NovelToon NovelToon
Cinta Untuk Nayla & Nando

Cinta Untuk Nayla & Nando

Status: tamat
Genre:CEO / Cinta Seiring Waktu / Tamat
Popularitas:212
Nilai: 5
Nama Author: tanty rahayu bahari

Nayla, seorang ibu tunggal (single mother) yang berjuang menghidupi anak semata wayangnya, Nando, dan neneknya, tanpa sengaja menolong seorang wanita kaya yang kecopetan. Wanita itu ternyata adalah ibu dari Adit, seorang pengusaha sukses yang dingin namun penyayang keluarga. Pertemuan itu membuka jalan takdir yang mempertemukan dua dunia berbeda, namun masa lalu Nayla dan status sosial menjadi penghalang cinta mereka.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon tanty rahayu bahari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 13: Gajah, Es Krim, dan Ayah Bayangan

​Sabtu pagi di Kebun Binatang Ragunan. Matahari bersinar terik, udara berdebu, dan ribuan manusia tumpah ruah menikmati liburan murah meriah di Jakarta Selatan.

​Adit berdiri di dekat gerbang masuk utara, menyeka keringat di dahinya dengan punggung tangan. Ia mengenakan kaos polos warna putih seharga lima puluh ribu (yang ia beli dadakan semalam di toko online dengan pengiriman instan), celana pendek kargo selutut, dan sandal gunung. Jam tangan Rolex-nya ia tinggalkan di laci apartemen, digantikan jam tangan digital karet hitam biasa.

​Ia berusaha membaur. Namun, kulitnya yang terlalu bersih dan postur tubuhnya yang tegap atletis tetap membuatnya sedikit mencolok di antara kerumunan bapak-bapak yang sedang menggendong anak atau menenteng tikar.

​"Mas Adit!"

​Suara ceria itu membuat Adit menoleh. Nayla melambaikan tangan dari kejauhan. Ia mengenakan kaos lengan panjang garis-garis dan celana jeans, rambutnya dikuncir kuda, wajahnya polos tanpa makeup namun terlihat sangat segar. Di sampingnya, Nando mengenakan topi bergambar Boboiboy, melompat-lompat kegirangan.

​"Maaf ya Mas, nunggu lama. Tadi antre tiketnya panjang banget," ujar Nayla ngos-ngosan saat sampai di depan Adit.

​"Nggak apa-apa, saya juga baru sampai kok," bohong Adit. Padahal ia sudah menunggu 30 menit karena datang kepagian saking semangatnya.

​Adit berjongkok, menyamakan tingginya dengan Nando. "Halo, Jagoan. kenal Om nggak?"

​Nando bersembunyi sedikit di balik kaki ibunya, malu-malu. "Inget... Om Kue Cokelat."

​Adit tertawa lepas. "Om Kue Cokelat? Boleh juga panggilannya. Siap liat gajah?"

​"Siap!" seru Nando, rasa malunya langsung hilang.

​Mereka bertiga mulai berjalan menyusuri jalan setapak yang padat. Bagi Adit, ini adalah pengalaman baru. Seumur hidupnya, liburan berarti ke Singapura, Jepang, atau Eropa. Ia belum pernah berdesak-desakan di Ragunan, mencium aroma campur aduk antara keringat manusia, kotoran hewan, dan pedagang kerak telor.

​Namun, melihat senyum Nayla di sampingnya, semua ketidaknyamanan itu menguap.

​"Panas ya, Mas? Maaf ya, liburannya rakyat jelata banget," komentar Nayla, melihat Adit mengipas-ngipas leher dengan sobekan kardus.

​"Seru kok. Lebih hidup daripada mall," jawab Adit tulus.

​Mereka sampai di kandang jerapah. Kerumunan sangat padat. Nando yang bertubuh kecil kesulitan melihat karena terhalang punggung orang-orang dewasa.

​"Ibu, nggak kelihatan..." rengek Nando, menarik-narik baju Nayla. "Mau liat jerapah..."

​Nayla tampak kesulitan. Ia mencoba menggendong Nando, tapi berat badan bocah 4 tahun itu cukup lumayan. Nayla terhuyung sedikit.

​Tanpa banyak bicara, Adit mengambil alih. "Sini sama Om."

​Dengan enteng, Adit mengangkat tubuh Nando dan mendudukkannya di atas pundaknya yang kokoh.

​"Wah! Tinggi!" teriak Nando kegirangan. Ia memegang kepala Adit sebagai pegangan. "Ibu! Nando tinggi banget! Jerapahnya kelihatan!"

​Nayla terpaku melihat pemandangan itu. Pria asing yang baru dikenalnya seminggu lalu, kini menggendong anaknya di pundak tanpa rasa jijik atau keberatan sedikitpun. Nando terlihat begitu nyaman, seolah ia berada di tempat yang seharusnya—di pundak seorang ayah.

​Hati Nayla berdesir. Ada rasa hangat yang menjalar, diikuti rasa perih. Ia sadar betapa Nando merindukan sosok ayah.

​"Liat tuh, Nando. Lidah jerapahnya panjang kan?" tunjuk Adit, ikut antusias.

​"Iya! Warnanya ungu!"

​Nayla diam-diam mengeluarkan ponselnya. Dari belakang, ia memotret punggung Adit yang lebar dengan Nando di atasnya. Momen itu terlalu indah untuk dilewatkan.

​Klik.

​Foto itu tersimpan di galerinya, dan mungkin... di hatinya.

​Setelah lelah berkeliling, mereka menggelar tikar sewaan di bawah pohon rindang untuk istirahat makan siang. Nayla mengeluarkan bekal lontong sayur dan gorengan yang ia beli di kantin.

​"Ayo makan, Mas. Jangan sungkan," ajak Nayla.

​Adit duduk bersila dengan canggung (ia tidak biasa duduk di tanah), lalu mengambil sepiring lontong.

​"Mas Adit beneran nggak punya pacar?" tanya Nayla tiba-tiba di sela makan.

​Adit nyaris tersedak kerupuk. "Kok nanya gitu lagi?"

​"Heran aja. Mas Adit tuh... father material banget. Tadi cara Mas gendong Nando, cara ngeladenin cerewetnya dia. Jarang lho cowok bujangan yang luwes sama anak kecil."

​Adit tersenyum tipis, menatap Nando yang sedang sibuk memberi makan remah kerupuk ke semut di tanah.

​"Mungkin karena saya anak tunggal, Nay. Saya selalu pengen punya adik atau keluarga rame. Jadi kalau liat anak kecil, bawaannya seneng."

​"Beruntung banget nanti perempuan yang jadi istri Mas," gumam Nayla pelan, nyaris tak terdengar.

​"Kamu bilang apa?"

​"Eh, nggak! Maksudnya... kerupuknya enak," Nayla salah tingkah, wajahnya memerah.

​Adit tertawa. Ia tahu Nayla berbohong, tapi ia membiarkannya.

​Selesai makan, Nando melihat penjual mainan keliling yang membawa balon gas berbentuk pesawat terbang.

​"Ibu... mau balon..." pinta Nando dengan mata memelas.

​Nayla mengecek dompetnya. Sisa uang tunainya tinggal sedikit untuk ongkos pulang. Harga balon gas di tempat wisata biasanya dua kali lipat harga normal.

​"Nando, balonnya di rumah kan masih ada yang tiup. Nanti pecah lho kalau kena panas," bujuk Nayla halus.

​"Tapi yang ini bisa terbang, Bu..." bibir Nando mulai melengkung ke bawah, tanda-tanda mau menangis.

​Nayla menghela napas. Ia tidak tega, tapi ia harus berhemat. "Nando anak pinter kan? Nanti Ibu beliin es krim aja ya yang seribuan? Jangan balon."

​Nando menunduk sedih, tapi mengangguk patuh. Ia anak yang pengertian.

​Adit melihat interaksi itu. Tangannya gatal ingin merogoh saku. Bagi Adit, membelikan pabrik balonnya sekalian pun ia mampu. Tapi ia ingat, ia adalah "Mas Adit Staf Pengawas", bukan "Bapak CEO". Staf pengawas tidak mungkin menghamburkan uang.

​Namun, melihat wajah murung Nando, pertahanan Adit runtuh.

​"Pak!" panggil Adit pada tukang balon. "Balon pesawat satu."

​"Mas, jangan!" cegah Nayla. "Mahal, Mas. Nggak usah dimanja."

​"Nggak apa-apa, Nay. Anggap aja hadiah karena Nando udah jadi anak pinter hari ini," Adit mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu. "Nih, Nando. Pegang yang kenceng ya talinya."

​Wajah Nando langsung cerah kembali bagai matahari terbit. "Makasih Om Adit!"

​"Mas..." Nayla menatap Adit dengan rasa bersalah. "Saya jadi ngerepotin terus. Mas udah bayar tiket masuk tadi, sekarang beliin mainan."

​"Uang bisa dicari, Nay. Senyum anak kamu itu limited edition," jawab Adit santai.

​Kalimat sederhana itu membuat benteng pertahanan hati Nayla runtuh satu bata lagi.

​Sementara itu, di sebuah kafe starbucks yang dingin di Jakarta Pusat.

​Vina duduk sendirian menghadap laptopnya. Ia bukan sedang bekerja, melainkan sedang melakukan investigasi pribadi.

​Di layar laptopnya, terpampang foto jam tangan yang ia ambil kemarin, disandingkan dengan foto jam tangan dari website resmi Rolex.

​"Cocok. Rolex Submariner Date ref. 126610LN. Harga pasaran sekarang 215 juta," gumam Vina.

​Ia kemudian membuka foto lain di ponselnya. Foto buram mobil Alphard yang dinaiki "Mas Adit" kemarin sore. Plat nomornya terlihat samar: B 176 RHD.

​Vina mengetik plat nomor itu di mesin pencari, tapi tidak ada hasil. Ia mencoba taktik lain. Ia mencari struktur organisasi Rahardian Group.

​Muncul bagan organisasi lengkap dengan foto para direksi.

Direktur Keuangan: Ir. Darmawan Susanto.

​"Nah, ini bapak-bapak yang bukain pintu mobil kemarin," Vina mengenali wajah Pak Darmawan.

​Lalu matanya beralih ke posisi paling atas bagan itu.

CEO / President Director: Aditya Rahardian.

​Sayangnya, tidak ada foto di sana. Hanya siluet abu-abu. Adit memang dikenal sangat menjaga privasinya dan jarang mau difoto untuk profil publik website perusahaan demi alasan keamanan.

​"Aditya... Adit..." Vina mengeja nama itu.

​"Mas Adit... Aditya Rahardian..."

​Mata Vina membelalak. Napasnya tercekat.

​"Nggak mungkin," bisiknya tak percaya. "Masa CEO turun ke lantai 15 jadi staf rendahan? Buat apa? Prank TV? Atau..."

​Otak licik Vina mulai menyusun skenario. Jika benar "Mas Adit" teman Nayla adalah Aditya Rahardian sang pemilik perusahaan, maka Nayla bukan sekadar staf admin beruntung. Nayla adalah target yang sangat berbahaya.

​Tapi jika Nayla tahu siapa Adit sebenarnya, kenapa Nayla masih naik ojol dan makan di pantry? Kenapa Nayla tidak pamer?

​"Kecuali..." senyum sinis terukir di bibir Vina. "Kecuali Nayla nggak tau siapa cowok itu sebenernya. Si Bos lagi main sandiwara."

​Vina menutup laptopnya dengan kasar. Rasa irinya berubah menjadi rasa memiliki kuasa. Ia memegang kartu As.

​"Oke, Nayla. Kamu mungkin dapet perhatian si Bos sekarang. Tapi kalau aku bongkar rahasia ini di waktu yang tepat... Game Over."

​Kembali ke Ragunan.

Langit sore mulai jingga. Nando sudah tertidur pulas di gendongan Adit dalam perjalanan menuju pintu keluar. Kepalanya terkulai di bahu Adit, air liurnya sedikit membasahi kaos putih mahal (tapi murah) milik Adit.

​"Sini Mas, gantian aku gendong. Mas pasti pegel," tawar Nayla.

​"Ssst," Adit menggeleng pelan. "Biarin aja. Saya kuat kok. Kasihan kalau dibangunin pindah tangan."

​Mereka berjalan bersisian dalam diam menuju pangkalan taksi.

​"Mas Adit," panggil Nayla pelan.

​"Hm?"

​"Makasih ya buat hari ini. Ini hari paling bahagia buat Nando setelah sekian lama."

​Adit menoleh, menatap mata cokelat Nayla yang berbinar tulus.

​"Buat saya juga, Nay. Makasih udah bolehin saya ikut."

​Di detik itu, di tengah hiruk pikuk klakson dan pedagang kaki lima, Adit merasa ia tidak ingin menjadi CEO Rahardian Group. Ia hanya ingin menjadi Adit, pria sederhana yang bisa berjalan di samping Nayla dan menggendong Nando pulang.

​Tapi takdir—dan Vina—punya rencana lain.

...****************...

Bersambung....

Terima kasih telah membaca💞

Jangan lupa bantu like komen dan share❣️

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!