NovelToon NovelToon
KAMAR TERLARANG

KAMAR TERLARANG

Status: tamat
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Rumahhantu / Iblis / Tamat
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: gilangboalang

Aryan, pemuda berusia 25 tahun, baru saja mendapatkan pekerjaan impiannya sebagai salah satu staf di sebuah hotel mewah, tempat yang seharusnya penuh dengan kemewahan dan pelayanan prima. Namun, di balik fasad megah hotel tanpa nama ini, tersembunyi sebuah rahasia kelam.
​Sejak hari pertamanya, Aryan mulai merasakan keanehan. Tatapan dingin dari staf senior, bisikan aneh di koridor sepi, dan yang paling mencolok: Kamar Terlarang. Semua staf diperingatkan untuk tidak pernah mendekati, apalagi memasuki kamar misterius itu.
​Rasa penasaran Aryan semakin membesar ketika ia mulai melihat sekilas sosok hantu lokal yang dikenal, Kuntilanak bergaun merah, sering muncul di sekitar sayap kamar terlarang. Sosok itu bukan hanya menampakkan diri, tetapi juga mencoba berkomunikasi, seolah meminta pertolongan atau memberikan peringatan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

PERTEMUAN MEREKA DI RUMAH DINA

Pukul sembilan pagi, suasana di lingkungan kosan Dina terasa tenang dan sejuk. Aryan dan Rima tiba hampir bersamaan, keduanya terlihat tegang tetapi juga dipenuhi tekad. Dina segera membukakan pintu dan mempersilakan mereka masuk. Ibunya sedang pergi ke pasar, dan Tono sedang keluar, memberikan mereka privasi yang sangat dibutuhkan.

​Mereka bertiga duduk di sofa ruang tamu kecil milik Dina. Dina menyajikan camilan ringan dan tiga cangkir kopi panas yang mengepul.

​"Terima kasih sudah datang," ujar Dina, nadanya serius. "Kita punya waktu tujuh hari. Kita tidak bisa menyia-nyiakan satu detik pun. Semalam aku sudah siapkan laptop ini untuk kita gunakan."

​Aryan mengangguk, mengambil laptop yang terletak di meja. "Kita harus fokus pada dua hal: kasus pembunuhan 2007, dan yang lebih penting, kasus wanita hilang yang kita temukan. Kita perlu mencari tahu apakah ada hubungannya."

​Rima sudah siap dengan catatan kecil yang ia buat semalam. "Aku sudah coba cari lagi, tapi informasi publik tentang The Grand Elegance Residency itu sangat terbatas. Semua berita buruk tampaknya sudah dibersihkan dari internet. Kita perlu kata kunci yang lebih spesifik."

​Mereka mulai bekerja, membagi tugas. Aryan fokus pada pencarian arsip lama di berbagai forum dan media online, Dina mencari nama-nama petinggi hotel masa lalu, sementara Rima mencoba mencari laporan orang hilang yang berkaitan dengan area hotel tersebut pada rentang waktu sebelum 2007.

​Setelah hampir satu jam menyaring berita-berita lama yang samar-samar, Aryan tiba-tiba menemukan sebuah utas di sebuah forum yang membahas teori konspirasi lokal. Utas itu mencantumkan beberapa kasus yang terjadi di lokasi hotel itu.

​"Ketemu!" seru Aryan pelan, mencondongkan layar laptop ke arah Rima dan Dina.

​Informasi yang ditemukan itu menguatkan kecurigaan mereka. Terungkap bahwa, bertahun-tahun sebelum kasus pembunuhan tahun 2007, hotel itu pernah ditutup secara mendadak karena kasus yang lebih lama: seorang wanita yang menginap di hotel itu dilaporkan hilang secara misterius.

​Artikel itu menjelaskan bahwa wanita itu menghilang tanpa jejak dari kamarnya, meninggalkan semua barang bawaannya. Polisi tidak pernah menemukan mayatnya. Setelah insiden itu, hotel menghadapi skandal besar dan memutuskan untuk ditutup sementara selama beberapa tahun.

​"Hotel itu ditutup, lalu dibuka lagi, dan tak lama setelah itu, kasus pembunuhan 2007 terjadi," simpul Dina, matanya terpaku pada layar. "Korban pembunuhan 2007 itu ditemukan dengan ciri-ciri yang mengerikan: kulit, rambut, dan jari-jari pada hilang."

​Rima menyentuh layar laptop. "Ciri-ciri itu... itu persis seperti korban yang kita lihat kemarin, teknisi yang dimutilasi di Lantai Tujuh! Pelaku dan motifnya sama!"

​Mereka bertiga kini yakin bahwa ada dua kasus yang saling terkait dan melibatkan entitas yang sama:

​Wanita Hilang: Kasus lama, bertahun-tahun lalu. Wanita itu menghilang di hotel, mayatnya tidak ditemukan. Ini kemungkinan adalah hantu wanita bergaun merah itu sendiri.

​Wanita Terbunuh (2007) dan Teknisi Terbunuh (Baru-baru ini): Kasus-kasus pembunuhan dengan mutilasi yang tujuannya menghilangkan identitas (kulit, rambut, jari-jari). Ini adalah ulah hantu yang marah atau ulah Nyonya Lia dan Bu Indah untuk membuat korban tidak terdeteksi.

​"Mereka yang hilang ini pasti ada hubungannya dengan kamar di Lantai Tujuh," ujar Aryan. "Mungkin Kamar 5, tempat kita lihat ritual itu."

​Dina melanjutkan pencarian dengan kata kunci yang lebih spesifik, memfokuskan pada laporan orang hilang yang tidak pernah ditemukan di area hotel. Setelah beberapa pencarian mendalam yang menyaring data arsip lama, sebuah nama kembali muncul dari laporan polisi yang sangat samar.

​"Aku menemukannya," bisik Dina, suaranya pelan dan penuh penemuan.

​Wanita yang hilang 25 tahun yang lalu, yang tidak pernah ditemukan mayatnya, bernama Anggun.

​"Anggun," ulang Rima. "Kenapa nama itu terdengar sangat familier?"

​Aryan teringat sesuatu yang menggetarkan. "Di Lantai Tujuh! Semalam, saat kita di Kamar 5! Aku mencoba memanggil... aku memanggil 'Mbak' kepada sosok itu, dan dia menjawab dengan suara lain..."

​Mereka bertiga teringat detik-detik mengerikan di Kamar 5 Lantai Tujuh.

​"Siapa?"

​"Ada orang, Mbak. Anggun? Aryan. Saya buka ya pintunya."

​"Silakan."

​Rima menarik napas tajam. "Ya Tuhan! Kamu memanggil namanya, Yan! Dan dia menjawab! Dia ada di sana! Wanita yang hilang itu adalah hantu yang sekarang menghantui Lantai Tujuh!"

​Mereka kini tidak lagi berhadapan dengan hantu anonim. Mereka berhadapan dengan Anggun, wanita yang hilang secara misterius 25 tahun lalu dan kini menjadi entitas yang merenggut nyawa di hotel itu.

​Semua potongan teka-teki kini jatuh pada tempatnya. Anggun adalah wanita yang menghilang. Hotel ditutup. Kemudian dibuka lagi, tetapi Anggun tetap ada, dan dia menuntut tumbal. Kasus pembunuhan 2007 dan teknisi yang dimutilasi adalah bukti kekejamannya. Dan Bu Indah, pemilik hotel, merawatnya dengan sajen untuk menjaga stabilitas hotel.

​"Ini sudah pasti," kata Aryan, menutup laptop. "Lantai Tujuh adalah kamar Anggun, dan dia adalah hantu yang dibayar mahal oleh Bu Indah untuk menjaga rahasia hotel. Dia membunuh, dan mutilasi itu adalah cara mereka untuk menutupi kejahatan itu."

​"Kalau begitu, kita harus mencari tahu kenapa dia dibunuh atau kenapa dia hilang," ujar Rima. "Mungkin ada sisa-sisa bukti dari Kamar 5 yang bisa kita temukan."

​Dina bangkit. "Tujuh hari. Hotel itu disegel, tapi kuncinya ada di tangan Bu Indah. Aku harus mencari cara untuk mendapatkan kunci Lantai Tujuh. Kita tidak bisa mendobraknya lagi. Kita butuh akses penuh."

​Mereka bertiga, dengan mata penuh tekad dan ketakutan yang terkendali, kembali ke meja. Kopi sudah dingin, tetapi semangat mereka membara. Pertemuan itu telah menguak nama dan motivasi di balik misteri hotel, dan mereka harus menyusun rencana untuk memasuki kembali Lantai Tujuh dan mengungkap rahasia Anggun sebelum batas waktu tujuh hari berakhir.

Libur tujuh hari yang diberikan manajemen hotel dimulai, namun bagi pihak kepolisian, pekerjaan baru saja dimulai. Pagi itu, lorong Lantai Tujuh yang diselimuti debu dan noda darah menjadi pusat kegiatan tim forensik dan petugas kepolisian dari Polsek setempat, dipimpin oleh Komisaris Utama Hardiman, seorang penyidik berpengalaman yang dikenal dengan ketelitiannya.

​Meskipun hotel ditutup, Nyonya Lia hadir, menjaga jarak yang terukur namun memastikan dirinya tetap berada di jalur komunikasi polisi, mengawasi setiap langkah mereka. Wajahnya menunjukkan kesedihan profesional yang dibuat-buat, namun matanya memancarkan ketenangan yang mengkhawatirkan.

​Polisi memasuki Lantai Tujuh. Garis polisi telah membentang, menandai setiap langkah investigasi. Lorong itu disemprot dengan luminol, mencari jejak darah yang mungkin tidak terlihat, dan debu di udara dikumpulkan sebagai bukti. Namun, fokus utama tim forensik adalah Kamar 5, tempat kejadian perkara (TKP) berada di dekatnya.

​Setelah menganalisis TKP di lorong—tempat mayat teknisi itu tergeletak—polisi memutuskan untuk memeriksa Kamar 5. Asumsi awal mereka, berdasarkan tata letak hotel, adalah bahwa Kamar 5 menjadi lokasi kejahatan, tempat pelaku mungkin menyergap korban atau tempat korban mencoba melarikan diri.

​Petugas forensik, dengan mengenakan pakaian pelindung lengkap, memasuki kamar yang sebelumnya menjadi tempat ritual Nyonya Lia dan penampakan Anggun. Aroma apek, debu tebal, dan sisa-sisa energi mistis yang ditinggalkan oleh entitas itu terasa menekan, namun petugas kepolisian menganggapnya sebagai bau kamar yang lama tidak terpakai.

​Mereka menyisir setiap sudut Kamar 5. Mereka mencari senjata pembunuhan yang menyebabkan mutilasi ekstrem pada kulit dan jari-jari korban. Mereka mencari sidik jari, serat pakaian, atau bukti DNA yang bisa mengarah pada identitas pelaku.

​Namun, hasilnya nihil.

​Kamar 5 sepenuhnya steril dari sidik jari yang relevan. Semua permukaan yang mungkin disentuh oleh manusia—gagang pintu, meja, bahkan bingkai jendela—hanya menyisakan sidik jari tua yang sudah tidak jelas milik siapa. Tidak ada sidik jari segar milik pelaku.

​Di tengah lantai, mereka menemukan genangan kecil air yang sudah mengering (sisa kebocoran yang ditangani Aryan), namun tidak ada sisa darah atau serat pakaian. Kamar itu terasa seperti ruangan yang sudah dibersihkan secara profesional atau, lebih tepatnya, ruangan yang tidak pernah disentuh oleh manusia baru-baru ini.

​Komisaris Hardiman, yang mengawasi penyelidikan itu, merasa frustrasi. TKP yang seharusnya menjadi ladang emas bukti justru terasa hampa.

​"Komandan," lapor salah satu forensik, "Kami tidak menemukan apa-apa di dalam Kamar 5. Kamar ini bersih, terlalu bersih untuk TKP. Tidak ada sidik jari, tidak ada senjata, tidak ada jejak perlawanan di dalamnya."

​Komisaris Hardiman menghela napas. Dia kembali kepada Nyonya Lia yang berdiri di ambang pintu Lorong Tujuh (di luar garis polisi), memegang clipboard dengan tangan terlipat di dada.

​"Nyonya Lia, kamar ini terlalu steril. Apakah ada tim kebersihan yang masuk sebelum kami? Saya melihat ada garis polisi yang terputus di sini," tanya Hardiman, menunjuk bekas gembok yang didobrak Aryan.

​Nyonya Lia, dengan tenang, memberikan alibi yang sudah ia persiapkan. "Tidak, Komandan. Kami melarang semua staf masuk. Mengenai pintu, kami sudah melaporkan bahwa pintu ini didobrak oleh kontraktor yang kemarin melanggar larangan. Kami sudah mengunci dengan gembok, namun mereka nekat masuk. Ini semua sudah kami peringatkan sebelumnya."

​Hardiman hanya bisa mencatat. Ia curiga, tetapi tidak punya bukti. Dengan tangan kosong, ia dan tim forensik memutuskan untuk mengakhiri pemeriksaan di Lantai Tujuh untuk sementara waktu.

​"Kami akan kembali setelah mendapatkan hasil autopsi, Nyonya Lia. Untuk saat ini, garis polisi harus tetap utuh. Jangan biarkan siapa pun mendekat," tegas Hardiman sebelum meninggalkan area itu.

​Beberapa jam kemudian, Komisionaris Hardiman tiba di rumah sakit terdekat, menuju Ruang Autopsi. Di sana, Dr. Wijaya, seorang ahli forensik yang sangat dihormati, sedang menyelesaikan pemeriksaan terhadap jenazah teknisi yang ditemukan di hotel.

​Hardiman menunggu dengan sabar. Ia membutuhkan kepastian dari dokter, terutama mengenai penyebab kematian dan mutilasi aneh pada korban.

​"Bagaimana hasilnya, Dokter?" tanya Hardiman begitu Dr. Wijaya melepas sarung tangannya.

​Dr. Wijaya menyandarkan tubuhnya, raut wajahnya menunjukkan kebingungan ilmiah yang jarang terjadi.

​"Komandan, ini adalah kasus yang aneh. Penyebab kematian utamanya adalah kehilangan darah yang ekstrem yang disebabkan oleh luka dalam dan potongan di leher dan dada. Namun, yang paling membingungkan adalah mekanisme cederanya."

​Hardiman mencondongkan tubuhnya ke depan. "Maksud Anda?"

​"Korban tidak menunjukkan tanda-tanda pertahanan diri yang signifikan, seolah-olah dia lumpuh sebelum diserang. Dan luka-luka di tubuhnya... tidak ada bekas benturan benda tumpul. Semua luka, termasuk luka-luka dalam, adalah luka sayatan dan robekan yang sangat bersih," jelas Dr. Wijaya.

​"Luka sayatan?"

​"Ya. Tapi bukan sayatan pisau atau benda tajam biasa. Luka-luka itu seperti sayatan yang dibuat dengan pisau bedah yang sangat panjang dan tajam, namun dengan kekuatan dan kecepatan yang luar biasa. Ini bukan luka dari perkelahian dengan tangan kosong atau senjata tumpul."

​Dr. Wijaya melanjutkan, menunjuk ke laporan. "Dan mengenai mutilasi... ini adalah bagian yang paling ganjil. Potongan kulit, rambut kepala, dan semua jari-jari korban dihilangkan dengan sengaja. Ini bukan sekadar mutilasi acak. Ini adalah mutilasi yang bertujuan menghilangkan identitas—menghilangkan DNA, menghilangkan sidik jari, menghilangkan ciri fisik yang mudah dikenali."

​"Si pembunuh sangat teliti," simpul Hardiman.

​"Sangat teliti, namun sangat brutal. Dan yang saya garis bawahi, Komandan: Tidak ada bukti DNA lain yang ditemukan di bawah kuku korban—atau di mana pun pada tubuhnya—selain DNA miliknya sendiri. Kuku jarinya hilang, dan tidak ada serat asing di sekitar luka. Ini membuat saya berpikir bahwa pelaku mengenakan perlindungan total, atau..." Dr. Wijaya menghentikan kalimatnya, tidak yakin bagaimana cara menyimpulkan temuan yang melanggar hukum fisika.

​"Atau apa, Dokter?" desak Hardiman.

​Dr. Wijaya menghela napas. "Atau pelaku memiliki cara serangan yang tidak meninggalkan jejak fisik sama sekali, dan dapat bergerak dengan kecepatan luar biasa untuk menghasilkan luka sayatan yang begitu bersih."

​Hardiman menyatukan semua informasi: TKP steril tanpa sidik jari, mutilasi bertujuan menghilangkan identitas, dan luka sayatan yang sangat bersih tanpa benturan benda tumpul.

​Kesimpulan yang paling logis bagi polisi adalah: pembunuhan terorganisir.

​"Ini murni perbuatan seorang profesional, Dokter," Hardiman akhirnya memutuskan, menegaskan kesimpulan berdasarkan logika. "Seseorang yang sangat terampil dalam pembunuhan, dan sangat teliti dalam menghilangkan jejak. Pelaku mengenakan pakaian pelindung, membawa peralatan bedah, dan bertujuan mengirimkan pesan. Mungkin ini ada kaitannya dengan persaingan bisnis atau hutang piutang kontraktor."

​Komisaris Hardiman, sebagai seorang petugas penegak hukum yang terikat pada bukti fisik, membantah keras kemungkinan adanya unsur mistis atau hal-hal yang tidak rasional. Baginya, semua keanehan di Lantai Tujuh—pintu didobrak, TKP steril—adalah bagian dari operasi cover-up yang dilakukan oleh pelaku yang cerdik, mungkin dibantu oleh pihak hotel yang ingin melindungi reputasi mereka. Nyonya Lia telah berhasil mengalihkan fokus dari hantu menjadi dugaan pelanggaran prosedur dan persaingan bisnis.

​Misi polisi kini adalah mencari tahu identitas korban, identitas pelaku yang ahli, dan membuktikan keterlibatan pihak hotel dalam operasi pembersihan TKP yang sangat cepat. Hardiman memutuskan untuk kembali ke hotel, menyusun strategi investigasi yang lebih mendalam, dan menekan Nyonya Lia untuk mendapatkan daftar lengkap kontraktor yang bekerja di Lantai Tujuh.

​Sementara penyelidikan resmi berlanjut di jalur yang sepenuhnya rasional, Aryan, Rima, dan Dina di luar sana tahu kebenarannya. Pembunuhan itu bukan dilakukan oleh pembunuh bayaran ahli, melainkan oleh Anggun, hantu korban yang kini dikendalikan atau diizinkan oleh Bu Indah untuk menjaga rahasia Lantai Tujuh.

1
Nur Bahagia
harus nya lapor ke polisi.. bukan malah mendatangi nyonya lia dan indah
Nur Bahagia
Bima mencurigakan.. jangan2 dia tau tentang rahasia hotel itu🤔
Nur Bahagia
dan mencari masalah 😏
Nur Bahagia
jangan kepoo.. Nanti celaka kamu
Nur Bahagia
proses recruitment rahasia.. mencurigakan
Nur Bahagia
kenapa nunggu nya harus di trotoar.. ga manusiawi bangat 🤨
Nur Bahagia
padahal malah lebih nikmat lho kalo makan langsung dari bungkus nya 🤭
Nur Bahagia
aplikasi apaan kak Thor? 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!