Naomi harus menjalani hari-harinya sebagai sekretaris di perusahaan ternama. Tugasnya tak hanya mengurus jadwal dan keperluan sang CEO yang terkenal dingin dan arogan yang disegani sekaligus ditakuti seantero kantor.
Xander Federick. Nama itu bagai mantra yang menggetarkan Naomi. Ketampanan, tatapan matanya yang tajam, dan aura kekuasaan yang menguar darinya mampu membuat Naomi gugup sekaligus penasaran.
Naomi berusaha keras untuk bersikap profesional, menepis debaran aneh yang selalu muncul setiap kali berinteraksi dengan bosnya itu.
Sementara bagi Xander sendiri, kehadiran Naomi di setiap harinya perlahan menjadi candu yang sulit dihindari.
Akan seperti apa kisah mereka selanjutnya? Mari langsung baca!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Senja, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 13 Ya, Cantik!
Selesai makan malam yang cukup canggung di restoran mewah, Xander tiba-tiba mengajak Naomi berjalan-jalan.
“Mau kemana lagi?” tanya Naomi.
“Kita ke taman dekat sini,” jawabnya singkat, tanpa menunggu persetujuan gadis itu.
Naomi mengernyitkan dahi. Taman? Kenapa bosnya ini mengajaknya ke taman setelah makan malam? Biasanya Naomi langsung pulang dan malas mampir kemana-mana kecuali rumah sakit.
“Dasar aneh!” gumamnya.
****
Mereka pun berjalan menuju sebuah taman kota yang tak jauh dari restoran. Cahaya temaram lampu taman menyinari jalan setapak yang mereka lalui.
Di tengah taman itu, terdapat sebuah kolam air mancur yang dihiasi patung-patung. Konon, kolam itu adalah kolam harapan, tempat orang-orang melemparkan koin sambil memanjatkan doa, dan doanya akan dikabulkan.
Naomi menatap kolam itu, lalu beralih menatap Xander dengan bingung. “Tuan Xander, kenapa kita kemari?”
Xander tidak menjawab, malah mengeluarkan sesuatu dari sakunya. “Lempar koin dan berdoa,” perintahnya, mengulurkan sebuah koin perak berkilau kepada Naomi.
“Duh, bos mesum ini aneh-aneh saja! Mana aku punya uang koin? Uang kertas pun nggak ada!” Naomi mendengus dalam hati.
Namun, melihat Xander sudah mengeluarkan koin, ia pun menerimanya.
“Ambil ini!” kata Xander memberikan koin itu pada Naomi.
“Terima kasih, Tuan.”
“Berdoa yang benar,” imbuh Xander. “Aku ingin tahu apa yang akan kamu minta.”
Naomi memutar bola matanya, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Ia memejamkan mata, menggenggam koin di tangannya, dan memanjatkan doa dalam hati.
Sementara Naomi khusyuk berdoa, Xander bukannya ikut memejamkan mata. Ia malah menoleh, menatap Naomi, mencoba menebak-nebak apa yang asistennya itu doakan. Setelah berdoa, Naomi membuka mata. Koinnya sudah berada di dasar kolam. Udara semakin larut, dan dinginnya malam mulai terasa menusuk kulit.
“Tuan, sudah malam. Sebaiknya kita pulang,” ujar Naomi, menggosok-gosokkan kedua tangannya.
Xander tidak beranjak. Ia malah meraih tangan Naomi, menggenggamnya erat, lalu memasukkannya ke dalam saku jasnya. Naomi terkejut, jantungnya langsung berdebar tak karuan.
"Tuan Xander, apa yang anda lakukan!” seru Naomi, berusaha menarik tangannya.
Tapi Xander hanya menatapnya tajam, tatapan yang membuat Naomi langsung pasrah.
“Sial! Jantungku kenapa begini? Jangan sampai aku jatuh cinta pada CEO mesum dan dingin ini!” batin Naomi panik.
Xander menarik Naomi untuk duduk di salah satu bangku taman. Mereka berdua terdiam, menatap ke arah langit malam yang bertaburan bintang.
“Orang bilang, bintang itu adalah orang-orang yang sudah tiada,” ucap Naomi pelan, suaranya terdengar melankolis.
Xander berdecih. “Itu hanya bualan. Dan kamu percaya?”
Mendengar ucapan Xander, Naomi langsung berubah murung. Sejak kecil, ia tidak tahu di mana orang tuanya berada. Ia selalu percaya bahwa mereka sudah meninggal dan menjadi bintang-bintang di langit sana.
“Bintangnya cantik,” gumam Naomi, mengabaikan perkataan Xander.
Xander mengangguk, ikut menatap bintang. Ada keheningan yang nyaman di antara mereka. Xander merasa ini adalah momen yang sudah lama ia inginkan. Ia selalu ingin datang ke tempat ini, dan Naomi adalah satu-satunya wanita yang pernah ia ajak untuk pertama kalinya.
“Ya, cantik,” celetuk Xander sambil terus mencuri pandang ke arah gadis itu.
“Apa sekarang tuan sedang mengajak saya berkencan?”
Xander mengernyit. “Berkencan? Tentu tidak!” jawabnya menggeser posisi duduknya, menghadap Naomi sepenuhnya. Ekspresi wajahnya kembali datar, tanpa emosi.
“Bagiku, wanita tidak ada yang menarik. Dan aku tidak akan pernah bertekuk lutut pada wanita manapun, termasuk kamu,” ucap Xander dengan dingin.
Seketika, senyum di wajah Naomi menghilang. Ia tahu Xander adalah pria yang angkuh dan dingin, tapi entah mengapa mendengar ucapan itu langsung membuat hatinya kesal.
Sangat kesal.
“Saya juga tidak akan pernah jatuh cinta pada pria arogan, dingin, dan menyebalkan seperti anda, Tuan Xander yang terhormat!” balas Naomi, suaranya terdengar lebih tinggi dari biasanya. Ia bangkit dari duduknya dengan cepat. “Permisi!”
Naomi langsung berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Xander sendirian di bangku taman. Ia berjalan cepat, meninggalkan Xander yang masih duduk di sana, terdiam.
“Apa aku salah bicara?” gumam Xander, menatap punggung Naomi yang menjauh. Ia sama sekali tidak mengerti mengapa Naomi tiba-tiba marah dan meninggalkannya begitu saja. Baginya, ia hanya mengatakan fakta. Fakta bahwa ia tidak akan pernah jatuh cinta pada wanita manapun, termasuk Naomi.
Tapi mengapa Naomi tampak begitu tersinggung?
Xander menghela napas, merasa bingung dengan reaksi asistennya itu. Ia tak pernah pandai memahami perasaan wanita, dan kali ini, ia merasa semakin buntu.
“Dia benar-benar gadis aneh.”