Menyukai Theresia yang sering tidak dianggap dalam keluarga gadis itu, sementara Bhaskar sendiri belum melupakan masa lalunya. Pikiran Bhaskar selalu terbayang-bayang gadis di masa lalunya. Kemudian kini ia mendekati Theresia. Alasannya cukup sederhana, karena gadis itu mirip dengan cinta pertamanya di masa lalu.
"Setiap orang ada masanya, setiap masa ada orangnya. Aku yang bodoh telah menyamakan dia dengan masa laluku yang jelas-jelas bukan masa depanku."
_Bhaskara Jasver_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka
Sisi kepala yang penuh dengan darah, dan mata yang sedikit terbuka. Leta meraih tangan Mamanya dan tersenyum kearah wanita itu. Tidak lupa, ia juga melirik Papanya dan memberikan senyuman pada pria itu karena ia tidak kuat untuk bersuara.
Perlahan, Bhaskar menghampiri Leta dengan mata yang berkaca-kaca. "Ta.."
Belum juga ia menyelesaikan senyumannya untuk Bhaskar, tubuhnya sudah tidak kuat dan matanya terpejam begitu saja.
"Leta sayang, bangun dong.. katanya tadi mau main sama Bhaskar, sekarang ada dia di sini. Kamu nggak mau bangun?" Sang Mama menggoyangkan tubuh putrinya yang sudah tidak bernyawa dengan menangis sekencang-kencangnya.
"Terima kasih, Tante. Tapi biarkan Leta istirahat," ucap Bhaskar. Laki-laki itu mengusap air matanya sebelum benar-benar jatuh membasahi pipinya. Ia menggenggam tangan Leta yang biasanya hangat, namun sekarang berganti dengan rasa dingin yang menghampiri.
"Tante juga berterimakasih karena udah jagain Leta dan beliin anak Tante es krim," balas sang Mama sembari mengusap raga tanpa nyawa milik Putrinya.
...••••...
Erga melirik Bundanya yang duduk bersebelahan dengan kedua orang tua Linsi yang menonton televisi. Ia ingin mengucapkan sesuatu, namun ragu karena takut ditolak.
"Bun..," panggil Erga setelah percaya dengan dirinya.
Bunda langsung menoleh dan mengangkat alisnya. "Hem? Kenapa?"
"Aku boleh nggak tinggal di sini?"
Sontak kedua orang tua Linsi menoleh. "Boleh, tapi bayar," jawab Mama.
"Harus banget bayar ya, kak?" tanya Bunda yang merasa aneh dengan kakaknya. Saudaranya itu memang sering perhitungan, tetapi apa harus seperti ini juga? Erga itu juga ponakannya, tetapi disuruh membayar jika ingin menginap.
"Sama uang saku aku setiap harinya bisa nggak, Tan?" Erga menatap mata wanita itu dengan harapan dapat menerimanya di sini.
"Ya, udah deh. Uang saku Erga setiap hari nggak usah dikasih ke anaknya, kasih ke aku aja." Wanita itu melirik Bunda sejenak dan kembali ke layar televisi. "Kamu tidur di bawah, di kamar belakang."
"Tap-"
"Oke," sahut Erga yang memotong ucapan Bundanya.
Entah kenapa dengan Bunda, wanita itu tiba-tiba menarik tangan anaknya ke luar rumah dengan tergesa-gesa. Sedangkan Erga yang tidak tahu apa-apa hanya bisa menurut dengan Bundanya.
"Kamu ngapain menginap di sini? Emang kamu mau tidur di kamar belakang itu yang nggak ada kipasnya dan bahkan kalau malam banyak nyamuknya? Bunda nggak mau kamu di sini terus nggak fokus sama ujian kamu. Kamu harus pulang malam ini dan..."
"Bunda sayangg... aku malam ini iya pulang, tapi besok aku balik lagi setelah ambil pakaian dan buku-buku aku. Bunda tahu nggak kenapa aku mau menginap di sini?" Wanita itu menggeleng. "Karena aku mau jagain Theresia beberapa hari ke depan dari Linsi dan berangkat bareng sama dia. Kasihan kalau nanti dia berangkat sendirian dan harus menerima cacian dari murid-murid di sana."
Wanita itu sedikit bingung dengan ucapan putranya, terlebih lagi pada kalimat terakhirnya. "Cacian? Emangnya ada apa? Terus Linsi kenapa ke Theresia? Ada masalah lagi?"
Erga mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan sesuatu kepada Bundanya. Beberapa saat kemudian, wanita itu menutup mulutnya tidak percaya dengan apa yang ditampilkan di layar ponsel putranya. Komentar jahat yang tidak terima jika Theresia dekat dengan seseorang dikarenakan ia berasal dari benih orang lain.
Mata Bunda kini mulai berkaca-kaca. Wanita itu tahu jika keluarga kakaknya tidak menyukai Theresia. Bahkan keluarga itu tidak menganggap Theresia sebagai anak mereka dan gadis itu hanya dimanfaatkan saja. Ikut campur pun hanya akan mengundang perdebatan yang justru akan mengundang keramaian yang tidak berakhir perdamaian.
"Theresia.."
"Iya, There nggak mau turun sejak tadi karena nggak mau ketemu Linsi atau keluarganya yang di bawah. Dia juga mulai pasrah." Raut wajah Erga berubah sedih.
"Pasrah? Maksud kamu?"
"Dia udah mulai pasrah karena takdir selalu mempermainkan perannya dan nggak pernah kasih kebahagiaan yang lebih. Baru juga seneng, Linsi selalu menjadi duri di tengahnya. Bunda lihat sendiri di situ, aku lihat There kayaknya waktu di sekolah udah mulai nyaman sama cowok itu, tapi Linsi selalu nggak seneng lihat There bahagia di luar sana."
Bunda langsung memegangi kedua pundak putranya dan menatap mata Erga dengan mata berkaca-kaca. "Kamu jagain Theresia, kalau perlu selalu ada di samping dia biar nggak ada yang gangguin. Karena uang saku kamu nggak jatuh ke tangan kamu sendiri, Bunda kirim bekal aja ke sekolah kamu. Mau nggak? Sekalian sama There juga, jadi kamu harus berangkat lebih awal sama There biar dia nggak disuruh mereka di pagi-pagi buta."
Erga langsung mengangguk dan memeluk Bundanya dengan senyuman yang mulai terbit di bibirnya. "Bunda peka banget sih..."
"Hem... jadi selama ini Bunda gimana?" Wanita itu mengelus rambut Erga dengan lembut. Sementara putranya hanya cengengesan.
"Yuk, ke atas. Bunda mau lihat There," ajak Bunda yang melepaskan pelukannya.
Saat di depan pintu kamar Theresia, Bunda membuka kamar gadis itu perlahan dan mengintipnya sedikit. Ternyata Theresia ada di balkon dengan wajah yang fokus menggambar sesuatu.
"Ekhm, Tante boleh masuk nggak?"
Theresia langsung menoleh dan tersenyum tipis ke arah Bunda. "Boleh."
Wanita itu masuk perlahan-lahan, sementara Erga mengekori Bundanya di belakang.
Laki-laki itu langsung menarik kursi dari meja belajar Theresia untuk menghadap ke balkon sembari melirik sobekan kertas di depan Theresia yang disusun kembali oleh gadis itu dengan selotip, kemudian di gambar lagi di Sketchbook.
Bunda duduk di samping Theresia dan melirik suatu gambaran seseorang yang robek dan terdapat banyak selotip yang menyatukannya.
"Ini siapa?"
"Bhaskar."
Itu nama yang ditampilkan di komentar postingan sebelumnya. "Ohh, kok bisa robek?"
"Linsi..."
Tanpa aba-aba, Bunda menarik kepala Theresia dalam pelukannya. Wanita itu juga mendekapnya dan mengelus ujung kepala Theresia dengan air mata yang mulai menetes.
"Maaf, Tante nggak bisa bantu apa-apa." Di dalamnya dekapannya, Theresia menggelengkan kepalanya dengan mempererat pelukan itu.
Pada akhirnya, air mata yang tadinya Theresia tahan agar tidak turun terus-menerus kini turun lagi dengan deras. Bahkan suara sesenggukan kian terdengar. Itu menandakan begitu keras ia merasa kesakitan dan kesesakan dengan dirinya sendiri yang menahannya.
Ada mata sayu yang menatap Theresia. Mata itu adalah kedua mata Erga, yang dulunya saat kecil sering sekali bermain dengan Theresia dan sekarang mendapatkan kegagalan beruntun untuk menjaga gadis itu.
Mata Theresia yang terus-menerus mengeluarkan air mata kesakitan telah membuat rasa kegagalan yang begitu dalam. Ini yang paling dalam, karena luka sebelumnya selalu menjadi saksi bisu yang diabaikan, sementara seiring beranjaknya dewasa semakin memikirkan luka yang kian timbul.
"Keluarin semuanya." Theresia semakin mempererat pelukannya dengan diiringi suara tangisan yang benar-benar ia keluarkan serta buku dan pensil yang ia lepaskan dari tangannya.
Selang beberapa waktu, hembusan angin yang menerpa di balkon dan seluruh emosi dalam dirinya yang dilepaskan dengan air mata. Itu membuat Theresia kelelahan dan tertidur dalam pelukan Bunda.
Bunda yang merasa Theresia sudah tenang langsung menundukkan kepalanya melihat gadis itu yang kini tertidur dengan napas yang teratur. Wanita itu pun menyuruh Erga untuk memindahkan Theresia ke tempat tidur selagi Bunda yang mengambil barang-barang Theresia yang terdapat di balkon untuk dimasukkan.
Tidak hanya itu, Bunda juga menutup pintu balkon serta tirai agar angin yang masuk tidak membuat Theresia kedinginan. Sebelum meninggalkan kamar, beliau juga mengelus kepala Theresia dan tersenyum seiring dengan tangan yang akan menutup pintu kamar.
"Kita pamit pulang ya, kak?" Bunda mengambil tas selempangnya di sofa dengan menatap Mama yang tidak mengindahkannya, bahkan meliriknya untuk sebentar saja tidak.
"Ayo, Bun." Setelah mencangklongkan tasnya, Erga menarik tangan Bundanya karena tidak dipedulikan wanita yang sedang fokus pada layar televisi dan tidak menerima kedatangan mereka di sini.
Walaupun begitu, terkadang Bunda datang setidaknya dua kali sebulan agar hubungan mereka tidak putus meskipun tidak dianggap saat ada.
...••••...
Pagi-pagi buta yang belum terdapat cahaya matahari sama sekali, Theresia terbangun dengan kepalanya yang terasa ringan saat melakukan peregangan leher. Ia juga tiba-tiba mulai tersenyum mengingat semalam tertidur di pelukan Bunda karena terbawa suasana dan kelelahan menangis.
Entah kenapa, melihat langit yang masih gelap dari balkon serta angin dingin pagi yang menyejukkan membuat Theresia berkeinginan untuk lari pagi sebentar.
Namun, setelah Theresia membalikkan tubuhnya dan bersandar di pagar balkon. Tatapan gadis itu tertuju pada sketchbook yang berada di meja belajarnya. Dan selain ada keinginan untuk lari pagi, ia juga ingin menyelesaikan gambaran miliknya yang belum tuntas.
Tanpa pikir panjang pun Theresia langsung mengambil tas kecilnya lalu memasukkan perlengkapan menggambarnya untuk ia bawa lari pagi hari ini. Meskipun saat menuruni tangga sedikit berhati-hati agar tidak ada yang mendengarnya.
Ia tidak memakai sepatu di rumah agar tidak menimbulkan suara, dengan begitu Theresia bisa mengendap-endap keluar dengan mudah. Pada saat di pinggir jalan, barulah ia mengenakan sepatu tersebut dan melakukan pemanasan terlebih dahulu.
...••••...
...Bersambung....