Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Stressor Trauma
"Kita makan dulu ya, di sini memang tidak ada bakso seenak bakso kikil bang Gobar, tapi kamu harus mencoba soto kuningnya," katanya
Aku menoleh ke arahnya, 'Kok dia tahu ya makanan kesukaanku?'
"Saya pemakan segala, jadi diajak makan di mana saja, oke." jawabanku membuat senyumnya semakin lebar.
Kami duduk berhadapan. Kulihat dia gelisah seperti ada yang ingin dibicarakan, namun menimbang kata-kata yang tepat membuatnya lebih memilih memainkan ujung tisu dari tempatnya.
"Boleh saya pinjam kotak tisu dok?" tanyaku
"Owh, maaf. Silahkan... " dia menggeser kotak tisu yang sudah berantakan dengan beberapa tisu dibuat lintingan olehnya.
"Hania, bisakah tidak memanggilku formal begitu. Kamu bisa memanggilku nama saja," pintanya.
"Baik... Mas Sabil, boleh seperti itu?" tanyaku
Dia tersenyum, "lebih enak didengar," katanya.
Saat pesanan kami datang, seiring dengan sepasang pengunjung yang selesai makan di kedai itu. Langkahnya pasti menuju ke arah mejaku. Senyum mereka begitu memuakkan. Terutama senyum mas Danu. Dua manusia tidak punya hati yang menjadi stressor trauma yang aku alami.
"Akhirnya bisa move on juga kamu dariku, congrats untuk hubungan barunya. Semoga kali ini pasanganmu tidak akan kabur lagi karena kekasih astral mu," ucap mas Danu, mantan tunanganku.
"Hai Hania, sejak kapan berhijab. Biar keliatan lebih islami atau sedang menutupi sesuatu? Cari mangsa baru ya untuk tumbal keluargamu... Hahaha" Khairani si perempuan iblis itu tertawa renyah dengan tatapan melecehkan.
Tubuhku bergetar karena amarah.
Sikap impulsif ku menangkap adanya pisau tajam di meja saji dekat pemilik kedai, mungkin pisau itu untuk memotong daging sapi yang akan disajikan pada mangkok soto. Ingin rasanya aku sambar pisau itu dan ku tusukkan ke leher mas Danu. Atau untuk mencabik wajah Khairani sampai tidak lagi berbentuk.
"Siapa mereka?" pertanyaan mas Sabil memecah pandangan gelap ku, lalu ia membingkai wajahku dan diarahkan untuk menatap wajahnya.
Tatapan teduh mas Sabil meruntuhkan niat jahatku untuk mengambil pisau dan 'menghakimi' dua manusia iblis di depanku. Seketika dadaku sesak melawan perang batin dalam diriku sendiri, napas ku tersengal karena amarah dan ketakutan yang teramat besar pada diriku sendiri.
Aku berdiri, lalu pergi meninggalkan hidangan yang sudah tersedia di atas meja. Kepala dan dadaku rasanya ingin meledak dan tidak sanggup melihat wajah para pengkhianat itu.
Mereka bisa berbahagia di atas penderitaanku.
"Aku mau pulang mas, aku mau pulang!"
Perjalanan pulang terisi oleh keheningan gelap yang menggantung di antara kami, mas Sabil tidak lagi memaksa aku menjelaskan. Aku menatap jauh keluar jendela, membayangkan jika saja tadi aku terbawa emosi dan berhasil 'menghakimi' mereka apa yang akan terjadi setelah itu.
Aku menatap tanganku yang gemetar di atas pangkuan, di mataku kedua telapak tanganku sudah berlumuran darah mereka. Aku menggigil ketakutan.
Isi kepalaku yang berisik mampu meredam suara merdu dari Axl Gun N' Roses, lagu yang kusukai berjudul November Rain pun tidak lagi nyaman di telingaku, lagu itu penuh kenangan aku dengan keluargaku juga tentang mas Danu.
Mobil mas Sabil baru saja masuk ke halaman rumah Wina, suara keributan begitu kencang terdengar. Teriakan mama mertua Ka Wina menggelegar terdengar sampai keluar, suara barang di banting dan kata makian kasar pada ART begitu menusuk telinga.
Mas Sabil keluar mobil sambil membawa payung, lalu memutari kap dan membukakan pintu penumpang. Dia memayungi ku dengan hati-hati. Saat kaki kami melangkah mendekat pintu rumah. Sesuatu dilempar keluar oleh mama Ka Wisnu.
Bruaak!
Koper pakaianku dilempar keluar melewati pintu rumah, pakaianku berhamburan. Mataku terbelalak, ada apa ini. Apa salah koper pakaianku?
Perempuan paruh baya itu berdiri di depan pintu dengan tangan di pinggang. "Bagus ya, sudah hidup menumpang jam segini baru pulang. Dasar tidak tahu diri!" hardiknya dengan wajah penuh amarah dan tatapan menusuk.
Mas Sabil berdiri di depanku, ia menyembunyikan tubuhku di balik punggungnya, menjadi tameng hidup bagiku. "Ada masalah apa ibu?" tanyanya dengan sikap waspada.
"Sudah aku duga, dia bukan perempuan baik-baik Wina! Wisnu, Wina kalian harus lihat ini, dia pulang malam bersama laki-laki. Perempuan seperti ini akan merusak rumah tangga kalian!" teriaknya dengan nada tinggi dan menyakitkan.
Ka Wisnu dan Ka Wina yang baru saja pulang, langsung berlari menghampiri ibunya.
"Ma, sudah cukup! Masuk, mama masuk sekarang. Suara mama mengganggu tetangga. Semua orang mama musuhi. Wisnu sudah tidak kuat tinggal bersama mama!" bentak Wisnu sambil menyeret mamanya.
Mas Sabil menghalangi pandanganku, membalik tubuhku ke arah mobil lalu merangkul bahuku yang mulai gemetar ketakutan, aku digiring masuk kembali ke dalam mobilnya. Kulihat ia memunguti bajuku yang dilempar oleh mama mertua Ka Wina. Ia kumpulkan, dan dimasukan ke dalam koper. Ia sempat berbincang serius pada Ka Wisnu dan Wina yang baru saja pulang kerja, di depan pintu rumah mereka.
"Ya Tuhan, kenapa Engkau lambat mengambil nyawaku. Aku sudah tidak sanggup lagi hidup seperti ini!" jeritku sambil memukuli kepalaku sendiri.
Mas Sabil masuk ke dalam mobil, memelukku dengan erat. Dia membiarkan tanganku memukuli punggungnya dengan keras. Dia tidak mengatakan apapun, membiarkan tubuhnya menjadi sasaran kemarahanku. Aku mencakar nya, menggigit bahu dan dadanya. Dia tetap bergeming, pelukannya semakin erat membungkus ku.
Usapan tangannya di kepala dan punggungku sedikit demi sedikit membuatku lemah tidak lagi berdaya melawan.
"Jika kamu sudah tenang, aku akan membawamu pergi ke tempat yang lebih aman. Kamu bisa bekerjasama denganku?" tanyanya.
Tubuhku tidak bisa lagi merespon apapun, gemetarnya semakin parah. Aku menekuk kakiku ke dada dan memeluk tubuhku sendiri. Mas Sabil memasangkan seatbelt dengan ketat di tubuhku.
"Aku tidak mau ke rumah sakit jiwa," rintih ku.
"Tidak akan, kamu akan aman bersamaku."
Aku tidak tahu dia akan membawaku kemana, dalam kekacauan ku... aku hanya berharap dia tidak membawaku ke rumah sakit jiwa lagi.
Mengapa takdir seakan menyeret ku terus menerus ke titik yang sama.
Mobil berhenti di carport sebuah rumah dua lantai yang bergaya minimalis modern. Ia memutari mobilnya lalu menggendong tubuhku yang gemetar tanpa aku pinta. Seorang perempuan paruh baya membukakan pintu dengan wajah cemas.
"Bude, siapkan kamar tamu," ucapnya sambil meletakkan tubuhku dengan hati-hati di atas sofa ruang tengah rumahnya.
Ia melepas jas, lalu memasangkan ke bahuku agar merasa hangat. Ia berjalan ke arah etalase obat-obatan lalu duduk di sampingku. "Agar kamu bisa rileks," ucapnya sambil menyodorkan beberapa butir obat dan segelas air. Setelah ku minum, ia mengambil tanganku yang gemetar untuk ia genggam. Perlahan kehangatan mengalir dari jari-jari tanganku.
"Di sini semua akan baik-baik saja, Hania," katanya. Kata-kata sederhana itu seperti air es yang mengalir di sekujur tubuhku.
"Jalu, kamarnya sudah siap. Kalau mau istirahat di kamar saja," ucap perempuan yang Sabil panggil bude.
"Dia budeku, aku memanggilnya bude Sunti. Kamu akan suka padanya, karena dia lucu kalau sudah latah." Ia menjelaskan tanpa aku pinta.
"Mau istirahat di kamar?" tanyanya, aku menggeleng cepat, aku takut dia tinggalkan. "Baiklah, buat duduk mu lebih santai, hari ini kamu hebat, kamu kuat karena sudah menjalani hari yang sangat berat. Orang lain belum tentu bisa sehebat kamu." Dia menepuk bahunya agar aku bersandar padanya. "Sandarkan kepalamu di sini," ucapnya lembut.
Awalnya aku ragu, tapi tubuhku memang butuh bersandar, aku lelah menjadi orang lemah, sakit seperti ini sungguh melelahkan dan menyiksa. Bersentuhan dengan sisi tubuhnya perlahan membuat tubuhku rileks, aku berusaha memejamkan mata dan memberi afirmasi baik dalam diriku sendiri seperti yang diajarkan dokter Elya padaku.
"Tidurlah aku akan menjagamu," ucapnya lembut seperti suara Papa yang menenangkan saat aku sedang sakit.
Aku terlelap.
Aku terbangun saat matahari sudah tinggi di atas kepala. Gemetar di tubuhku sudah mereda, aku melangkah keluar kamar, mungkin semalam dokter Sabil memindahkan ku ke kamar setelah aku tertidur. Aroma masakan menyambut indera penciumanku. Kulihat bude Sunti sudah menata meja dengan makanan.
"Selamat siang bude," sapaku
"Masih pagi neng geulis. Sini temani bude makan."
"Dokter... " tanyaku ragu.
"Jalu sudah berangkat pagi-pagi sekali ke Jakarta. Ada operasi bedah kepala katanya, nanti malam atau lusa baru kembali."
"Maaf kehadiran saya merepotkan, bude."
"Ah, enggak. Bude malah senang ada yang temani bude di sini. Jalu jarang pulang, bisa satu bulan sekali ke sini. Dia tinggal di rumah mertuanya."
"Iya bude."
Hari itu waktu berjalan dengan begitu cepat. Mas Sabil benar jika bude adalah orang yang menyenangkan, dia lucu dan juga latah. Dia mengenalkan aku pada beberapa tetangga yang memiliki balita. Aku terhibur dengan kehadiran balita-balita yang diundang bude ke rumah karena bude sudah menyiapkan cemilan sehat.
Hari itu aku sibuk dengan tawa bahagia.
Senyuman polos balita, suara burung tetangga dan kegiatan yang bude berikan, menghapus keinginanku untuk menghabisi nyawa mas Danu dan khairani, atau mengakhiri hidupku... Sendiri.
Malam pun datang dengan langit yang cerah. Aku dan bude sedang memasak makan malam sambil bercanda ringan saat mobil mas Sabil memasuki carport. Kami tidak mendengar langkahnya saat masuk, tau-tau dia sudah berada di samping meja makan sambil menenteng jas dokter dan tas kerjanya.
"Asik betul bercandanya, masak apa bude?" tanyanya dengan mata lapar melihat hidangan di atas meja.
Aku memutar tubuhku ke arahnya sambil membawa sepiring perkedel. "Selamat malam dok, mari kita makan."
"I-iyaa... Aku ganti baju dulu."
Langkahnya terhenti di ujung tangga, dia menatapku lagi. Tatapan kami bertemu.
"Hania, kamu cantik dengan ikat rambut pita seperti itu," ucapnya sambil tersenyum.
merinding aku Thor.....😬
kenapa prabu seperti nya marah ?