NovelToon NovelToon
Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Aku Putri Yang Tidak Diinginkan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Identitas Tersembunyi / Keluarga
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Isma Malia

Kehidupan Valeria Zeline Kaelani terlihat sempurna, namun ia tidak tahu bahwa ia adalah anak angkat. Rahasia ini menjadi senjata bagi Arum Anindira, kakak kandungnya yang iri dan hidup miskin. Arum mengancam akan membocorkan kebenaran kepada Valeria demi mendapatkan uang dari ibu angkatnya, Bu Diandra.

Di tengah kekacauan ini, sahabat Valeria, Aluna Kinara, tak sengaja mendengar ancaman tersebut, dan ia dihadapkan pada dilema yang berat. Kisah ini semakin rumit dengan hadirnya dua pria yang memperebutkan hati Valeria: Kian Athaya Naufal Mahendra yang mencintai dalam diam, dan Damian Mahesa yang usil namun tulus. Namun, Kedekatan mereka terancam buyar ketika mantan pacar Damian masuk ke sekolah yang sama.

Kisah ini bukan hanya tentang cinta dan persahabatan, tetapi juga tentang pengorbanan, pengkhianatan, dan perjuangan seorang putri untuk menemukan jati dirinya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Isma Malia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Cermin Retak: Antara Iri dan Pengampunan.

Aluna menoleh dengan hati-hati. Jantungnya berdebar lebih kencang. Di belakangnya, berdiri seorang wanita paruh baya dengan senyum ramah di wajahnya. Ia tampak membawa sebuah tas travel kecil.

...Hanya ilustrasi gambar....

"Maaf, siapa ya?" tanya Aluna dengan sopan, namun masih diliputi rasa bingung.

Wanita itu tersenyum hangat. "Namaku Bi Siti. Panggil saja Tante Siti," jawabnya dengan suara lembut. "Aku yang akan bekerja di sini sebagai asisten rumah tangga, Nak."

Aluna terdiam sejenak. Ini pasti orang yang dikirim oleh omnya. Ia merasa lega, namun juga sedikit canggung. Ia mengangguk perlahan.

"Ommu minta Tante untuk menemanimu dan membantumu di sini," kata Bi Siti, seolah memahami keraguan Aluna. "Jangan khawatir, ya. Tante akan mengurus semua keperluanmu."

Aluna mengangguk, kali ini dengan perasaan yang lebih tenang. Ia tidak lagi sendirian di rumah sebesar ini. Setidaknya, ada seseorang yang bisa ia ajak bicara.

Tepat saat itu, ponsel Bi Siti berdering. Ia mengambilnya dan melihat nama penelepon: Bram.

"Sebentar ya, Nak," kata Bi Siti pada Aluna, lalu mengangkat panggilan itu. "Halo, Pak Bram?"

"Bi Siti, apa Bi Siti sudah sampai di rumah Aluna?" tanya Bram di ujung telepon. "Apa Bi Siti sudah bertemu dengan Aluna?"

Bi Siti menoleh ke arah Aluna, yang berdiri di depannya. "Sudah, Pak. Saya sudah di sini dan sudah bertemu dengan Aluna."

"Syukurlah. Bi Siti, tolong jaga Aluna baik-baik ya," pesan Bram, suaranya terdengar lega. "Dia sendirian di sana. Kalau ada apa-apa, langsung hubungi saya."

"Baik, Pak. Bapak tenang saja. Saya akan jaga Aluna dengan baik," jawab Bi Siti.

Setelah percakapan singkat itu, Bi Siti menutup telepon. Ia menatap Aluna dengan senyum hangat. "Ommu sangat perhatian padamu, Nak."

Aluna hanya tersenyum tipis. Ia tahu omnya memang sangat peduli, tetapi ia juga merasa sedih karena semua ini terjadi karena ulahnya.

"Ayo, Nak. Tunjukkan Tante kamarmu. Biar Tante bantu bereskan barang-barangmu," ajak Bi Siti.

"Tidak usah, Tante. Aluna bisa bereskan sendiri," kata Aluna dengan sopan. "Tante kan baru datang, lebih baik Tante istirahat. Kamar Tante ada di lantai bawah, tidak jauh dari dapur."

Bi Siti tersenyum tulus. "Baiklah kalau begitu, Nak," jawabnya, merasa tersentuh oleh kebaikan hati Aluna. "Tante sangat senang bisa bekerja di sini."

Aluna membalas senyum itu. Ia mengambil tas Bi Siti, lalu berjalan mendahului. Ia menyeberangi ruang keluarga dan menunjuk ke sebuah pintu. "Ini kamar Tante. Kamar orang tua Aluna juga ada di lantai ini."

"Baiklah, terima kasih, Aluna. Kalau begitu, kamu ganti baju saja, ya. Nanti Tante akan masakkan makan siang untukmu," kata Bi Siti dengan senyum tulus, nadanya penuh kehangatan.

Aluna terdiam sejenak, terkejut. Sudah lama ia tidak mendengar tawaran sehangat ini. Perasaan hangat menjalar di hatinya, mengusir sedikit rasa sepi yang tadi ia rasakan.

"Iya, Tante. Terima kasih banyak," jawab Aluna, tersenyum lebar.

Aluna lalu berjalan ke kamarnya di lantai dua. Ia membuka pintu dan masuk, pikirannya melayang-layang. Ada rasa lega karena tidak lagi sendirian, namun bayangan Fara yang menunduk di kelas masih sulit hilang dari benaknya.

Sementara itu, Valeria dan Tante Kiara tiba di rumah. Mereka masuk dan langsung duduk di sofa ruang tamu.

...Hanya ilustrasi gambar....

"Aduh, hari ini panas banget ya, Val," keluh Tante Kiara sambil mengipas-ngipas dirinya.

"Iya, Tante. Bikin es sepertinya enak," balas Valeria.

"Boleh, ayo!" ajak Tante Kiara bersemangat.

Saat mereka berdua sedang berada di dapur dan mulai membuat es, Diandra datang. Ia masuk ke dalam rumah dan langsung menoleh ke arah dapur.

"Apa yang sedang kalian lakukan?" tanya Diandra, suaranya terdengar datar.

"Lagi buat es, Mbak. Mau?" tawar Tante Kiara.

"Enggak, kalian saja," jawab Diandra singkat. Setelah mengatakan itu, ia langsung melangkah menuju kamarnya.

Setelah Diandra pergi, suasana di dapur kembali hening. Valeria menatap Tante Kiara.

"Kamu mau buat es apa, Val?" tanya Tante Kiara.

"Es teh lemon, Tante?" jawab Valeria.

"Es kopi susu juga enak," Tante Kiara menawarkan.

Valeria tersenyum. "Campur aja, Tante. Biar kayak es teh lemon dan es kopi susu," candanya.

...Hanya ilustrasi gambar....

Tante Kiara tertawa. Mereka berdua mulai sibuk di dapur, namun pikiran mereka masih tertuju pada Diandra yang langsung masuk ke kamar. Namun, suasana canggung akibat kepergian Diandra masih terasa. Tante Kiara memecah keheningan dengan suara pelan.

"Mbak Diandra kenapa, ya?" tanyanya sambil mengaduk gula. "Kelihatan murung banget."

Valeria mengangguk. "Enggak tahu, Tan. Dari tadi pagi juga aneh. Kayak lagi ada masalah."

Tante Kiara menoleh ke arahnya, tatapannya prihatin. "Biasanya dia tidak seperti ini. "

"Iya, aku juga bingung," kata Valeria. "Apa ada yang disembunyikan Mama, ya?"

Tante Kiara hanya terdiam, tidak menjawab. Ia tahu ada rahasia yang disimpan oleh Diandra, tetapi ia tidak bisa mengatakannya kepada Valeria. Ia hanya berharap suatu saat nanti Diandra bisa menceritakan semuanya kepada putrinya.

Di saat yang sama, di rumahnya, Fara tiba dengan langkah gontai. Ia langsung berjalan menaiki tangga, tidak memedulikan sekitarnya.

Tiba-tiba, ibunya, Dina, menyapanya.

"Fara, kamu sudah pulang?"

Fara hanya mengangguk pelan.

Dina melihat wajah putrinya yang sedikit pucat. Khawatir, ia segera menghampiri Fara. "Kamu tidak apa-apa, Nak?" tanyanya lembut.

"Ya, Ma, Fara cuma pusing sedikit," jawab Fara, suaranya lesu.

Dina mengusap kening putrinya. "Ya sudah, kamu ke kamar saja, istirahat. Mama akan buatkan makanan untukmu dan Mama akan ambilkan obat," kata Dina.

Fara mengangguk pelan. "Fara mau ke kamar dulu, Ma," katanya, menghindari tatapan sang ibu.

Dina menghela napas, melihat putrinya yang tampak sangat kelelahan. "Ya sudah, kamu istirahat. Nanti Mama bawakan obat dan makanannya."

Fara melangkah menaiki tangga. Ia mendengar suara langkah kaki ibunya yang berjalan ke dapur. Di kamarnya, ia mengunci pintu, lalu menjatuhkan dirinya di atas kasur. Ia menatap langit-langit kamar yang kosong, air matanya perlahan menetes.

...Hanya ilustrasi gambar....

Di dalam kamarnya yang sunyi, semua emosi yang ia tahan sepanjang hari akhirnya tumpah. Fara tidak lagi menangis karena marah, melainkan karena rasa sakit dan kesepian. Ia merasa kosong, seolah semua yang ia miliki sudah diambil darinya.

Ia teringat kata-kata Bram, ayahnya, di mobil tadi pagi. Ia diminta untuk tidak lagi menyakiti Aluna. Ia juga diminta untuk menjaga dan menjadi teman Aluna. Fara tidak tahu bagaimana caranya. Di hatinya, masih ada perasaan benci dan kesal pada Aluna yang ia anggap sebagai penyebab semua masalahnya. Namun, ada pula perasaan bersalah yang mendalam karena telah memfitnahnya.

Di dapur, Dina sedang sibuk memasak makan siang untuk putrinya. Tepat saat itu, Bram datang dan masuk ke dalam rumah. Dina menoleh, terkejut melihat kedatangan suaminya.

"Pa, kamu sudah pulang? Tumben, biasanya sore," kata Dina.

"Ya, aku cuma mampir sebentar, ada berkas yang harus aku ambil," jawab Bram. Ia berjalan mendekat ke arah Dina. "Sedang masak apa?"

Dina menghela napas, raut wajahnya berubah khawatir. "Aku lagi masak buat Fara," jawabnya. "Dia baru pulang, mukanya pucat banget. Katanya pusing, terus langsung naik ke kamar."

Bram terdiam sejenak. Ia sudah menduga Fara akan seperti ini, tetapi mendengar langsung dari Dina tetap membuatnya merasa tidak nyaman.

"Dia tidak cerita apa-apa padamu?" tanya Bram, mencoba menyembunyikan nada cemas dalam suaranya.

Dina menggeleng. "Tidak. Dia cuma bilang pusing. Ada apa, Pa? Apa yang terjadi di sekolah?"

Bram menatap istrinya, ragu. Ia harus memutuskan apakah akan menceritakan semua yang terjadi atau tetap menyembunyikannya.

Bram menggeleng pelan. "Tidak ada. Ya sudah, Papa mau lihat Fara," katanya, tidak ingin berbagi cerita tentang masalah yang ia timbulkan.

"Kamu mau sekalian makan siang di rumah? Aku masakin," tawar Dina.

"Boleh," jawab Bram. Ia lalu berbalik dan melangkah pergi menuju kamar Fara.

Dina menatap punggung suaminya dengan bingung, merasa ada sesuatu yang disembunyikan. Ia kembali melanjutkan kegiatannya di dapur, sementara Bram kini berdiri di depan pintu kamar Fara yang tertutup rapat.

...Hanya ilustrasi gambar....

Bram mengetuk pintu kamar Fara yang tertutup. Di dalam, Fara yang sedang berbaring sambil memejamkan mata, terbangun mendengar ketukan itu.

"Fara, bisa buka pintunya? Ini Papa," kata Bram pelan dari luar.

Fara bangkit, berjalan gontai, dan membuka pintu. Begitu pintu terbuka, ia melangkah mundur, memberi jalan untuk ayahnya. Bram masuk, ekspresi wajahnya serius namun matanya dipenuhi kekhawatiran.

Ia melangkah mendekat, lalu mengangkat tangannya untuk menyentuh kening Fara dan membelai rambutnya. "Kamu nggak apa-apa? Perlu ke dokter?" tanyanya, suaranya melembut.

"Enggak usah, Pa," jawab Fara pelan, memalingkan wajahnya.

Bram menurunkan tangannya dari kening putrinya. Ia mengerti, Fara belum mau berbicara. Ia tidak memaksa, hanya menghela napas. Tanpa berkata-kata, Bram berjalan ke sisi ranjang Fara dan duduk di sana. Ia tidak menatap Fara, hanya duduk diam.

...Hanya ilustrasi gambar....

Keheningan menyelimuti kamar. Fara masih berdiri mematung, sementara Bram tetap duduk diam di tepi ranjang. Suara napas mereka menjadi satu-satunya yang terdengar.

Bram menghela napas panjang. Ia menoleh ke arah Fara, tatapannya melembut.

"Ada apa, Nak? Kamu bisa cerita ke Papa, apa ada sesuatu yang terjadi di sekolah," kata Bram, suaranya pelan dan penuh perhatian.

"Tidak ada," jawab Fara, suaranya terdengar kosong.

Bram menghela napas. Ia tahu Fara berbohong. "Kamu yakin?" tanyanya lembut.

"Iya," Fara mengangguk, berusaha meyakinkan ayahnya.

Bram menatap putrinya lekat-lekat. "Baiklah. Kalau kamu tidak mau cerita atau tidak mau cerita sekarang, tidak apa-apa. Papa akan tunggu sampai kamu siap."

Tepat setelah Bram mengatakan itu, air mata yang selama ini Fara tahan, tumpah begitu saja. Ia tidak bisa lagi membendung emosinya. Isakannya terdengar pilu, menggema di dalam kamar. Bahunya bergetar hebat.

Bram bangkit dari ranjang. Ia melangkah mendekati Fara, lalu tanpa ragu, ia memeluk putrinya erat. Ia tidak berkata apa-apa, hanya membiarkan Fara melepaskan semua tangisnya di dadanya.

...Hanya ilustrasi gambar....

Tubuh Fara yang awalnya kaku, perlahan melunak. Ia membalas pelukan ayahnya, membenamkan wajahnya di dada Bram, dan menangis sejadi-jadinya. Seluruh kesedihan, kemarahan, dan penyesalan yang ia pendam kini tumpah.

Bram mengusap lembut punggung Fara. Ia membiarkan putrinya menangis, tahu bahwa inilah yang dibutuhkan Fara.

Tangis Fara perlahan mereda. Isakannya kini hanya menyisakan getaran halus di tubuhnya. Bram melepaskan pelukan, lalu memegang kedua bahu putrinya, menatap wajah Fara yang basah oleh air mata.

"Papa tahu kamu terluka," kata Bram, suaranya melembut. "Papa tahu kamu merasa semuanya tidak adil. Tapi Papa melakukan ini karena Papa sayang sama kamu, Nak."

Fara hanya menunduk, tidak berani menatap ayahnya.

"Papa minta maaf kalau Papa terlalu keras," lanjut Bram. "Tapi Papa hanya ingin kamu tahu, semua yang Papa lakukan ini untuk kebaikanmu. Papa ingin kamu belajar bertanggung jawab atas perbuatanmu."

Fara akhirnya mengangkat kepalanya, air matanya masih mengalir. "Fara benci sama diri Fara sendiri, Pa. Fara sudah jahat banget sama Aluna," bisiknya, suaranya parau. "Dan Fara enggak tahu gimana caranya untuk perbaiki semuanya."

"Mulai dari diri kamu sendiri, menyesali perbuatanmu," kata Bram, suaranya kembali melembut. "Setelah itu, minta maaf pada Aluna. Coba berbicara berdua dengannya, dari hati ke hati."

Ia mengusap kepala putrinya. "Tapi kamu tidak boleh memaksanya jika dia tidak mau berbicara denganmu. Beri dia waktu, ya Nak."

Fara terdiam, mencerna setiap kata ayahnya. Ia mengangguk, merasa sedikit lega karena akhirnya ia tahu apa yang harus ia lakukan.

Setelah tangis Fara mereda, Bram melepaskan pelukan dan menatap putrinya lekat-lekat.

"Sekarang Papa mau tanya," Bram memulai, suaranya tenang. "Sebenarnya apa yang mendasari kamu berbuat seperti itu?"

Fara hanya diam, menunduk.

"Papa tahu kamu bilang kamu cemburu. Kamu tidak suka Damian dekat-dekat dengan Valeria. Dan Revan," lanjut Bram, menyebutkan nama-nama yang ia dengar dari Fara sebelumnya. "Kamu bilang semua itu tidak adil karena semua orang memuji Valeria seolah dia yang paling sempurna. Kamu juga bilang kamu menginginkan Damian kembali."

Bram mengambil jeda, memberi waktu bagi putrinya untuk mencerna kata-katanya. "Tapi, apa itu yang kamu inginkan, atau ada hal lain?"

Fara terdiam. Kata-kata ayahnya menembus pertahanan terakhirnya. Ia menunduk, tidak berani menatap mata Bram. Air matanya kembali mengalir, namun kali ini bukan tangisan marah. Ini adalah tangisan penyesalan yang mendalam.

"Aku... aku enggak tahu, Pa," bisik Fara, suaranya parau. Ia menarik napas dalam, mengumpulkan keberanian.

"Fara... Fara takut enggak bisa jadi seperti yang Papa mau. Fara takut mengecewakan Papa," isaknya, akhirnya jujur. "Semua orang selalu memuji Valeria, semua orang selalu bilang kalau dia sempurna. Fara... Fara cuma ingin diakui. Fara cuma ingin jadi yang terbaik di mata Papa."

Bram terkejut, hatinya terasa sakit. Ia tidak pernah menyadari bahwa di balik sikap keras kepala putrinya, ada rasa takut dan tidak percaya diri yang begitu besar.

"Papa," Fara melanjutkan, "Fara takut... Papa enggak pernah benar-benar bangga sama Fara."

Air mata Fara terus mengalir. Isakannya berubah menjadi kata-kata yang penuh kepahitan.

"Fara selalu bikin masalah, Pa," isak Fara. "Fara enggak pernah bisa mendapatkan apa yang Fara mau. Sedangkan dia... dia punya semuanya yang Fara inginkan."

Fara mengangkat kepalanya, matanya merah, menatap ayahnya.

"Dia populer di sekolah, disukai, punya banyak teman. Ada orang yang menyayanginya dan mencintainya. Dia selalu diperhatikan," kata Fara, suaranya dipenuhi rasa iri yang mendalam.

Fara menunduk. Isakannya kembali, namun kali ini bercampur dengan amarah.

"Dan Damian..." Fara memulai, suaranya bergetar. "Sejak aku lihat dia sama Valeria, aku marah. Aku kesal. Selama Fara dengan Damian, dia enggak pernah se-perhatian itu sama Fara. Saat Fara lihat Valeria dengan Revan dan melihat betapa Revan begitu sangat perhatian kepada Valeria, Fara iri. Fara cemburu. Sampai-sampai Fara mau Revan jadi milik Fara. Padahal saat itu Fara masih pacaran sama Damian."

Fara mengangkat kepalanya, air matanya membasahi pipi. "Fara lihat Valeria dan Revan saat Fara menonton pertandingan basket di sekolah Damian yang sekarang jadi tempat sekolah Fara."

Bram menatap putrinya dengan tatapan nanar. Ia menghela napas panjang.

"Apa itu juga alasan kamu mau masuk di sekolah ini?" tanya Bram, suaranya pelan. "Karena ada Damian dan Revan?"

Fara mengangguk, isakannya perlahan mereda. "Iya, Pa..." jawabnya pelan. "Tapi..."

Fara menggantungkan kalimatnya. Ia menatap ayahnya, air matanya menetes. Ia tidak bisa lagi menyembunyikan kebenaran.

"Tapi Fara... Fara mau membuktikan, kalau Fara juga bisa seperti mereka, Pa. Fara mau buktikan kalau Fara juga bisa disayang dan diperhatikan."

Fara menatap ayahnya, air matanya terus mengalir. Suaranya bergetar, penuh kepedihan.

"Apa Fara tidak pantas untuk disayangi dan merasakan perhatian dari seseorang yang Fara sukai?" tanyanya, suaranya terdengar begitu pilu.

Bram terdiam. Kata-kata putrinya menghantamnya telak, membuatnya menyadari betapa jauhnya ia dari hati Fara. Ia melangkah maju, memegang kedua pipi Fara, dan menghapus air matanya dengan ibu jarinya.

"Dengar Papa, Nak," kata Bram, suaranya tegas namun dipenuhi kelembutan. "Kamu sangat pantas untuk disayangi dan dicintai. Kamu sangat pantas untuk mendapatkan perhatian dari orang yang kamu sukai."

Fara hanya bisa menatap ayahnya, tak percaya.

"Tapi yang terpenting, kamu harus menyayangi dan mencintai dirimu sendiri dulu," lanjut Bram. "Perhatian dan kasih sayang itu tidak bisa didapatkan dengan membuat orang lain cemburu, atau dengan menyakiti orang lain. Kasih sayang itu akan datang dengan sendirinya saat kamu menjadi dirimu sendiri, tanpa harus menjadi orang lain."

Bram memeluk putrinya kembali. "Papa dan Mama sangat sayang sama kamu, Nak. Selalu."

Fara membalas pelukan itu, air matanya kembali mengalir, namun kali ini bercampur dengan kelegaan yang luar biasa. Untuk pertama kalinya, ia merasa dipahami. Rasa sakit yang selama ini membebani hatinya perlahan mulai mencair.

Bram mengusap rambut putrinya. Ia menjauhkan sedikit tubuhnya agar bisa menatap mata Fara.

"Dengar, Fara," kata Bram dengan nada bijak. "Iri dan cemburu itu manusiawi. Tapi, jangan sampai iri dan cemburu kamu membawa kamu melakukan hal-hal yang menyakitkan orang lain. Apa yang kamu lakukan pada Aluna itu sudah sangat berlebihan."

Fara hanya menunduk, air matanya kembali menetes, kali ini karena rasa penyesalan.

"Fara akan coba, Pa," bisiknya. "Fara akan coba perbaiki semuanya."

Bram tersenyum tipis. "Papa percaya kamu bisa, Nak. Mulailah dengan dirimu sendiri. Perbaiki hatimu, baru perbaiki hubunganmu dengan orang lain."

Fara mengangguk. Tepat pada saat itu, Dina masuk ke dalam kamar, membawa nampan berisi semangkuk nasi dan segelas air, serta beberapa butir obat. Ia melihat Fara dan Bram yang duduk berdampingan di ranjang.

"Nak, makan dulu, ya," kata Dina, suaranya lembut. "Mama sudah siapkan makan siang."

Fara menatap ibunya dengan mata yang masih sembap. Ia tidak berkata apa-apa, tetapi ia meraih nampan itu dan mulai makan perlahan. Ia merasa sangat lelah, tetapi juga merasa lega.

Bram menatap istrinya dengan senyum tipis, merasa bersyukur atas kehadiran Dina yang selalu bisa menenangkan suasana. Ia mengusap kepala Fara sekali lagi sebelum bangkit.

"Papa akan turun dulu," kata Bram. "Nanti kita bicara lagi."

Fara hanya mengangguk. Ia terus makan, sementara Bram dan Dina meninggalkannya sendirian. Untuk pertama kalinya, Fara merasa benar-benar siap untuk menghadapi hari esok.

Dina menuruni tangga dan berjalan menuju ruang kerja Bram. Ia melihat suaminya sedang membereskan beberapa berkas di mejanya.

"Pa..." panggil Dina pelan.

Bram menoleh. Ia melihat kekhawatiran yang masih tersisa di mata istrinya. Ia tahu Dina ingin berbicara.

Dina berjalan mendekat dan duduk di kursi di depan meja Bram.

"Ada apa, Ma?" tanya Bram, meletakkan berkasnya.

Dina menghela napas. "Fara..." suaranya bergetar. "Dia kenapa, Pa? Aku melihatnya begitu rapuh. Ada apa sebenarnya?"

Bram menatap istrinya, sadar bahwa ia tidak bisa lagi menyembunyikan masalah ini. Ia menceritakan semua yang terjadi: tentang rencananya untuk membuat Fara mandiri, tentang Aluna, dan yang paling penting, tentang pengakuan Fara yang dipenuhi rasa takut dan iri. Ia menceritakan betapa hancurnya Fara saat ia mengatakan bahwa ia merasa tidak pantas untuk disayangi.

Dina mendengarkan dengan air mata berlinang. Ia memegang tangan Bram erat. "Maafkan aku, Pa," bisiknya. "Aku juga tidak menyadari kalau putri kita merasa sekesepian itu."

Bram menggeleng. "Kita akan hadapi ini bersama-sama, Ma. Kita akan bantu Fara. Kita akan pastikan dia tahu betapa berharganya dia."

Rumah Valeria

Di halaman belakang, Valeria dan Tante Kiara menikmati sore hari yang cerah. Tante Kiara menyesap es kopi susunya, sementara Valeria meminum es teh lemon yang ia buat. Mereka duduk santai di sofa, menikmati waktu bersama.

...Hanya ilustrasi gambar ....

Tepat saat mereka sedang asyik, Diandra datang menghampiri. Ekspresi wajahnya terlihat dingin.

"Valeria, hari ini kamu libur les karena Bu Jasmin sedang cuti," kata Diandra dengan nada tegas. "Tapi bukan berarti kamu bisa berleha-leha seperti ini. Kamu harus tetap belajar sendiri."

Valeria dan Tante Kiara saling berpandangan. Keheningan yang tiba-tiba menyelimuti mereka terasa lebih dingin dari es di gelas mereka.

Tante Kiara menatap Diandra, lalu tersenyum tipis. "Baiklah, ayo, Valeria, kita belajar," katanya. "Nanti Tante ajari."

Ia kemudian mengambil tangan Valeria, mengajaknya beranjak. Saat berjalan melewati Diandra, ia meliriknya sekilas.

"Kalau begitu, kami mau belajar dulu, Mbak," kata Tante Kiara dengan nada sopan namun penuh ketegasan.

Diandra hanya terdiam, menatap kepergian mereka dengan tatapan dingin. Ia tidak menyangka adiknya akan berani menentangnya. Tante Kiara membawa Valeria menjauh, menuju kamar Valeria.

Di dalam kamar, Valeria berjalan menuju rak buku, sementara Tante Kiara duduk di tepi ranjang.

"Val, kamu mau ngapain? Sini duduk," panggil Tante Kiara.

"Mau ambil buku," jawab Valeria.

"Buat apa?"

"Belajar. Bukannya kita mau belajar, Tante?" tanya Valeria, bingung.

Tante Kiara tersenyum, lalu menepuk tempat di sampingnya. "Ih, udah, enggak usah. Nanti aja belajarnya malam," bisik Tante Kiara, seolah mereka sedang bersekongkol. "Lagian, Mama kamu kan enggak tahu. Sini, kita tiduran sambil nonton film."

Valeria menghela napas, sebuah senyum kecil terukir di bibirnya. Ia meletakkan bukunya kembali dan berjalan mendekati Tante Kiara, lalu merebahkan diri di samping nya.

Tante kiara berkata "Val, ambil laptop kamu," katanya.

Valeria bangkit dan mengambil laptopnya yang ada di atas meja belajar. Ia kembali ke ranjang, lalu menyalakannya.

"Kamu mau nonton apa?" tanya Tante Kiara.

"Wednesday," jawab Valeria.

Tante Kiara tersenyum. "Oh, itu yang lagi viral ya? Oke, ayo kita nonton itu."

Mereka berdua merebahkan diri dengan nyaman, dan suara intro film mulai terdengar. Suasana kamar menjadi tenang, jauh dari ketegangan yang ada di luar.

...Hanya ilustrasi gambar....

Mereka berdua fokus menatap layar laptop. Di adegan saat Wednesday sedang berlatih anggar dengan Bianca, Tante Kiara tertawa kecil.

...Hanya ilustrasi gambar....

"Dia ini aneh-aneh aja, ya," kata Tante Kiara, sambil mengamati ekspresi datar Wednesday. "Tidak pernah senyum."

"Dia bukan aneh, Tante. Dia cuma tidak ingin berpura-pura," jawab Valeria tanpa mengalihkan pandangannya dari layar. "Dia tahu siapa dirinya, jadi dia tidak peduli orang lain mau bilang apa."

Tante Kiara menoleh ke arah Valeria, menatapnya dengan lembut. "Apa kamu juga merasa seperti itu, Val?"

Valeria menghela napas. "Kadang-kadang. Rasanya semua orang ingin aku menjadi seseorang yang bukan diriku. Mama ingin aku jadi yang paling pintar. Orang-orang di sekolah ingin aku jadi yang paling sempurna. Tapi aku... aku cuma ingin jadi diri sendiri."

Tante Kiara mematikan laptop dan memeluk Valeria. Ia mengusap rambut Valeria dengan penuh kasih sayang, lalu berkata, "Kamu sudah sempurna, Nak. Tidak perlu menjadi orang lain. Biarkan mereka saja yang belajar menerima kamu apa adanya."

Saat Valeria hendak menjawab, tiba-tiba Tante Kiara mendengar langkah kaki mendekati kamar. Ia membulatkan matanya.

"Val, cepat ambil bukunya!" bisik Tante Kiara panik.

Valeria yang terkejut segera berlari ke rak buku dan mengambil buku pelajarannya. Tante Kiara dengan gesit menyembunyikan laptop di bawah selimut. Ketika pintu hendak dibuka, Tante Kiara melirik ke arah Valeria. Valeria yang mengerti isyarat itu langsung berlari ke ranjang, membuka buku, dan berpura-pura membaca.

Tepat saat itu, Diandra membuka pintu. Ia melihat Valeria dan Tante Kiara yang tampak serius "belajar" di atas ranjang.

Tante Kiara mengangkat wajahnya, tersenyum ramah seolah tidak terjadi apa-apa. "Hai, Mbak. Ada apa?" tanyanya.

Diandra menatap mereka berdua, alisnya terangkat sedikit. Ia melihat Valeria yang menunduk dengan buku terbuka di pangkuannya. Ada ekspresi yang tidak bisa ia baca di wajah Diandra.

"Tidak ada. Mama cuma mau memastikan kamu sudah mulai belajar,Valeria." jawab Diandra dengan nada datar. "Baguslah kalau begitu."

Setelah mengatakan itu, Diandra menutup pintu dan pergi menuju kamarnya.

Begitu pintu tertutup, Valeria dan Tante Kiara saling berpandangan, lalu menghela napas lega secara bersamaan.

"Hampir saja," bisik Tante Kiara, sambil tersenyum kecil.

Valeria membalas senyum itu. Tante Kiara mengambil laptop yang ia sembunyikan di bawah selimut. Tanpa berkata-kata lagi, mereka melanjutkan menonton film mereka, menikmati sisa waktu yang mereka miliki sebelum Valeria harus kembali belajar.

Keesokan harinya, Fara terbangun dari tidurnya dengan perasaan yang berbeda. Kata-kata ayahnya semalam masih terngiang di kepalanya, memberikan sebuah misi baru yang harus ia selesaikan. Dengan tekad yang kuat, Fara bersiap pergi ke sekolah, bertekad untuk menghadapi Aluna dan memperbaiki kesalahannya.

Sementara itu Di kamar Valeria, Tante Kiara yang tertidur pulas di kasur puteri kakaknya itu, tiba-tiba terbangun. Ia melirik jam di meja nakas yang sudah menunjukkan pukul 06.30 pagi.

"Val, bangun!" bisik Tante Kiara sambil menggoyang-goyang tubuh Valeria. "Val, bangun, kamu harus sekolah!"

Valeria menggeliat, matanya masih terpejam. "Hah? Jam berapa ini?"

Tepat saat itu, Diandra membuka pintu kamar Valeria. Ia melihat putri dan adiknya yang masih berbaring di kasur.

"Kalian baru bangun? Ini sudah jam berapa? Apa sebenarnya yang kalian lakukan tadi malam?" tanyanya dengan nada dingin.

Valeria dan Tante Kiara saling melirik panik. Tante Kiara dengan cepat mengedipkan matanya ke arah Valeria, lalu menjawab, "Kami belajar, Mbak. Iya kan, Valeria? Kami belajar sampai malam."

Valeria yang mengerti isyarat itu langsung mengangguk.

"Iya, Ma. Kami habis belajar sampai malam."

"Ya sudah. Kamu cepat mandi dan siap-siap," kata Diandra, nadanya melunak sedikit karena mereka terlihat belajar. "Ini sudah jam setengah tujuh."

Valeria terkejut. "Setengah tujuh?!" Ia langsung melompat dari kasur dan berlari ke kamar mandi.

Setelah Valeria masuk, Diandra meninggalkan kamar, kembali ke kamarnya. Tante Kiara juga beranjak dari kasur dan kembali ke kamarnya, merasa lega karena mereka berhasil lolos.

Di saat yang sama, rumah Aluna. Aluna sudah siap dengan seragam sekolahnya. Ia menuruni anak tangga, dan di lantai bawah, ia melihat meja makan sudah dipenuhi dengan berbagai masakan. Aroma sedap langsung memenuhi indra penciumannya.

...Hanya ilustrasi gambar....

Tiba-tiba, Bi Siti muncul dari dapur dengan senyum hangat di wajahnya.

"Aluna, kamu sudah siap?" sapa Bi Siti. "Ayo, kita sarapan bersama. Tante sudah masak makanan buat kamu."

Aluna terdiam sejenak, terkejut. Sudah lama ia tidak sarapan ditemani, apalagi dengan masakan rumah.

Bi Siti melihat ekspresi Aluna, lalu tersenyum canggung.

"Maaf kalau rasanya mungkin tidak seenak masakan Mama kamu, ya."

Aluna tersenyum. Senyum itu tulus dan hangat, membuat wajahnya yang lelah terlihat lebih cerah.

"Tentu, Tante," jawab Aluna. Ia berjalan mendekati meja makan. "Ini pasti enak. Terima kasih sudah memasak untuk Aluna."

Bi Siti tersenyum lega. Mereka berdua lalu duduk bersama. Aluna mengambil sesendok nasi dan lauk yang dimasak Bi Siti. Begitu ia mencicipinya, matanya langsung berbinar.

"Ini enak sekali, Tante," kata Aluna, jujur.

Bi Siti tertawa kecil, merasa senang. "Syukurlah kalau kamu suka, Nak. Rasanya Tante senang sekali bisa memasak untukmu."

Mereka sarapan dengan tenang, diselimuti percakapan ringan yang membuat suasana terasa nyaman. Untuk pertama kalinya dalam beberapa hari, Aluna merasa ada yang menjaganya. Setelah sarapan, Aluna membereskan piringnya.

"Aluna berangkat sekolah, Tante," kata Aluna sambil meraih tasnya.

"Hati-hati, Nak," jawab Bi Siti, melambaikan tangan.

Aluna mengangguk, lalu berjalan keluar rumah. Ia menarik napas dalam, berusaha menenangkan diri sebelum menghadapi apa pun yang akan menunggunya di sekolah.

Bersambung.....

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!