zahratunnisa, gadis berparas ayu yang sedang menempuh pendidikan di Dubai sebuah musibah menimpanya, hingga akhirnya terdampar di amerika.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ewie_srt, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dua belas
Zahra menatap takjub, wanita cantik yang duduk di hadapannya. Matanya yang berwarna coklat kehijauan, dengan hidung mancung. Alisnya yang tertata rapi tanpa di gambar, di sudut bibirnya yang tebal seksi ada tai lalat yang membuat wanita itu terlihat sangat cantik.
Wanita cantik itu tersenyum ramah, mengulurkan tangan mengajak zahra berjabat tangan.
"saya amira..!" ujarnya memperkenalkan diri.
Zahra menyambut tangan itu, kepalanya mengangguk sopan.
"zahratunnisa.."
Adiba yang duduk di samping zahra juga terpesona oleh kecantikan istri kedua ommar itu, suara decakan kagum keluar dari bibirnya.
"masya Allah"
Hanya sebuah seruan kagum yang keluar dari bibir gadis manis itu.
"silahkan duduk putri.." zahra mempersilahkan wanita cantik yang menurutnya berusia sekitar 28 tahun.
Putri amira mengangguk, wanita itu duduk dengan anggun.
"panggil saja saya amira, terlalu kaku kalau kamu panggil saya putri" ujarnya tersenyum ramah. Zahra mengangguk sopan, ia juga tersenyum walau ia tahu mungkin senyumnya terlihat ragu.
"saya penasaran dengan kamu zahra, ternyata kamu memang cantik, pantas saja suami saya bisa jatuh cinta padamu!"
Zahra menelan salivanya susah payah, walau ini bukan yang pertama kali dia bertemu dengan orang di negara ini yang begitu ceplas ceplos, namun rasa syok masih menghampirinya.
"saya dan pangeran ommar tidak memiliki hubungan apapun putri.."
Amira terlihat manggut-manggut, wajah cantiknya terlihat percaya.
"saya tahu kok, kalau kamu tidak memiliki hubungan apapun dengan suami saya, saya hanya ingin mengenal kamu, mana tahu takdir kamu dan suami saya berbicara lain. Ketika Allah berkehendak, apa yang bisa manusia katakan"
Zahra menggeleng cepat,
"tapi saya akan berusaha sekuat tenaga untuk tidak memiliki takdir dengan pangeran ommar.."
Adiba menoleh, menatap zahra lekat. Ia tersenyum manis, ternyata zahra telah kembali. Suara zahra tak lagi ragu seperti kemarin.
"kenapa?" tanya amira mengernyitkan keningnya heran,
"apakah suami saya tidak cukup tampan untukmu?"
Zahra menggeleng cepat,
"terlalu tampan malah.." bisiknya lirih, ia menatap amira lamat.
"saya tidak mau berbagi suami, putri amira. Saya tidak siap menjadi orang ketiga dalam hubungan orang lain"
Putri itu terlihat heran, namun ia tetap menganggukkan kepalanya.
"benar kata latifa, kamu memang tak berminat menjadi adik madu kami..."
Ia menghela nafasnya sesaat, kemudian menatap lekat wajah zahra.
"saya senang mendengarnya zahra, ternyata masih ada wanita sebaik kamu. Walau jujur saya ingin mencari apa yang membuat ommar jatuh hati padamu..."
Tatapan mata putri amira terlihat tajam, walau ucapannya lembut.
"tapi beberapa hari yang lalu, kamu baru bertemu dengan pangeran ommarkan?, apa yang kalian bicarakan?" tanyanya penuh selidik
Zahra terkesiap mendengar pertanyaan itu, ternyata istri kedua ommar ini mengetahui semua pergerakan suaminya. Ada rasa takut menyelinap dalam hatinya, wanita di hadapannya ini terlihat berbeda. Matanya yang menatap tajam, suaranya yang berubah dingin sukses membuat zahra takut.
"saya ingin menolak lamaran pangeran ommar, putri. Saya hanya merasa tak sopan jika menolak lamarannya melalui pesan"
"heummm" gumam putri amira menganggukkan kepalanya, senyum manisnya kembali terlihat.
"saya harap, kamu tidak pernah berubah pikiran yah zahra. Saya pegang ucapan kamu, saya harap kita bisa bersahabat, tanpa harus berbagi suami" terdengar tawanya merdu, tapi entah mengapa, bagi zahra ucapan amira barusan seperti sebuah ancaman.
#######
"ihhhh, ternyata ucapan putri latifa tempo hari benaran raa, putri amira menakutkan" adiba bergidik ngeri mengingat ucapan dan tatapan wanita cantik tadi, ia berjalan tenang di sisi zahra yang juga berpikir hal yang sama.
"mendingan kamu jangan kepikiran deh raa, seganteng apapun pangeran ommar, kalau istrinya seperti tadi, mendingan nggak usah"
Zahra tersenyum lucu, terlihat adiba masih memikirkan istri kedua pangeran ommar itu.
"kamu nggak usah ketemuan lagi dengan suaminya, putri amira sepertinya sangat pencemburu"
Zahra mengangguk setuju, ia juga menyadari kalau istri kedua pangeran ommar itu sedikit berbahaya.
"aku tolak lewat pesan aja deh, aku jadi mendadak takut ketemu pangeran ommar"
"benar.." angguk adiba cepat,
"lebih baik nggak usah ketemuan-ketemuan lagi, bahaya raa..!"
"bagaimana dengan uang beasiswa yang dari beliau pribadi?, ku tf balik atau gimana?"
Adiba terlihat termenung sesaat, mata besarnya terlihat berpikir.
"kalau kamu nggak ingin lagi bersinggungan dengan pangeran itu, menurutku lebih baik sekalian kamu pulangkan raa..."
"oke deh..." sahut zahra cepat, namun wajah cantiknya masih terlihat ragu.
"menurutmu, apakah aku tidak akan mendapatkan masalah kedepannya?" pertanyaan zahra itu terdengar lirih, sepertinya gadis itu bertanya pada dirinya sendiri.
"semoga saja tidak, insya Allah" sahut adiba menenangkan. Gadis tinggi besar itu menepuk lembut pundak zahra yang terlihat termenung,
"ayo..kita pulang, sebentar lagi waktunya salat ashar raa.."
Zahra mengangguk patuh, ia mengikuti langkah panjang sahabatnya itu. Setitik rasa tenang menghampirinya, semoga saja ia tak lagi ragu mendengar lamaran pangeran ommar.
Ia bertekad kali ini ia hanya akan menjawab pria itu lewat telepon saja, zahra takut jika ia bertemu dengannya lagi, akan membuat hatinya kembali ragu.
Karena jujur saja, pangeran ommar adalah laki-laki yang tak layak di tolak, pesona pria itu sungguh sangat mempesona. Zahra saja yang tak pernah tergiur melihat ketampanan pria, untuk kali ini, ia mengaku kalah. Hatinya sempat berdebar indah, ia sempat bermimpi menjadi istri pria tampan nan rupawan itu. Zahra hampir menerima lamarannya, dengan syarat pria itu mau meninggalkan semua demi dirinya.
Kini senyum zahra kembali cerah, untung saja ia bertemu istri kedua pangeran ommar, pertemuan itu menyadarkannya dari mimpi sekilasnya. Di dalam hati, zahra tak henti mengucap syukur, keberadaan dan nasehat adiba masih membuatnya bisa berpikir jernih. Dirinya tidak akan berubah menjadi wanita yang paling ia benci.
"terima kasih adiba.." tuturnya lembut menepuk pundak gadis yang menoleh heran padanya.
"untuk apa?" mata besar gadis itu memicing keheranan.
"untuk tak pernah lupa mengingatkan siapa diriku, untuk tak pernah menyerah menyadarkan aku, untuk menjadi sahabat baikku"
Adiba tersenyum senang, ia tahu zahra tidak mungkin sejahat itu. Walau ia melihat sahabatnya itu sempat ragu karenanya.
"sama-sama, raa" sahutnya dengan senyum lebarnya.
Bersambung..