para mahasiswa dari Institut Seni Indonesia tengah melakukan projek pembuatan filem dokumenter ke sebuah desa terpencil. Namun hal tak terduga terjadi saat salah satu dari mereka hilang di bawa mahluk ghoib.
Demi menyelamatkan teman mereka, mereka harus melintasi batas antara dunia nyata dan alam ghoib. Mereka harus menghadapi rintangan yang tidak terduga, teror yang menakutkan, dan bahaya yang mengancam jiwa. Nyawa mereka menjadi taruhan dalam misi penyelamatan ini.
Tapi, apakah mereka sanggup membawa kembali teman mereka dari cengkeraman kekuatan ghoib? Atau apakah mereka akan terjebak selamanya di alam ghoib yang menakutkan? Misi penyelamatan ini menjadi sebuah perjalanan yang penuh dengan misteri, dan bahaya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Uswatun Kh@, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 13
Dengan perasaan kesal dan lelah Queen dan Wati memasuki kamar. Queen melepas sepatu dan kemeja yang ia kenakan.
"Wat, lu mandi gak?" tanya Queen.
Wati, terduduk di tepi ranjang, melirik sekilas sebelum merebahkan tubuh lelahnya. "Gak Kak, aku sudah tak bertenaga. Aku mau langsung tidur aja," katanya, menarik bantal hingga menutupi wajah.
Queen mengambil handuk dari balik pintu, ia mengidikkan bahu sebelum keluar kamar. "Baiklah, aku mandi dulu ya, Wat."
Tatapannya tertuju pada Wati sebelum ia keluar. Wati memejamkan mata, berharap istirahat singkat mampu memulihkan tenaganya.
Di dapur, Queen berhenti di ambang pintu, rasa takut mencekam. Bayangan teror masih menghantuinya.
Tiba-tiba, Fahri menepuk pundaknya. "Sial! lu bikin kaget aja!" seru Queen.
"Mau mandi? Kutemani," tawar Fahri.
Queen menyabet pinggang Fahri dengan handuk. "Jangan harap!"
"Maksud gua , gua tunggu di luar," jelas Fahri, "Masih terbayang kejadian tadi, ya? gua juga tak abis pikir, kenapa kita bisa diteror setan sialan itu," gerutunya.
"Hus... jangan bahas itu lagi," ketus Queen. "Ya udah, temani gue."
Mereka keluar rumah. Malam itu terasa lebih mencekam daripada sebelumnya. Queen waspada, mengamati sekeliling sebelum memasuki kamar mandi. Kegelapan dan bayangan seakan mengancam, menambah ketegangan di antara mereka.
Langkah kaki mereka terdengar nyaring di tengah kesunyian malam, setiap derit pintu dan gemerisik daun menambah rasa takut yang tak tertahankan. Ketakutan mereka bukan hanya sekadar rasa takut biasa, tetapi trauma yang membekas dari teror yang baru saja mereka alami.
Udara pengap kamar mandi itu seakan berbisik. Queen, telanjang di bawah cahaya remang-remang, melepas satu per satu pakaiannya. Setetes, dua tetes, lalu semburat merah segar menodai celana dalamnya—haidnya datang. Ia mencucinya dengan saksama, namun bau anyir darah membandel, seakan melekat pada kulitnya sendiri.
"Kenapa baunya tak hilang...?" bisiknya, panik mulai menggigit.
Ia siram softeknya berulang kali, sabun cuci baju tumpah berlimpah, namun aroma anyir itu justru semakin menyengat, menyeruak memenuhi rongga hidungnya. Darah yang sudah ia bersihkan seakan kembali hadir, lebih kuat, lebih nyata.
"Tidak mungkin... darahnya sudah hilang..." gumamnya, suara gemetar.
Ia mengambil air dari penampungan, sebuah gayung Love tergenggam erat di tangannya. Seketika, air jernih itu berubah menjadi merah pekat, menyerupai darah yang menggenang. Ia mengusap matanya, berharap itu hanya halusinasi, Air kembali jernih.
Ketakutan membuncah. Ia mandi dengan tergesa-gesa, guyuran air dari gayungnya seperti irama detak jantung yang tak menentu. Tatapannya jatuh ke lantai, dan dunia seakan runtuh. Lantai kamar mandi, yang tadinya bersih, kini tergenang darah.
"Aakkhhh..." Jeritan Queen menggema.
Anduk melilit tubuhnya yang gemetar, Queen berlari keluar kamar mandi, langkahnya terhuyung, hampir jatuh. Dalam remang-remang cahaya, Daffa menangkap tubuhnya yang hampir ambruk.
"Queen! Kenapa? lu kenapa panik banget?"
Wajah Queen pucat pasi, keringat dingin membasahi kulitnya. Tatapannya tertuju ke kamar mandi. "Di sana... ada darah, Fa! Airnya... berubah jadi darah!" suaranya terputus-putus.
Daffa melepaskan pelukannya, langkahnya pasti menuju kamar mandi. Queen mengikutinya dari belakang, mencengkeram baju Daffa, seperti mencari pegangan.
Daffa memeriksa setiap sudut kamar mandi, mencari sumber ketakutan Queen. "Tidak ada apa-apa, Queen. Airnya jernih."
Queen mengintip dari balik tubuh Daffa, mencoba melihat sendiri. Kamar mandi tampak normal, tidak ada setetes darah pun. Keheningan menyelimuti mereka.
"Apa ini hanya halusinasi? Mungkin aku masih terbayang-bayang kejadian tadi..." bisiknya.
Daffa memberikan sepasang sandal yang tertinggal, jari-jari tangannya yang hangat menyentuh kakinya, memakaikan sandal itu untuknya. Sentuhan lembut itu, seperti sentuhan kehangatan perlahan menenangkannya.
BERSAMBUNG. ...