Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .
Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Seribu Satu Cara Menggagalkan Malam Pertama.
Hujan pertama November jatuh perlahan di atap rumah Menteng, menciptakan denting ritmis yang, anehnya, menenangkan sekaligus menegangkan. Di kamar pengantin seluas studio dansa itu, aku—Aurora Putri yang kini menyandang nama keluarga Dirgantara—berdiri di depan cermin dengan piyama paling norak yang bisa kutemukan: motif kelinci warna fanta lengkap dengan hoodie bertelinga panjang.
“Ini kostum Halloween yang terlambat?” Tristan bersandar di ambang pintu, masih mengenakan kemeja putih dan celana hitam dari rapat sore tadi. Matanya berkilat geli; senyum di sudut bibirnya membuat jantungku berdebar tak tentu—antara marah, gugup, dan, Tuhan tolong, tertarik.
Aku menarik telinga kelinci ke depan wajah. “Menurut dokter Google, pijatan psikologis sebelum tidur lebih efektif bila mengenakan pakaian yang… menenangkan.”
Tristan tertawa pendek. “Kau yakin menenangkan? Sejujurnya, aku justru khawatir mimpi buruk.”
“Bagus. Kalau kau mimpi buruk, kau tidak akan menyentuhku.”
Ia mengangkat gelas kristal berisi air mineral—kebiasaan anehnya sebelum tidur—lalu menyesap perlahan. “Satu: aku tidak pernah menyentuh tanpa izin. Dua: sejujurnya, aku lebih takut pada kelinci raksasa daripada ide menyentuh.”
Aku menahan tawa, tetapi gagal; suara cekikikan meluncur lewat hidung. Sejenak, ketegangan di kamar mereda—walau hanya setipis kertas.
Hari Pertama “Operasi Anti-Ranjang”
Strategi: Tampilan visual traumatis
Hasil: Tristan tertawa, tidak tergoda, rencana gagal.
Catatan: Humornya berhasil membuatku lupa lima menit bahwa aku sedang dipenjara emas.
---
Malam kedua, aku mengganti taktik. Saat jam menunjukkan pukul sembilan dan Tristan bersiap naik ke kamar, aku sudah menunggu di ranjang—berbalut masker lumpur hijau pekat, timun menutup mata, plus pelindung mulut bak dokter bedah. Aroma tajam bawang putih mentah—kupotong satu siung lalu kuletakkan di meja samping—menguar ke seluruh ruangan.
Tristan masuk, berhenti dua langkah, dan mengangkat alis. “Baru dua hari menikah dan kau berubah profesi menjadi Shrek, Dokter Dracula?”
Aku menyingkirkan sepotong timun, menatapnya serius. “Perawatan kecantikan. Delapan jam non stop. Saran ahli kecantikan Korea: jangan diganggu, atau khasiatnya hilang.”
Tristan meletakkan laptopnya di meja, mendekat, mengendus bawang. “Khasiat anti-vampir?”
“Anti-pelet,” balasku cepat.
Ia nyaris tersenyum, tetapi menahan. “Pelet apa? Pelet cinta?”
“Pelet pewaris konglomerat yang percaya semua masalah selesai dengan kartu platinum.”
Senyum itu akhirnya pecah. “Kartu platinum belum tentu sanggup menetralisir bawang. Aku mengalah. Malam ini kamarmu zona karantina.” Ia berbalik menuju sofa, menarik selimut tipis, lalu berbaring di sana.
“Tristan,” panggilku sebelum ia memejam mata. “Kau tak tersinggung?”
“Sedikit,” katanya sambil memejamkan mata. “Tapi jauh lebih terhibur.”
Aku berpikir sejenak, lalu menambahkan, “Kalau kau butuh pencuci hidung, di kamar mandi ada semprotan garam.”
“Terima kasih, Ny. Shrek.”
Aku menahan tawa, menaruh kembali timun—kali ini wajahku memanas bukan karena masker.
Hari Kedua
Strategi: Aroma dan masker pengusir nafsu
Hasil: Tristan mundur teratur, rencana setengah berhasil.
Catatan: Bahaya—aku mulai menikmati obrolan ringan kami. Fokus, Aurora, fokus.
---
Hari ketiga, aku naik level. Saat sarapan, Tristan menemukan lembar hasil “tes kesehatan” di meja makan: diagnosis “alergi sentuhan kulit”. Tanda tangan dokter palsu—hasil Photoshop semalam—tertera rapi.
Ia membacanya sampai tuntas, lalu menatapku di seberang meja. “Alergi sentuhan, ya?”
Aku mengangguk khidmat sambil mengunyah croissant. “Gejala: ruam hebat, pingsan dramatis, bahkan… kematian mendadak.”
“Serius?”
“Serius dramatik.”
Tristan menyandarkan punggung, menyipit. “Boleh ku kata sesuatu tanpa menyinggung?”
“Coba.”
“Dokter yang menandatangani ini… adalah dermatologist hewan.”
Croissant hampir tersedak di tenggorokanku. “Kau mengecek?”
“Logo kliniknya bergambar kucing.” Ia menggeser kertas, menunjuk sudut kanan. “Lihat.”
Ya ampun. Aku lupa menghapus logo itu.
Aku pura-pura batuk, meneguk jus jeruk. “Kulit manusia, kulit kucing… sama-sama butuh perawatan.”
Tristan menahan tawa, lalu bangkit berdiri. “Baiklah, alergi gagal. Rencana berikutnya?”
“Aku… belum dapat ide.”
Ia berdiri di sampingku, meletakkan telapak hangat di bahuku—hanya beberapa detik, sebagai penanda ia masih penguasa peta. “Kau lucu, Aurora. Berbahaya, tapi lucu.”
“Lucu adalah level pertahanan nomor tiga.”
“Nomor satu dan dua?”
“Nomor satu: ketakutan. Nomor dua: kemarahan.”
Ia tersenyum tipis. “Kau bukan gadis yang mudah takut.”
“Belum tentu. Aku bahkan takut pada perasaan sendiri.”
Tristan tidak bertanya apa lagi; ia pergi ke kantor, meninggalkanku dengan satu fakta tak terbantahkan: semakin keras aku menghindar, semakin ia tertarik—tetapi tidak paksa. Ia menikmati pertarungan kecil kami seolah ini catur, dan ia sabar menanti bidak lawan kelelahan.
---
Malam keempat, kalea mengirim pesan:
“Bagaimana proyek 1.000 penolakan?”
Aku menjawab:
“Proyek berjalan. Target tertawa, tapi belum menyerah.”
“Tertawa tanda bahaya. Waspada, Rora.”
“Selalu.”
Aku tidak mengirim emotikon—kelembutan kecil akan menghancurkan strategi. Tetapi di dalam hati, aku lega mendengar suaranya walau lewat teks.
---
Hari kelima, aku kehabisan ide ekstrem. Jadi aku memilih sesuatu sederhana: keheningan. Saat makan malam, aku hanya menjawab sepatah-dua patah kata. Saat ia bertanya kabar, aku mengangguk. Saat ia menyodorkan dessert, aku menolak halus.
“Aurora,” katanya lembut di tengah keheningan, “apakah kebisuanmu aksi baru?”
Aku meletakkan sendok. “Kebisuan bukan aksi. Aku hanya— lelah.”
“Lelah?”
“Lelah dipelajari, lelah diwawancara, lelah jadi teka-teki.”
Ia meneguk anggurnya perlahan. “Beri aku satu jawaban jujur, dan ku janji tidak akan bertanya lagi malam ini.”
Aku menatapnya. Hujan di luar mulai deras; tiap tetes memukul kaca seperti peringatan. “Apa pertanyaannya?”
“Apakah kau membalas perasaanku—meski satu butir pasir?”
Seketika napas tercekat. Pertanyaan ini bukan pancingan biasa. Tristan, si ahli strategi, menaruh hatinya di meja.
Aku bisa bohong—demi pertahanan. Aku bisa jujur—dan mungkin hancur.
Akhirnya aku berkata, “Aku belum membencimu.”
Ia tersenyum tipis, mata lembut sejenak. “Itu lebih dari cukup malam ini.” Ia berdiri. “Selamat beristirahat, Nyonya Dirgantara.”
Ia berjalan ke pintu, lalu berhenti. “Oh, dan tolong, esok jangan panggil dokter kucing lagi. Aku khawatir kau benar-benar berakhir punya alergi sungguhan.”
Aku tertawa—tak bisa menahan. Ia keluar dengan senyum puas, seperti pemain biola yang baru selesai concerto.
Catatan Malam Kelima
Strategi: Keheningan jujur
Hasil: Tristan mundur, tetapi tanya satu kalimat paling berbahaya.
Temuan: Ada kemungkinan aku tak lagi sekadar pion. Bahaya meningkat.
---
Menjelang tengah malam, aku duduk di ranjang, menatap pintu kamar yang tertutup. Bantal penahan di tengah ranjang masih utuh—Tristan belum pernah melanggar batas itu. Kamera kecil di sudut ruangan berkedip; aku tahu ia atau keamanan memantau.
Kutulis pesan untuk Kalea:
“Pertahanan masih bertahan. Humor efektif. Tapi jantung mulai goyah.”
Ia membalas singkat:
“Goyah bukan kalah. Ingat kunci cadangan.”
Aku mengusap cincin batu bulan di jari. Rasanya aneh: sebuah lingkar logam tipis menahan badai di dadaku.
Aku lalu meraih catatan:
Daftar Penolakan Ranjang & Cinta (versi 0.6)
Piyama kelinci norak ✔
Masker lumpur + bawang ✔
Diagnosa alergi palsu ✔
Musik dangdut remix ✔
Keheningan total ✔
… (ide berikutnya)
Kualihkan pandang ke jendela. Kilat menyayat langit, menyinari taman kenanga. Aku sadar: aku bisa melanjutkan daftar hingga seribu, tetapi Tristan menunggu bukan untuk menang; ia menunggu aku berhenti memaksa kalah.
Dan di lubuk hati terdalam, aku takut suatu malam kelak, aku sendiri yang menurunkan bantal penahan—bukan karena dipaksa, melainkan karena aku ingin.
Belum.
Belum.
Aku matikan lampu meja, berbaring, memejamkan mata sambil menggenggam kontrak suci—lembar lusuh di bawah bantal, terus mengingatkan: cinta boleh tumbuh, tapi jiwa tak boleh dijual.
Perang belum selesai, tetapi setidaknya aku masih memilih senjataku: humor, luka, dan secercah harapan bahwa suatu hari dinding ini retak dari dalam—oleh tawa, atau oleh kebenaran.
Dan sampai hari itu datang, aku akan menulis trik ke-1000 dengan tangan sendiri, sambil memastikan Tristan tetap berada di seberang garis—menunggu, menghitung, entah sebagai lawan atau sebagai seseorang yang diam-diam kubiarkan mendekat.
.
.
.
Bersambung...