Sinopsis:
Lilia, seorang agen wanita hebat yang mati dalam ledakan saat menjalankan misinya, namun secara tidak sengaja masuk ke dunia novel sebagai tokoh wanita antagonis yang dibenci oleh semua warga desa. Dalam dunia baru ini, Lilia mendapatkan misi dari sistem jika ingin kembali ke dunia asalnya. Untuk membantunya menjalankan misi, sistem memberinya ruang ajaib.
Dengan menggunakan ruang ajaib dan pengetahuan di dunia modern, Lilia berusaha memperbaiki keadaan desa yang buruk dan menghadapi tantangan dari warga desa yang tidak menyukainya. Perlahan-lahan, perubahan Lilia membuatnya disukai oleh warga desa, dan suaminya mulai tertarik padanya.
Apakah Lilia dapat menyelesaikan semua misi dan kembali ke dunianya?
Ataukah dia akan tetap di dunia novel dan menemukan kebahagiaan yang sebenarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wanita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13 : Memberantas Korupsi
Sesampai di rumah, Pandu masih mendiamkan Lilia, tidak banyak berbicara dan terkesan dingin. Setelah Lilia tiba dan barang-barangnya diangkat, Pandu langsung menyuruh Regi untuk mengantarnya ke markas, dengan alasan banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.
Lilia sendiri tidak terlalu memikirkan sikap Pandu yang dingin, dia lebih fokus pada keinginannya untuk mendapatkan udang lobster lagi. Selepas Pandu dan Regi pergi ke markas, Lilia langsung mencari Pak Wawan untuk memintanya mencari udang lobster lagi di persawahan dan parit.
Lilia berjalan kaki ke rumah Pak Wawan, menyusuri jalan tanah yang cukup becek dan berlumpur. "Bukan cuma warga yang miskin, jalanan juga becek," keluh Lilia sambil melihat keadaan jalan yang tidak terawat. "Di zaman modern di masa depan, gang-gang seperti ini sudah aspal, tapi di desa Suka Sari jalanan gang masih tanah bercampur lumpur," tambahnya dengan nada yang sedikit kesal.
Semakin dekat dengan rumah Pak Wawan, Lilia mulai melihat sebuah rumah kumuh dari kejauhan. Rumah itu terlihat sederhana dan tidak terawat, dengan atap daun rumbia. Sesampai di sana, Lilia terdiam melihat kondisi rumah Pak Wawan. Bagi Lilia rumah tetangga dan rumahnya sudah jelek, tidak semegah rumahnya di zaman modern, tapi ternyata rumah Pak Wawan lebih kumuh, bahkan lebih kumuh dari yang Lilia bayangkan.
Lilia mendengar Pak Wawan dan istrinya bicara dari dalam. Karena rumah mereka terbuat dari kayu dan tidak kedap suara, jadi suara dari dalam dapat terdengar jelas ke luar.
"Ibu tidak punya uang Pak untuk membayar uang sekolah anak kita. Arul ingin melanjutkan ke SLTA, tapi kita tidak mampu. Ibu sedih, sebagai orangtua kita sangat tidak berguna," ucap istri Pak Wawan, terdengar sambil menangis terisak.
"Bapak dengar pemerintah sudah menyalurkan bantuan orang miskin ke pelosok negeri, tapi kenapa desa kita tidak dapat. Padahal desa kita cukup dekat dari kota. Mas Gugu - kakak ku sendiri tidak mau meminjamkan kita uang. Padahal sejak jadi kepala desa aku lihat dia hidup enak," sahut Pak Wawan.
"Mas Gugu kan petani sama seperti kita, dari mana dia dapat uang, sementara gajih kades sangat kecil, apa dia korupsi?"
"Hus, jangan memfitnah, kita tidak punya bukti! Apalagi Mas Gugu akan mencalon lagi menjadi kades berikutnya "
"Tapi Pak ..." Sebelum istri Pak Wawan menyelesaikan ucapannya, Lilia langsung masuk menyela pembicaraan mereka.
"Istri bapak benar, Pak Gugu korupsi," sela Lilia.
"Lilia?" Pak Wawan dan istrinya terkejut Lilia datang ke rumah mereka tiba-tiba. Istri Pak Wawan langsung menghapus air matanya.
"Kamu ada keperluan apa ke sini?" tanya Pak Wawan.
"Tadinya aku mau minta tolong pada Pak Wawan untuk menangkap udang lobster lagi, tapi aku tidak sengaja mendengar pembicaraan kalian," jawab Lilia. Kemudian dia mengeluarkan perekam video dari tasnya, lalu memperlihatkan hasil rekamannya.
Pak Wawan dan istrinya terkejut melihat isi video, terpampang nyata kebusukan Pak Gugu dan keluarganya yang diam-diam memakan uang bantuan untuk warga desa. Pak Wawan mengepalkan tangannya, wajahnya murka.
"Tidak ku sangka kakakku sangat hina. Dasar tikus serakah!" runtuk Pak Wawan dengan nada yang penuh kemarahan.
"Aku bilang juga apa, kakakmu ini bukan orang baik," ucap istri Pak Wawan.
"Lilia, bantu kami. Ayo kita bongkar kebusukan Mas Gugu. Jika kita diam saja, pasti warga akan tertipu, sehingga dia terpilih lagi jadi kepala desa berikutnya," pinta Pak Wawan.
Lilia mengangguk. "Ayo Pak," jawab Lilia setuju. Mereka pun pergi ke rumah Pak Gugu.
Kebetulan sekali, Pak Gugu dan keluarganya baru tidak di rumah. Mereka baru pulang dari kota menggunakan mobil mewah hasil korupsi. Mereka datang bersama mobil pick up, membawa barang-barang yang mereka beli dari kota.
Para tetangga melihat dengan antusias kedatangan Pak Gugu.
"Wah TV baru, barang-barang ini semuanya baru beli Bu Kades?" tanya salah satu tetangga.
"Iya Bu, hasil kebun kami banyak, jadi uangnya juga banyak," jawab Bu Kades berbohong.
"Bukannya kebun kelapa dan kebun sayur Pak Gugu sama seperti kebun kami, hasilnya tidak sebanyak ini sampai mampu beli barang mahal," sela satu tetangga.
Mendengar keraguan tetangganya, Bu Kades memasang wajah masam. "Mana ada, kebun kami lebih banyak dari kebunmu, hasilnya pun banyak."
"Sudah Bu, jangan diladeni orang iri," kata Pak Gugu.
Tetangga itu tersinggung. Namun dia tidak punya keberanian meladeni kepala desa dan istrinya. Tidak lama kemudian Lilia, Pak Wawan dan istrinya datang.
"Dia beli barang ini bukan hasil kebun tapi hasil korupsi uang bantuan dari pemerintah untuk warga desa Suka Sari," kata Pak Wawan. Ucapan Pak Wawan membuat mereka semua terkejut.
"Wawan! Kamu memfitnahku? Aku kakakmu. Apa gara-gara aku tidak mau memberi hutang untukmu, makanya kamu memfitnahku?" sahut Pak Gugu, dengan nada marah.
"Kami punya buktinya," jawab Lilia. Dia pun memperlihatkan video rekaman pada semua orang di sana. Pak Gugu dan istrinya terkejut melihat video itu, kapan Lilia memvideo mereka, kenapa mereka sampai tidak sadar. Pak Gugu tertangkap basah, dia bingung harus bagaimana untuk membela diri.
Warga desa terlihat marah dan kecewa, mereka merasa telah di permainkan oleh Pak Gugu. "Pantas saja desa kita tidak pernah dapat bantuan dari pemerintah, rupanya uang bantuan masuk perutnya semua," cerca warga.
"Kami menyesal pernah memilih Pak Gugu jadi kepala desa."
Karena merasa tersudut, Pak Gugu dan istrinya langsung berlutut di hadapan warga, mereka meminta maaf dan mengaku menyesal telah korupsi. Namun warga tidak mau memaafkan mereka. Kesalahan Pak Gugu sangat besar dan sulit dimaafkan.
"Hukum saja Pak Gugu!"
"Usir dia dari desa!"
"Bapak-bapak ibu-ibu, bagaimanapun juga Pak Gugu sejak lahir sudah ada di desa ini. Kalau tidak tinggal di sini dia mau tinggal di mana. Bagaimana kalau kita maafkan dia untuk kali ini, tapi dia juga harus di hukum," usul Lilia.
"Menghukumnya bagaimana? Di cambuk? Kerja paksa?" tanya Pak Wawan.
"Karena semua barang di rumahnya hasil dari korupsi uang warga, kita sita saja semuanya. Biar dia jatuh miskin, agar Pak Gugu tau sulitnya jadi warga yang hidup serba kekurangan. Karena sebagian uangnya sudah dia makan, kebunnya juga kita ambil, kita jadikan lahan desa, kita kelola sama-sama, bagaimana?" usul Lilia lagi. "Kalian tenang saja, aku pasti membantu kalian mendapatkan hak kalian," lanjut Lilia.
"Aku setuju," kata Pak Wawan.
"Aku juga setuju," kata istrinya Pak Wawan.
Warga desa yang lain juga setuju dengan usul Lilia. Mereka pun segera masuk ke rumah Pak Gugu untuk menyita barang-barang mewah di dalamnya. Bahkan barang yang baru Pak Gugu beli di kota tadi pagi pun juga akan di sita oleh warga. Pak Gugu dan istrinya hanya bisa pasrah, sambil menangis.