Dara sebagai pelatih Taekwondo yang hidupnya sial karena selalu diteror rentenir ulah Ayahnya yang selalu ngutang. Tiba-tiba Dara Akan berpindah jiwa raga ke Tubuh Gadis Remaja yang menjatuhkan dirinya di Atas Jembatan Jalan Raya dan menimpa Dara yang berusaha menyelamatkan Gadis itu dari bawah.
Bagaimana Kelanjutannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amanda Ricarlo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pria itu Bernama Zane
Lagi-lagi, Lesham menjadi sasaran tatapan yang menusuk seperti duri. Pandangan sinis itu datang dari berbagai arah, seakan setiap mata di ruangan ini tidak punya tujuan lain selain mengamati setiap geraknya. Ia bisa mendengar bisik-bisik samar yang tertangkap di telinganya. Nada suara rendah, diiringi tawa cekikikan yang berusaha ditahan namun tetap terdengar jelas.
'Apa mereka tidak punya pekerjaan lain selain membicarakanku setiap hari?' pikir Lesham, matanya menatap ke arah piring-piring kosong di meja para penggosip itu. Namun ia menahan lidahnya untuk tidak bersuara. Saat ini, satu-satunya hal yang penting adalah makanan.
Perutnya sudah mengeluh sejak pagi, dan kantin sekolah yang ramai ini bagaikan surga yang penuh aroma menggoda. Deru suara sendok dan garpu, bau kuah hangat, serta riuh rendah percakapan bercampur menjadi satu. Lesham mengabaikan semua itu dan fokus pada tujuannya: mengisi piringnya.
Seperti biasa, porsi yang ia ambil bukan main. Dua sendok nasi penuh, lauk yang menumpuk hingga hampir melampaui pinggiran piring, dan semangkuk kuah sop panas di tangan kiri. Siapa pun yang melihatnya mungkin akan mengira ia sedang mempersiapkan makan untuk dua orang.
“Wah... kau makan banyak sekali. Apa kau yakin bisa menghabiskan semuanya?” tanya bibi penjaga kantin, mengangkat alisnya dengan senyum kecil.
Lesham terkekeh ringan, sudut bibirnya terangkat nakal. “Ahaha, tentu saja bisa, Bi. Sekarang aku sedang berusaha memperbesar ototku. Siapa tahu nanti aku bisa mematahkan tulang-tulang orang yang terlalu sering membicarakan aku.”
Nada suaranya terdengar santai, namun cukup keras untuk didengar oleh beberapa meja yang tadi penuh bisik-bisik. Seolah ada yang menekan tombol pause, kantin mendadak hening di sudut-sudut tertentu. Orang-orang yang tadi berbicara langsung menunduk, pura-pura sibuk mengaduk makanan mereka. Lesham tersenyum tipis, merasa sedikit puas.
Ia melangkah menuju meja yang ditempati Alia. Gadis itu tengah menyantap makan siangnya dengan tenang, tak menyadari kedatangan Lesham hingga ia menarik kursi dan duduk tepat di hadapannya.
“Hai, kita bertemu lagi. Hahhh... aku lapar banget. Selamat makan,” ucap Lesham sambil langsung menyuapkan sesendok besar nasi ke mulutnya.
Alia hanya menggeleng pelan dengan senyum tipis yang nyaris tak terlihat. Mereka makan tanpa banyak bicara, hanya suara peralatan makan yang sesekali memecah keheningan di antara mereka.
Namun, momen damai itu terhenti ketika tiba-tiba, sesuatu yang panas sekaligus licin menyentuh kulit kepala Lesham, mengalir perlahan ke tengkuknya.
Plup... plup... suara tetesan kuah yang jatuh ke lantai terdengar jelas di telinganya.
Ia membeku sejenak, lalu mendongak. Dua orang perempuan berdiri di belakangnya. Salah satunya masih memegang mangkuk kosong yang tadi penuh berisi kuah sop.
“Aduh... maaf ya, tanganku licin tadi. Aku bersihkan, ya?” ucap perempuan itu dengan nada yang dibuat-buat manis.
Sebelum Lesham sempat bereaksi, segelas air putih dingin mengguyur kepalanya lagi.
“Nah, sudah bersih kan? Maaf, tadi tidak sengaja,” katanya, lalu tertawa bersama temannya. Tawa mereka terdengar nyaring, seperti pisau yang mengiris tipis-tipis harga diri Lesham.
Alia menatap dengan wajah terkejut, sendoknya terhenti di udara. Lesham memejamkan mata, menarik napas dalam, mencoba mengendalikan gelombang emosi yang sudah bergolak di dadanya.
“Ayo kita pergi. Dia memang pantas mendapatkan itu,” ujar perempuan satunya, lalu mulai melangkah.
“HEI!!”
Suara Lesham menggema lantang di kantin, membuat banyak kepala menoleh. Kedua perempuan itu berhenti, lalu menoleh dengan tatapan sinis.
“Wah, kau dengar itu? Dia berani meninggikan suara pada kita,” ucap salah satunya sambil pura-pura terkejut, menutup mulutnya dengan tangan seolah baru mendengar sesuatu yang luar biasa.
Lesham berdiri perlahan, langkahnya mantap menuju mereka. Ia menatap sekilas ke arah Alia, yang menggeleng cepat, memberi isyarat untuk tidak memperpanjang masalah. Tapi Lesham hanya tersenyum samar, senyum yang tidak menandakan penurutan.
Berhenti tepat di depan perempuan yang tadi menyiram kuah sop, Lesham mengangkat sebelah alis. “Kau sengaja melakukannya?”
“Eh, bukannya aku sudah bilang tadi? Tanganku licin, aku tidak sengaja melakukannya. Iya, kan?” ujarnya sambil melirik temannya, mencari pembenaran.
Lesham menunduk sedikit, matanya memandang ke lantai. Lalu, dengan gerakan tenang namun cepat, ia meraih mangkuk kuah sop miliknya yang masih penuh, dan
blasssh!
menyiramkan isinya tepat ke wajah perempuan itu.
Suara teriakan memenuhi ruangan. Semua mata kini tertuju pada mereka.
“Kau gila?! Kenapa kau menyiramkan air kotor itu ke wajahku?!” pekik perempuan itu dengan nada tinggi.
Lesham tersenyum lebar, namun matanya dingin. “Kau tidak suka? Aku pun tidak suka ketika kepalaku disiram kuah sop dan air minum tadi. Jadi... bukankah sekarang kita impas?”
Wajah perempuan itu memerah, tangannya terangkat hendak menampar Lesham. Namun, sebelum tangannya sempat bergerak lebih jauh, Lesham menangkapnya, mencengkeram dengan kuat hingga ia meringis kesakitan.
“Aaahh! Lepas! Ini sakit!” jeritnya.
“Kalau aku tidak mau, bagaimana?” Lesham menatapnya tajam, nada suaranya rendah namun penuh ancaman.
“AKU BILANG LEPAS!!”
Dengan sengaja, Lesham melepaskannya dengan hentakan keras, membuat perempuan itu terjatuh ke belakang. Temannya buru-buru membantu, wajah keduanya memerah, entah karena malu atau marah.
“Ayo kita pergi! Kita sekarang jadi pusat perhatian Orang-orang sekarang” desis temannya.
Keduanya meninggalkan kantin dengan langkah cepat, meninggalkan suasana yang masih penuh keheningan tegang. Beberapa siswa menatap Lesham dengan mulut ternganga. Lesham yang mereka kenal dulu selalu diam, selalu menerima perlakuan buruk, kini berdiri tegak tanpa ragu membalas.
Lesham menghembuskan napas, lalu kembali duduk. Ia menatap piringnya lalu mengambil sendok, dan melanjutkan makan.
“Aihh... seragamku bau sekali,” gumamnya sambil mengibas-ngibaskan baju.
Alia menahan tawa, matanya menyipit.
“Kau menertawakanku?” tanya Lesham dengan nada setengah kesal.
“Sedikit,” jawab Alia sambil tersenyum. “Hanya saja... aku terkejut kau akan melakukannya.”
“Kau mau aku dibully sampai tua? Semua orang pasti ingin hidup tenang dan bahagia tanpa gangguan. Dan aku... perlahan akan membalas mereka dengan perlakuan yang sama, supaya mereka jera.”
Alia terdiam, menunduk, menyembunyikan sesuatu di balik ekspresinya. Lesham tidak menyadarinya, fokusnya kembali pada makanan yang dari tadi menunggunya.
Tanpa ia sadari, dari sudut ruangan, seorang pria duduk sendirian di dekat jendela besar yang menghadap ke halaman sekolah. Posisinya agak tersembunyi di balik tiang penyangga, namun tatapannya begitu jelas tertuju pada Lesham.
Ia mengenakan seragam, kontras dengan dasi hitam yang tampak longgar di lehernya. Wajahnya tegas, rahang terkatup rapat, dan sorot matanya tajam seperti pisau yang baru diasah. Sejak kejadian tadi, ia sama sekali tidak mengalihkan pandangan. Tidak seperti orang-orang lain yang melihat sekilas lalu kembali pada urusan masing-masing, pria itu justru seakan merekam setiap detail yang terjadi.
Lesham awalnya tidak menyadari, sibuk menghabiskan suapan terakhirnya. Namun, ketika ia meneguk air, ia merasa ada sesuatu yang berbeda di udara, semacam getaran halus yang membuat tengkuknya merinding. Nalurinya memaksanya untuk menoleh.
Begitu matanya menangkap sosok itu, waktu seperti melambat. Tatapan mereka bertemu di udara, tatapan yang tidak mengandung senyum, tidak pula kemarahan, tetapi cukup kuat untuk membuat dada Lesham terasa sesak. Tatapan itu seperti menelanjangi semua lapisan yang selama ini ia pasang untuk melindungi diri, menembus hingga ke dalam pikirannya.
Lesham tidak mengenal pria itu, tetapi entah mengapa ada kesan familiar yang mengganggu. Seolah ia pernah melihatnya, entah di mana atau dalam situasi seperti apa. Pikirannya mencari-cari ingatan yang samar, tapi justru yang ia rasakan hanya tekanan yang semakin berat di dada.
Alia yang awalnya asyik menyendok makanannya, perlahan mengikuti arah pandangan Lesham. Matanya menyipit, lalu wajahnya seketika berubah. Ada ketegangan yang jelas tergambar di sana. Ia cepat-cepat menunduk sedikit, lalu mencondongkan tubuh ke depan meja.
“Jangan... jangan lihat dia lagi,” ucap Alia dengan suara pelan, hampir seperti bisikan, namun nada mendesaknya begitu jelas.
Lesham berkedip, keningnya berkerut. “Kenapa? Memangnya siapa dia? Aku bahkan pernah melihatnya dua kali sebelumnya.”
Alia menghentikan gerakan sendoknya, seolah takut kata-kata Lesham akan menarik perhatian pria itu. “Kau pernah melihatnya?”
Lesham mengangguk pelan. “Bukan hanya melihat. Dia pernah mendatangiku, bilang ingin mengantarku pulang. Waktu itu dia juga sempat bilang... aku tidak boleh dekat dengan pria selain dirinya.” Lesham menghela napas kecil, matanya melirik sekilas, lalu kembali ke Alia. “Padahal... pria yang aku dekati waktu itu adalah sahabatku sendiri"
Wajah Alia berubah semakin tegang. “Kau serius?”
“Dan yang lebih gila lagi,” lanjut Lesham dengan suara rendah namun nadanya mengandung kemarahan yang ia tahan, “dia pernah mencengkeram tanganku, memaksa aku ikut dengannya. Untung saja Kai ada di sana, menarikku menjauh sebelum sesuatu yang buruk terjadi.”
Alia menelan ludah, lalu menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. “Namanya Zane. Dia... dia adalah kekasih Evelyn saat ini”
Lesham membeku sejenak. “Kekasih Evelyn?” Ujung bibirnya terangkat sedikit, namun bukan dalam senyum, lebih pada ekspresi sinis bercampur kebingungan. “Kalau benar dia kekasih Evelyn, lalu kenapa dia terus menerorku?”
“Bukankah kau pernah menyatakan perasaanmu padanya?”
Lesham yang baru saja hendak menyeruput minumannya langsung menghentikan gerakannya. Kedua matanya membulat, napasnya sedikit tertahan.
“Sejak kapan? Aku… menyukai pria itu? Kenapa aku bisa suka padanya?” ujarnya dengan nada tidak percaya, alisnya bertaut seperti mencoba memeras ingatan yang samar.
“Kau sendiri yang menyatakan perasaanmu secara terang-terangan. Sampai-sampai semua orang di sekolah tahu kalau kau menyukainya,” ucap Alia sambil menahan tawa yang sudah hampir meledak. Senyumnya melebar, jelas sekali ia menikmati momen ini.
Lesham hanya bisa membeku di tempat. Merinding. Bukan karena kedinginan, tapi karena rasa malu yang tiba-tiba menyerang tanpa ampun. Astaga, Lesham! Kenapa kau bisa-bisanya menyukai pria yang sudah punya kekasih? Apa kau mau disebut perebut laki orang, hah?" batinnya menjerit, seolah Dara ingin memarahi Lesham yang ada ditubuhnya ini.
“Ihh… kenapa aku membayangkannya saja sudah membuat bulu kudukku berdiri? Bahkan… aku menyatakan perasaanku padanya di hadapan semua orang?” keluhnya sambil menutup wajah dengan kedua tangan, seperti ingin menutupi diri dari dunia. “Aduh… aku harus mencuci otakku sekarang juga.”
Alia hanya menggeleng, gemas melihat tingkahnya. Kalau orang-orang yang melihatnya, mereka pasti tertawa sampai perut sakit.