NovelToon NovelToon
Kakak Ipar Menjadi Pelipur Lara

Kakak Ipar Menjadi Pelipur Lara

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Duda
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Las Manalu Rumaijuk Lily

Gita sangat menyayangkan sifat suaminya yang tidak peduli padanya.
kakak iparnya justru yang lebih perduli padanya.
bagaimana Gita menanggapinya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Las Manalu Rumaijuk Lily, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

seranjang dengan kakak ipar

​Gita keluar dari kamar Derby dengan perasaan campur aduk.

Rasa malu, cemas, dan jengkel bercampur jadi satu.

Langkahnya terasa berat menuruni tangga menuju ruang tamu, di mana sisa jus di gelasnya sudah menghangat.

​Ia mengambil ponselnya dan mengetik pesan untuk Darren.

​Gita: Mas, Kak Derby minta aku pindah kamar ke kamarnya. Biar gampang kalau dia butuh apa-apa.

​Ia menunggu, tapi tak ada balasan. Biasanya Darren memang lambat merespon. Gita menghela napas. Sebenarnya, pindah kamar tidak terlalu mengubah keadaannya dengan Darren, mengingat mereka memang sudah pisah kamar.

Tapi, tidur sekamar dengan Derby? Kakak iparnya? Rasanya benar-benar tidak nyaman.

​Ia memanggil salah satu pelayan. "Bik, tolong pindahkan barang-barang saya dari kamar bawah ke kamar Kak Derby, ya. Yang penting saja dulu seperti baju dan perlengkapan mandi."

​Pelayan itu mengangguk hormat, "Baik, Nyonya Gita."

​Malam harinya, setelah makan malam yang sunyi, Gita kembali ke kamar Derby. Pria itu tampak sedang membaca buku dengan posisi setengah duduk disangga bantal.

Cahaya lampu tidur membuat fitur wajahnya yang tegas terlihat lebih lembut.

​"Sudah dipindahkan barang-barangmu?" tanya Derby tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya.

​"Sudah, Kak," jawab Gita pelan sambil meletakkan tas kecilnya di meja rias.

​Keheningan melingkupi kamar itu. Gita merasa seperti tamu, padahal ia akan tidur di sana. Ia berjalan perlahan ke sofa panjang di dekat jendela, berniat duduk di sana sebentar untuk menenangkan diri.

​"Mau kemana?" suara Derby terdengar lagi, kali ini ia menoleh.

​"Hanya duduk di sofa sebentar, Kak," ujar Gita.

​"Tempat tidurmu di sini," Derby menepuk kasur di sisi ranjang yang kosong, "Aku butuh kamu cepat tanggap kalau ada apa-apa tengah malam."

​Jantung Gita kembali berdebar tak keruan. Tidur di ranjang yang sama dengan Derby. Meskipun ranjang itu besar dan mereka akan tidur berjauhan, tetap saja...

​"Tapi Kak, ranjangnya terlalu tinggi. Aku bisa tidur di sofa atau di karpet saja," Gita mencoba menawar, wajahnya memerah.

​Derby menutup bukunya dan meletakkannya di nakas. Tatapannya kini sepenuhnya tertuju pada Gita, tajam dan tanpa kompromi.

​"Gita, jangan buat aku mengulang perkataanku. Aku tidak ingin berteriak di malam hari hanya untuk membangunkanmu.

Kakiku sakit, aku tidak bisa banyak bergerak. Keberadaanmu di ranjang ini adalah untuk memudahkanku, bukan untuk membuatku repot. Jangan berpikir yang macam-macam. Tempat tidur ini cukup besar, dan aku sedang sakit. Aku tidak akan melakukan hal gila apa pun," jelas Derby dengan nada lelah namun tetap mendominasi.

​Penjelasan yang logis, tapi tetap tidak meredakan kegelisahan Gita. Namun, ia tahu, membantah Derby hanya akan memperpanjang urusan.

​"Baik, Kak," akhirnya Gita menyerah.

​Ia mengambil bantal dan selimutnya, lalu perlahan naik ke sisi ranjang yang berlawanan dengan Derby, memastikan jarak aman di antara mereka.

​"Cepat matikan lampunya, aku mau tidur," titah Derby, membalikkan badannya membelakangi Gita.

​Gita mematikan lampu. Kegelapan segera menyambut. Hanya ada sedikit cahaya dari balik tirai. Ia berbaring kaku, punggungnya menghadap ke arah Derby, jantungnya masih berdebar kencang. Ia mencoba memejamkan mata, memaksakan diri untuk tidur.

​Tiba-tiba, ia merasakan gerakan di belakangnya. Tangan Derby meraba nakas, mencari sesuatu.

​"Gita," panggil Derby pelan.

​"Ya, Kak?" Gita menjawab cepat.

​"Ambilkan aku pereda nyeri di laci nakas itu. Sepertinya dosisnya sudah habis. Cepat," pintanya dengan suara yang sedikit menahan sakit.

​Gita segera menyalakan lampu tidur kecil, mengambil kotak obat dari laci, dan mengeluarkan pil pereda nyeri. Ia memberikannya pada Derby bersama dengan segelas air.

​Derby menelan obat itu, lalu kembali berbaring. "Terima kasih."

​"Sama-sama, Kak," Gita mematikan lampu lagi.

​Malam itu, Gita akhirnya menyadari, keberadaannya di kamar itu memang esensial. Bukan hanya sekadar menemani, tapi benar-benar sebagai tangan dan kaki tambahan untuk Derby yang lumpuh sementara.

Meskipun demikian, tidur seranjang dengan kakak iparnya tetap menjadi dinding tak terlihat yang membatasi tidurnya. Ia terpaksa tidur dalam keadaan siaga penuh, persis seperti yang diinginkan oleh Derby.

​***

​Dini hari menjelang subuh, keheningan tebal menyelimuti kamar Derby. Gita akhirnya terlelap, tetapi tidurnya tidak nyenyak. Ia sering terbangun karena mendengar suara napas berat Derby atau ketika ranjang sedikit bergetar karena kakinya yang tak sengaja bergerak.

​Sekitar pukul empat pagi, ia terbangun sepenuhnya oleh bunyi getaran pelan dari ponselnya yang tergeletak di nakas. Itu adalah notifikasi pesan dari Darren.

​Gita segera meraih ponsel, berharap ada penjelasan mengapa suaminya tidak kunjung pulang.

​Darren: Aku harus ke luar kota mendadak. Ada masalah besar di proyek. Mungkin baru balik lusa.

​Gita: Kenapa mendadak sekali? Kenapa kamu tidak bilang dari tadi?

​Darren: Baru selesai rapat, semua harus diselesaikan cepat. Nanti aku telepon kalau sudah sampai sana. Jaga Kakak baik-baik.

​Gita: Baiklah. Kamu hati-hati.

​Gita meletakkan ponselnya kembali. Punggungnya menyentuh seprai yang dingin. Perasaan kecewa dan kesepian menjalar. Bahkan dalam kondisi ia dipaksa merawat sang kakak ipar dan tidur sekamar dengannya, suaminya justru pergi.

​Ia menoleh ke samping. Derby tidur membelakanginya, terlihat pulas dan tenang. Wajahnya yang tegar saat sadar kini tampak damai. Gita menatapnya cukup lama, memikirkan bagaimana takdir membawanya pada situasi yang begitu rumit ini.

​Srett!

​Derby tiba-tiba bergerak. Ia tampak merintih pelan, dan tubuhnya sedikit menggeliat, seperti menahan sakit.

​Gita langsung tersentak. "Kakak, ada apa? Sakit lagi?" bisiknya.

​Derby tidak menjawab. Ia hanya mengeratkan giginya.

​Gita segera mendekat dan menyentuh dahi Derby. Agak hangat. Ia lalu mengusap bahu pria itu dengan hati-hati.

​"Sebelah mana yang sakit, Kak? Mau minum pereda nyeri lagi?"

​Derby berbalik pelan, wajahnya tampak pucat dan berkeringat. "Kakiku... kram," ucapnya tertahan, nadanya jauh dari arogansi biasanya, menunjukkan betapa parahnya rasa sakit itu.

​"Tunggu sebentar, aku pijat pelan-pelan," kata Gita, segera beranjak dan duduk di ujung ranjang dekat kaki Derby.

​Gita menarik selimut yang menutupi kaki Derby. Ia melihat kaki yang di-gips tampak membengkak di beberapa bagian. Ia fokus pada kaki yang tidak terluka parah. Dengan kehati-hatian ekstra, ia mulai memijat betis dan telapak kaki Derby, menggunakan minyak penghangat yang ia temukan di tasnya.

​"Gimana, Kak? Sudah agak mendingan?" tanya Gita sambil terus memijat lembut.

​Derby menutup matanya. Tarikan napasnya mulai teratur. "Ya. Sedikit lagi... di bagian sini," tunjuknya pelan ke otot betisnya yang kaku.

​Gita menuruti, memijat bagian yang ditunjuk Derby dengan gerakan yang lebih kuat namun tetap lembut. Ia berkonsentrasi penuh pada tugasnya, berusaha meredakan rasa sakit kakak iparnya. Dalam keheningan, sentuhan tangannya menjadi satu-satunya yang menyelimuti Derby.

​Setelah beberapa menit, ketegangan di wajah Derby mereda. Ia menghela napas panjang, yang kini terdengar seperti kelegaan.

​"Terima kasih, Gita," katanya, suara serak. Itu adalah kali pertama ia mendengar Derby mengucapkan terima kasih dengan tulus.

​"Sama-sama, Kak. Sekarang coba istirahat lagi," jawab Gita lega. Ia kembali merapikan selimut Derby.

​"Kenapa belum tidur?ada apa?" tanya Derby, matanya terbuka sedikit, menatap Gita dalam temaram.

​Gita terdiam sejenak. "Darren tidak pulang, Kak. Dia mendadak harus ke luar kota," jawabnya datar.

​Derby tidak merespons, hanya menatapnya seolah mencerna informasi itu. Tatapan dingin itu kini terasa lebih... intens.

​"Aku akan kembali ke tempat tidurku," ucap Gita, bersiap merangkak kembali ke sisi ranjangnya.

​"Tunggu," interupsi Derby lagi.

​Gita menoleh. "Ya, Kak?"

​"Bisakah kamu tetap di sini sebentar? Sampai rasa sakitnya benar-benar hilang," pinta Derby, dengan nada yang anehnya terdengar seperti permohonan, bukan perintah.

​Gita mematung. Permintaan itu terasa begitu rapuh, begitu manusiawi, jauh dari sosok Derby yang mendominasi. Ini adalah kali pertama ia melihat kelemahan pria itu.

​Tanpa banyak bicara, Gita mengangguk. Ia duduk di pinggir ranjang, membiarkan tangannya tetap di atas selimut Derby, siap siaga jika kram itu datang lagi.

​Ia duduk di sana, di tengah kegelapan yang sunyi. Suaminya pergi. Ia tidur dengan kakak iparnya yang terluka, dan kini, ia harus menemaninya hingga rasa sakitnya hilang. Kenyataan ini terasa begitu jauh dari impian keluarga kecilnya, dan semakin hari, Gita merasa dirinya semakin terikat pada kehidupan Derby, terlepas dari keengganannya.

​Bersambung...

1
Reni Anjarwani
lanjut thor
Bianca Garcia Torres
Aku beneran suka dengan karakter tokoh dalam cerita ini, thor!
Las Manalu Rumaijuk Lily: terimakasih kk
total 1 replies
Myōjin Yahiko
Dijamin ngakak mulu!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!