu janji malam ini. Kita cuma butuh hadir. Dan menikmati waktu kita… satu hari pada satu waktu.”

Setelah beberapa saat tenggelam dalam hening yang nyaman, aku melirik ke arah Martin yang sedang duduk bersandar di sisi ranjang. Matanya mulai tenang, tapi masih ada sisa binar penasaran di sana.

Aku menggeliat kecil, lalu menoleh ke arahnya sambil bertanya pelan.

"Martin, habis ini… kita mau ke mana?"

Dia menoleh, matanya membulat sebentar seperti anak kecil yang baru diajak bermain.

"Hmm, gimana kalau… kita jalan kaki aja keliling sekitar sini?"

"Aku pengen lihat Depok lebih dekat, bukan dari balik jendela mobil. Dan kalau kamu nggak keberatan, kita bisa nongkrong lagi. Duduk-duduk sambil minum kopi. Ngobrol tentang apapun."

Aku tersenyum kecil.

"Kamu yakin mau jalan kaki? Ini bukan Eropa, Martin. Trotoarnya nggak selalu ramah turis."

Dia tertawa, angkat bahu.

"Justru itu. Aku pengen lihat sisi lain Indonesia dari tempat kamu tinggal. Tempat yang nggak masuk di brosur turis. Asal sama kamu… aku nggak keberatan nyasar hahaha....."

Tawanya memecah keheningan.

Aku menatapnya beberapa detik, lalu tersenyum pelan.

"Baiklah. Tapi jangan kaget ya kalau kita malah duduk di warung sederhana dan minum kopi sachet."

Martin tertawa lagi.

"Kopi sachet… rasanya lebih asli kalau diminum bareng kamu."

Kami pun bersiap. Tidak ada dandan berlebihan. Tidak ada tujuan pasti. Tapi rasanya seperti perjalanan kecil yang bermakna.

Kami berjalan keluar dari hotel, menyusuri trotoar kecil yang sesekali retak, melewati lampu jalan yang temaram, dan warung-warung yang masih buka meski malam mulai larut.

"Tempat seperti ini…" katanya sambil menatap lampu jalan, "punya keindahannya sendiri. Sunyi, tapi hidup."

Aku mengangguk, tersenyum.

"Itu yang bikin aku suka jalan kaki malam-malam. Ada rasa yang nggak bisa dijelasin."

Tak lama, kami menemukan sebuah tempat duduk sederhana di depan warung kopi kecil. Kami duduk berdampingan, memesan dua gelas kopi dan sebungkus keripik.

Kami duduk berdampingan di bangku kayu yang sedikit goyah, di depan warung kopi kecil pinggir jalan. Di atas meja, dua gelas kopi panas mengepul, dan sebungkus keripik lokal sudah setengah habis. Malam berjalan pelan, tapi hati kami seperti melaju ke arah yang belum pernah kami bayangkan sebelumnya.

Beberapa orang di sekitar mulai melirik. Ada yang menyapa pelan. Ada juga yang hanya tersenyum sambil berbisik satu sama lain.

“Kayaknya itu bule, deh.”

“Sama pacarnya ya?”

“Lucu ya mereka.”

Aku langsung merapatkan dudukku, sedikit kikuk. Tapi Martin malah tertawa kecil dan mengangkat gelas kopinya, menyapa orang-orang yang melihat.

“Terima kasih,” katanya pelan, dengan logat lucunya yang masih terdengar asing, tapi justru mengundang simpati.

Aku menatapnya takjub.

“Kamu masih ingat aja ya…”

Dia menoleh padaku, tersenyum lembut.

“Tentu. Kamu yang ajarin aku. Kata itu kayak mantra di sini, ya kan?”

Aku hanya tersenyum kecil sambil memainkan tutup botol keripik. Lalu dia melanjutkan, dengan nada yang jauh lebih pelan dan tulus.

“Kamu tahu, Kelly?”

“Duduk di sini, begini aja, buat aku udah cukup banget.”

Aku menoleh.

“Maksudnya?”

Dia menatapku, serius.

“Kamu… kamu perempuan yang sederhana. Kamu nggak ribet, kamu nggak butuh dibawa ke tempat mahal cuma buat merasa dihargai.

Kamu duduk di bangku tua, di pinggir jalan… tapi masih bisa tersenyum kayak semuanya baik-baik aja.”

Aku diam, terenyuh.

Martin memandangi gelasnya sejenak, lalu menatapku lagi.

“Aku pernah kenal perempuan yang cuma mau pergi kalau restorannya berbintang lima, kalau tempatnya instagrammable, atau kalau dia bisa pamer ke teman-temannya. Tapi kamu… kamu beda. Kamu cuma ingin ditemani.”

Aku tersenyum pelan, tapi di dalam hati, rasanya seperti ada pintu yang perlahan terbuka.

“Aku cuma ingin jujur sama diriku sendiri. Hidup udah cukup rumit tanpa harus berpura-pura jadi orang lain.”

Martin mengangguk pelan.

“Dan itu yang bikin kamu cantik.”

Aku tertunduk. Malu. Tapi juga bangga, karena akhirnya ada seseorang yang melihatku seperti itu. Bukan dari apa yang kupakai, bukan dari tempat yang aku datangi… tapi dari siapa aku saat aku jadi diri sendiri.

Malam itu, kami duduk lama.

Dikelilingi orang-orang yang mungkin heran, mungkin kagum, mungkin hanya lewat. Tapi kami tak terlalu peduli. Karena malam itu bukan tentang siapa yang melihat kami. Tapi tentang siapa yang benar-benar saling melihat.

Dan mungkin, memang seperti ini cara Tuhan mempertemukan dua orang yang lelah pada waktu yang tepat. Tidak dengan pesta. Tidak dengan kejutan. Tapi dengan pelukan yang tenang… dan kehadiran yang mengerti.

1
Kelly Hasya Astriky
sangat memuaskan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!