Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.
Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".
Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 14
Bus melaju dengan kecepatan stabil, melewati jalanan kota yang mulai ramai oleh kendaraan pagi. Anjani tetap diam, menatap keluar jendela, sementara Dita sibuk dengan ponselnya.
Ketika bus mendekati salah satu halte besar, Dita tiba-tiba berdiri. "Aku turun di sini. Kak Anjani hati-hati, ya!" katanya riang sebelum melangkah turun.
Anjani hanya mengangguk tanpa banyak bicara. Matanya mengikuti sosok Dita yang berjalan santai menuju gedung Megantara.
Jadi, benar. Dita akan bekerja di sana.
Namun, Anjani tidak langsung turun. Ia sengaja menunggu hingga penumpang terakhir, memastikan Dita sudah menghilang dari pandangannya sebelum akhirnya berdiri dan berjalan ke pintu keluar.
Ia tidak ingin Dita tahu bahwa mereka bekerja di kantor yang sama.Paling tidak untuk saat ini, ia butuh ketenangan.
Ia ingin fokus pada pekerjaannya dan menjauh dari semua urusan keluarga Adrian, terutama Bu Rina. Setidaknya sampai sidang perceraian selesai.
Anjani melangkah masuk ke dalam gedung Megantara dengan tenang. Ia memastikan Dita sudah benar-benar menghilang sebelum akhirnya melewati pintu utama. Sejenak, ia menarik nafas dalam, berusaha menguatkan diri untuk hari yang panjang.
Namun, baru beberapa langkah, suara deheman halus mengusik perhatiannya.
" Ehm…Pagi."
Anjani menoleh dan mendapati William sudah berada di sebelahnya, berjalan mengiringi langkahnya.
CEO Megantara itu mengenakan setelan rapi seperti biasa, auranya tegas dan penuh wibawa. Tapi yang lebih menarik perhatian adalah bagaimana ia dengan santai berjalan di samping Anjani, seolah itu hal yang biasa.
Tatapan karyawan yang lalu-lalang segera tertuju pada mereka.Bisikan-bisikan kecil mulai terdengar.
"Itu Pak Wiliam, kan? Kenapa jalan bareng Mbak Anjani?"
"Jarang banget lihat Pak William dekat sama karyawan. Mereka ada hubungan apa?"
Anjani dapat merasakan berbagai pasang mata mengamati mereka dengan penuh rasa ingin tahu. Ia berusaha tetap tenang, meskipun jantungnya mulai berdebar tak nyaman.
"Selamat pagi, Pak," jawabnya akhirnya, tetap menjaga sikap profesional.
William menoleh sedikit dan tersenyum tipis. "Hari ini jadwalku penuh?" tanyanya santai, seolah tak terganggu oleh perhatian yang mereka dapatkan.
Anjani menelan ludah. Ia tidak terbiasa berbincang lama dengan CEO-nya, apalagi dalam situasi seperti ini.
"Cukup padat, Pak," jawabnya jujur.
William mengangguk kecil. "Kalau ada waktu nanti, datang ke ruangan saya. Ada yang perlu dibahas."
Anjani mengangguk patuh. "Baik, Pak."
Mereka akhirnya sampai di lobi utama. William menghentikan langkahnya, memberi Anjani ruang untuk berjalan lebih dulu menuju area karyawan.
Sementara itu, bisikan-bisikan di sekitar mereka semakin menjadi.Anjani menarik napas dalam.
Sepertinya hari ini akan lebih panjang dari yang ia kira.
Anjani berusaha tetap tenang saat langkahnya menjauh dari Wiliam. Meskipun percakapan mereka singkat, dampaknya sudah cukup membuat suasana kantor sedikit heboh. Tatapan karyawan yang penasaran masih terasa menusuk punggungnya.
Setelah sampai di meja kerjanya, ia segera menyalakan komputer dan berusaha fokus pada pekerjaannya. Namun, tidak butuh waktu lama sebelum Clara, rekan kerjanya, menghampiri dengan senyum penuh arti.
"Anjani, sejak kapan kamu dekat dengan Pak Wiliam?" tanyanya sambil melirik ke arah meja Anjani.
Anjani menghela nafas pelan. "Aku nggak dekat dengan Pak Wiliam. Dia hanya berbicara soal pekerjaan."
Clara menyandarkan tubuhnya di meja sambil melipat tangan. "Oh ya? Tapi tadi kalian jalan bareng dari lobi. Itu pemandangan yang langka, loh. Biasanya Pak Wiliam dingin dan nggak pernah bicara lama dengan karyawan biasa."
Anjani tersenyum kecil, berusaha tetap santai. "Jangan membesar-besarkan sesuatu yang biasa saja, Clara. Aku hanya kebetulan bertemu dengannya."
Clara menaikkan alisnya. "Hmm... oke. Tapi tetap hati-hati, ya. Banyak mata yang memperhatikan, terutama mereka yang merasa punya hak lebih dekat dengan Pak Wiliam."
Anjani paham maksudnya. Di kantor sebesar Megantara, gosip kecil bisa berkembang menjadi rumor besar.
Dan satu hal yang pasti—jika Dita tahu soal ini, keadaan akan semakin rumit.
Anjani melirik jam di layar komputernya. Masih ada beberapa jam sebelum ia harus menemui William. Untuk sekarang, ia hanya ingin bekerja dengan tenang tanpa harus berurusan dengan masalah lain.
Tapi firasatnya mengatakan, ketenangan itu tidak akan bertahan lama.Clara tidak akan tinggal diam. Ia tidak bisa membiarkan William semakin dekat dengan nya.
Selama ini Clara , sudah berusaha menarik perhatian William—berpakaian lebih elegan, bersikap profesional, bahkan selalu mengambil kesempatan untuk berbicara dengannya. Tapi tetap saja, Wiliam tetap bersikap dingin dan tidak pernah benar-benar memperhatikannya.
Namun, pagi ini berbeda.
Untuk pertama kalinya, William terlihat lebih nyaman dengan seorang karyawan. Dan sialnya, orang itu adalah Anjani—yang bahkan tidak pernah berusaha menarik perhatian siapa pun.
Clara mengepalkan tangannya di bawah meja. Tidak. Ia tidak bisa membiarkan ini terus terjadi.Ia harus melakukan sesuatu agar Wiliam bisa melihatnya.
Tanpa berpikir panjang, ia berdiri dan berjalan menuju meja Anjani, yang saat ini sibuk dengan beberapa dokumen. Dengan senyum manis, Clara bersikap seolah-olah ingin berbasa-basi.
"Anjani, kamu sibuk?" tanyanya.
Anjani mengangkat wajahnya dan menatap Clara dengan datar. "Ada beberapa laporan yang harus aku selesaikan. Kenapa?"
Clara berpura-pura berpikir sejenak sebelum tersenyum lebih lebar. "Aku butuh konfirmasi soal proyek baru. Kayaknya lebih baik aku langsung tanyakan ke Pak Wiliam saja, ya?"
Anjani mengernyit, menyadari nada aneh dalam suara Clara. Tapi ia tidak ingin memperpanjang masalah. "Kalau itu urusan divisi kamu, silahkan saja."
Mendengar jawaban itu, Clara segera berbalik dan melangkah menuju ruangan William.Ia tahu Wiliam bukan orang yang mudah didekati, tapi ia harus mencoba. ia akan memastikan bahwa William memperhatikannya—bukan Anjani.
Setelah mendapatkan izin dari Anjani, Clara langsung melangkah menuju ruangan William tanpa ragu. Lagi Pula, sebagai salah satu karyawan yang cukup lama bekerja di Megantara, ia merasa berhak untuk berdiskusi langsung dengan CEO mereka.
Begitu sampai di depan pintu, tanpa mengetuk, ia langsung membukanya dan masuk.
Wiliam yang sedang sibuk dengan pekerjaannya mengangkat wajah, alisnya sedikit berkerut melihat Clara masuk begitu saja.
"Ada apa?" tanyanya dengan nada dingin.
Clara tetap tersenyum, berusaha terlihat percaya diri. "Saya ingin mendiskusikan beberapa ide terkait proyek divisi kami, Pak. Saya merasa ada beberapa hal yang bisa kita kembangkan lebih jauh."
William menyandarkan punggungnya ke kursi, menatapnya tanpa ekspresi. "Kamu seharusnya membicarakan ini dengan kepala divisi dulu, Clara."
Clara berjalan lebih dekat, tangannya dengan sengaja menyentuh meja William, mencoba menunjukkan kedekatan yang lebih personal. "Saya hanya ingin memastikan bahwa ide ini sesuai dengan visi perusahaan, Pak. Saya rasa lebih baik mendengar pendapat Anda langsung."
William melirik tangannya yang bertumpu di meja, lalu kembali menatap Clara dengan tajam. "Lain kali, ketuk dulu sebelum masuk."
Suara dinginnya membuat Clara sedikit terkejut, tapi ia cepat menutupi kegugupannya. Ia tidak boleh menyerah begitu saja.
"Maaf, Pak. Saya hanya terlalu bersemangat dengan ide ini," katanya dengan nada manis, mencoba mencairkan suasana.
Namun, Wiliam tetap tidak menunjukkan ketertarikan. Ia hanya menatap Clara dengan datar sebelum berkata, "Sampaikan inti pembicaraanmu. Saya tidak punya banyak waktu."
Clara menelan rasa tidak nyamannya dan mulai menjelaskan idenya. Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa usahanya belum berhasil.
Ia harus menemukan cara lain agar bisa mendapatkan perhatian William—dan memastikan Anjani tidak semakin dekat dengan pria itu.
Clara keluar dari ruangan William dengan wajah kesal. Ia sudah berusaha menarik perhatian pria itu, tapi yang ia dapatkan hanya perintah singkat agar mendiskusikan ide tersebut dengan timnya. Setelah itu, Wiliam langsung menyuruhnya keluar tanpa basa-basi.
"Kenapa dia begitu dingin padaku, tapi bisa lebih dekat dengan Anjani?" pikir Clara, hatinya semakin dipenuhi rasa tidak suka.
Sementara itu, di dalam ruangan, Wiliam mengambil ponselnya dan langsung menghubungi Anjani.
"Masuk ke ruanganku sekarang," katanya tanpa banyak penjelasan, lalu menutup telepon.
Tak lama kemudian, Anjani mengetuk pintu sebelum masuk.
"Ada apa, Pak?" tanyanya dengan sopan.
William menutup dokumen di tangannya, lalu menatapnya sekilas. "Duduk. Aku sudah memesankan makan siang."
Anjani tertegun. "Untuk kita berdua?" tanyanya ragu.
William mengangguk santai. "Ya. Aku tidak suka makan sendirian."
Anjani menatap pria itu dengan bingung. CEO yang terkenal dingin dan tidak banyak berinteraksi dengan karyawannya, kini justru mengajaknya makan siang bersama?
Namun, ia tidak ingin berpikir terlalu jauh. Baginya, ini hanya soal profesionalisme atau mungkin kebiasaan William.
Tak lama, pesanan mereka tiba. Saat makan, Wiliam sesekali melontarkan pertanyaan ringan tentang pekerjaannya. Tidak ada tekanan, hanya percakapan santai.
Namun, tanpa mereka sadari, beberapa karyawan mulai berbisik-bisik dari luar.
Di sisi lain ruangan, Clara yang melihat semuanya mengepalkan tangannya erat.
William yang tadi begitu cepat mengusirnya, kini justru menghabiskan waktu makan siang dengan Anjani?
Rasa cemburu semakin membakar hatinya.
"Tidak bisa. Aku tidak akan membiarkan ini terus terjadi," batinnya.
Clara harus bertindak sebelum semuanya terlambat.
Dita menyandarkan punggungnya ke kursi kayu kecil di ruang istirahat, menghela nafas panjang. Sejak hari pertama bekerja di Megantara sebagai cleaning service (OB), ia tidak menyangka pekerjaannya akan seberat ini.
Setiap hari, ia harus membersihkan ruangan, mengantar minuman untuk para karyawan, dan memastikan semua area tetap rapi. Awalnya, ia mengira pekerjaan ini mudah, tetapi kenyataannya sangat berbeda.
"Kenapa tugasnya sebanyak ini?" gerutunya pelan sambil menyeka keringat di dahinya.
Ia tidak terbiasa dengan pekerjaan fisik seperti ini. Selama ini, ia hidup cukup nyaman, dan tidak pernah membayangkan dirinya harus bekerja sebagai OB di perusahaan sebesar Megantara.
Saat sedang beristirahat sebentar, seorang seniornya, Pak Ridwan, menghampirinya.
"Dita, sudah bersihkan ruang meeting lantai tiga?" tanyanya tegas.
Dita menatapnya dengan wajah letih. "Belum, Pak. Saya baru selesai dari pantry dan…"
"Jangan banyak alasan. Cepat selesaikan sebelum rapat dimulai!"
Tanpa menunggu jawaban, Pak Ridwan langsung pergi.
Dita meremas tangannya kesal. Ia tidak menyangka kalau bekerja sebagai OB akan sesulit ini.
Ia mulai menyesal telah terlalu percaya diri saat menerima pekerjaan ini. Dan yang lebih membuatnya frustasi, ia bahkan tidak tahu bahwa Anjani juga bekerja di sini.
Satu hal yang pasti, ia tidak bisa menyerah begitu saja.
Atau… mungkin ia harus mencari cara agar pekerjaannya menjadi lebih mudah?
hrs berani lawan lahhh