Di balik kebahagiaan yang ku rasakan bersamanya, tersembunyi kenyataan pahit yang tak pernah ku duga. Aku merasa istimewa, namun ternyata hanya salah satu dari sekian banyak di hatinya. Cinta yang ku kira tulus, nyatanya hanyalah bagian dari kebohongan yang menyakitkan.
Ardian memejamkan mata, napasnya berat. “Aku salah. Tapi aku masih mencintaimu.”
“Cinta?” Eva tertawa kecil, lebih mirip tangis yang ditahan. “Cinta seperti apa yang membuatku merasa sendirian setiap malam? Yang membuatku meragukan harga diriku sendiri? Cintamu .... cintamu telah membunuhku perlahan-lahan, hingga akhirnya aku mati rasa. Itukah yang kamu inginkan, Mas?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon X-Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14. Bukan Urusan Kamu
Eva menatap rumah besar di hadapannya dengan pandangan yang penuh keraguan. Sudah beberapa bulan lamanya ia tidak menginjakkan kaki di tempat itu. Rumah yang dulu sering ia lewati setiap akhir pekan bersama Ardian, kini tampak asing dan dingin. Meski megah dan indah seperti yang ia ingat, tapi tidak ada kehangatan di balik dinding-dindingnya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gemuruh di dadanya. Perasaan canggung begitu nyata tergurat di wajahnya, tak bisa ia sembunyikan meski sudah berusaha keras.
Kenangan pahit tiba-tiba kembali mengalir ke pikirannya. Hubungannya dengan mama mertuanya memang tidak pernah baik sejak awal. Bahkan bisa dibilang, mereka nyaris tidak pernah benar-benar akur. Sejak Ardian memperkenalkannya sebagai kekasih, sang mama menunjukkan sikap tidak suka yang terang-terangan. Bukan karena Eva melakukan kesalahan, tapi semata-mata karena latar belakangnya yang sederhana.
Eva hanyalah seorang yatim piatu yang bekerja keras untuk menyambung hidup. Dulu, ia bekerja sebagai karyawati biasa di kantor tempat Ardian menjadi salah satu manajer. Pertemuan mereka terjadi secara tak terduga, dan dari sanalah benih-benih cinta tumbuh perlahan. Ardian, dengan segala pesonanya, menunjukkan perhatian yang tulus. Eva yang selama ini merasa hidupnya hampa sejak ditinggalkan orang tuanya, akhirnya menemukan cahaya dalam diri Ardian.
Saat Ardian menyatakan cintanya, Eva sempat ragu. Ia tahu, jurang di antara mereka terlalu lebar. Tapi Ardian meyakinkannya. Dan Eva, yang juga sudah lama menyimpan rasa, akhirnya menyambut cinta itu dengan sepenuh hati. Mereka menjalin hubungan dengan harapan, meski selalu ada awan hitam yang mengiringi langkah mereka—sosok mama mertua yang terus menentang.
Ketika mereka memutuskan untuk menikah, pertentangan itu mencapai puncaknya. Mama mertuanya menolak keras. Bagi perempuan itu, Eva tidak pantas menjadi bagian dari keluarga mereka. Namun, Ardian tidak menyerah. Ia terus memperjuangkan Eva, meyakinkan keluarganya bahwa cintanya bukan main-main.
Di saat semua terasa buntu, harapan muncul dari papa mertua Eva. Lelaki itu, yang selama ini diam, akhirnya angkat bicara. Rupanya, almarhum ayah Eva adalah sahabat karibnya saat masih kuliah. Hubungan itu membuatnya memandang Eva dengan penuh penghargaan. Ia membujuk istrinya, dan dengan berat hati, sang mama akhirnya mengizinkan mereka menikah. Meski begitu, restu itu terasa hambar, dan sikap dingin sang mama tak pernah benar-benar mencair.
Dan kini, di sinilah Eva berdiri. Di depan rumah itu lagi, dengan segudang rasa yang berkecamuk dalam dadanya. Ia tidak tahu seperti apa reaksi sang mama jika melihatnya kembali. Tapi satu hal yang pasti, Eva datang bukan untuk mencari pengakuan. Ia hanya ingin menyelesaikan sesuatu yang tertinggal—entah itu luka lama atau cerita yang belum usai.
Saat Eva memikirkan masa lalu yang penuh luka dan kerumitan, lamunannya tiba-tiba buyar oleh suara tepuk tangan pelan dari arah belakang. Suara itu tenang, tapi cukup untuk membuatnya tersentak dan segera menoleh. Matanya membelalak. Jantungnya berdegup kencang, seperti baru saja dijatuhkan dari ketinggian.
Di sana, hanya beberapa meter darinya, berdiri sosok yang sangat ia kenal. Ardian. Suaminya. Lelaki yang dulu ia cintai dengan sepenuh hati, yang ia pikir sedang berjuang untuk mempertahankan rumah tangga mereka.
Tapi Ardian tidak datang sendiri.
Di sampingnya berdiri seorang perempuan muda yang tampak anggun dengan balutan gaun santai, namun elegan. Dan dalam gendongan perempuan itu, ada seorang bayi laki-laki yang berusia satu tahun. Wajah balita itu sangat mirip dengan Ardian, suaminya.
Darah Eva seolah berhenti mengalir. Ia mengenali perempuan itu. Perempuan yang pernah ia lihat secara tidak sengaja beberapa tahun lalu—perempuan yang waktu itu disebut-sebut sebagai hanya teman kerja oleh Ardian. Namun, bisikan-bisikan dari orang kantor dan potongan pesan singkat yang pernah Eva temukan di ponsel suaminya dulu, kini menjadi bukti yang nyata. Tidak bisa lagi disangkal. Dan dia juga masih ingat, perempuan itu yang telah mengirim foto mereka bertiga padanya.
Itulah istri siri Ardian.
Ardian sempat terlihat kaku saat pandangannya bertemu mata Eva. Tapi dengan cepat ia menyembunyikan keterkejutannya, mencoba tersenyum seolah tak ada yang salah. Perempuan di sebelahnya juga tersenyum ramah, tanpa rasa bersalah sedikit pun.
"Eva," kata Ardian pelan, seperti tak yakin harus mengatakan apa. Suaranya berat, seperti menahan sesuatu. Tapi Eva bisa melihat jelas—matanya tidak menyiratkan penyesalan, hanya kekakuan seorang pria yang tertangkap basah oleh kenyataan yang ia buat sendiri.
Eva menahan napas. Tenggorokannya kering. Mulutnya terbuka sedikit, ingin bicara, tapi tak satu kata pun keluar. Rasanya seperti seluruh dunia memukulnya sekaligus—rasa dikhianati, rasa dipermalukan, dan luka lama yang baru saja mulai sembuh, kembali menganga lebih lebar.
"Kamu... ternyata datang dengan mereka?" Eva akhirnya berhasil bersuara, meski lirih dan nyaris tak terdengar. Ada getar dalam setiap katanya.
Ardian mengangguk pelan. "Iya... ini Lisna. Dan ini...Aiden, anakku."
Anakku.
Kata itu menghantam Eva lebih keras daripada pukulan fisik mana pun. Bukan karena anak itu ada—tapi karena Ardian tidak pernah membicarakan hal ini padanya. Tidak saat mereka masih bersama, tidak saat mereka mencoba memperbaiki hubungan. Tidak pernah.
Eva menatap Lisna. Perempuan itu tidak terlihat seperti orang yang menyesal telah merebut kebahagiaan orang lain. Sebaliknya, ia terlihat nyaman, seolah kehadirannya di sana adalah hal yang wajar. Mungkin karena statusnya sebagai istri Ardian, padahal dia hanyalah istri siri saja. Mungkin karena Ardian telah memberinya tempat yang lebih istimewa daripada Eva sendiri. Apalagi, perempuan itu telah melahirkan seorang anak untuk Ardian, suaminya. Anak itu adalah anak yang sangat di nantikan Ardian selama ini bersama nya.
Dan kini Eva sadar, dia tidak hanya dikhianati. Dia ditinggalkan. Disisihkan secara perlahan, tanpa peringatan yang layak. Semua perjuangan, semua luka yang ia telan demi mempertahankan pernikahan itu, seolah sia-sia.
Tapi Eva tidak akan menangis. Tidak di hadapan mereka.
Dengan napas teratur dan tatapan yang mulai mengeras, Eva melangkah maju. Bukan untuk memohon penjelasan, tapi untuk menunjukkan bahwa meski hatinya hancur, ia tetap bisa berdiri tegak.
"Selamat yaa, Mas. Akhirnya, kamu punya keluarga bahagia. Ada istri dan anak." ucap Eva lembut, namun penuh penekanan.
Ardian hanya diam, lidah nya terasa kelu untuk berucap. Sedangkan Lisna, perempuan itu tersenyum menyeringai mendengar perkataan Eva. Dia tahu, jika Eva sangat cemburu melihat mereka, terutama saat melihat anaknya. Karena Eva tidak bisa memiliki anak seperti dia.
"Terimakasih, Mbak. Ohh yaa, mbak Eva ke sini di antar pacar nya yaa?" tanya Lisna dengan senyum menyeringai
Ardian mengeraskan ekspresi wajahnya mendengar perkataan Lisna.
Pacar? Yang benar saja, masa istrinya punya pacar? Padahal mereka belum bercerai. Tidak mungkin, tidak mungkin istrinya punya seorang pacar. Istrinya adalah perempuan setia, tapi bagaimana jika perkataan Lisna benar. Ardian tidak akan membiarkan Eva bersama laki-laki lain. Eva hanya akan menjadi milik nya, selamanya.
"Bukan urusan kamu." jawab Eva singkat. Setelah itu, dia berjalan dengan cepat menuju ke dalam kediaman mertuanya.
"Cih, sombong sekali!" gerutu Lisna
Ardian berjalan menyusul Eva, Lisna pun tidak mau ketinggalan. Dia segera menyusul langkah suaminya dengan membawa putranya.
***