Hidup dalam lingkaran kemiskinan, membuat Rea ingin bekerja setelah lulus SMA, semua itu dia lakukan demi keluarga.
Namun takdir berkata lain, Ayahnya sudah memutuskan masa depan Rea, sebagai istri dari seorang lelaki bernama Ryan.
Dia tidak bisa menolak dan menerima keinginan sang ayah.
Hanya saja, Rea tidak pasrah, dia bukan wanita lemah, selama belasan tahun berjuang dalam kesengsaraan, melatih mental yang kuat menahan setiap penghinaan para tetangga.
Sehingga dia akan berusaha membuat Ryan menyesal karena sudah menikah dengannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shina Yuzuki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
dua lelaki dan tiga perempuan
Kembali keduanya berkeliling di dalam mall, Ryan membawa Rea ke banyak toko untuk membeli kebutuhan lain. Dari mulai, toko sepatu, toko tas, toko buku, toko pakaian dalam, toko parfum, toko obat, toko kosmetik, bahkan toko sembako, lebih tepatnya supermarket, itu pun karena Rea penasaran melihat banyak makanan disana.
Namun ketika melihat semua harga yang tercantum, Rea segera mengurungkan niat dan pergi begitu saja, tapi di sisi lain, Qiya datang menyelesaikan setiap urusan administrasi atas perintah tuan Ryan.
"Apa-apaan tempat ini, semuanya sangat mahal, bahkan kaos kaki yang biasanya di jual seharga lima ribu. Tapi disini harganya sama seperti membeli beras lima karung. Tidak boleh menawar atau membeli setengah pula." Rea mulai mengoceh.
"Iya nona." Qiya sebagai pembantu yang baik tentu memberi tanggapan.
"Sebelumnya juga, baju satu harganya lima belas juta, apa mereka ingin naik haji tiga kali sehari, padahal kita aja pergi ke jamban cuma sekali sehari, bayangkan itu." Rea menghela nafas penuh kekesalan.
"Benar sekali nona." Sekali lagi Qiya tetap meng'iya'kan perkataan Rea.
"Coba kalau kita pergi ke pasar, berapa banyak barang yang bisa dibeli dengan uang dalam dompetmu itu." Rea melanjutkan keluh kesahnya dan menyalahkan Ryan.
"Tentu saja nona." Sampai bosan Qiya mendengar dan secara otomatis menjawab.
"Sungguh, bagaimana kita akan bertahan hidup di tempat yang serba mahal ini, bukan begitu kak Qiya ?." Ucap Rea yang meminta persetujuan orang lain atas semua keluhan tersebut.
Qiya pun hanya bisa mengikuti keinginan majikannya... "Tepat sekali, nona."
Ryan yang secara suka rela mendengarkan, kini angkat bicara...."Harusnya kau tidak perlu khawatir soal apa pun Istri ku, katakan saja apa yang kau mau. Aku pasti akan membawanya."
Rea merasa tersinggung, padahal selama di dalam toko, dia sudah menahan diri dengan tidak minta apa pun, karena dia tahu setelah melihat isi dompet Ryan cuma lima ratus ribu, mustahil membeli semua barang-barang disana.
"Mudah sekali kau bicara, bagaimana jika Aku ingin pesawat, apa kau bisa memberikannya untukku ?. Tentu saja tidak mungkin." Rea tertawa sendiri dengan nada mengejek.
"Kenapa juga harus membeli pesawat, Istriku, kita sudah punya, dua pula." Jawab Ryan santai.
Namun tetap saja Rea tidak percaya dan jawaban Ryan membuatnya tertawa..."Jangan bercanda, kau selalu pintar membual."
"Aku tidak pernah bercanda tentang apa pun kepada istriku."
Selesai Rea tertawa..."Sekali pun aku tahu, ayah dan ibu orang kaya, tapi mustahil membeli pesawat, kau terlalu mengada-ada."
Walau Rea tidak terlalu pintar dalam soal matematika, kimia atau fisika, menghitung harga pesawat bukanlah perkara sulit. Bahkan anak SD sekali pun tahu kalau pesawat sangat mahal.
"Mungkin nanti kau bisa melihatnya." Balas Ryan karena ingin Rea percaya.
Rea tersenyum meremehkan...."Baiklah, kalau ucapanmu benar, maka aku akan mengabulkan satu keinginan mu."
Mendengar jawaban Rea itu, membuat Ryan terkejut sekaligus bersemangat..."Sungguh !!?."
Entah kenapa hati Rea menjadi ragu-ragu setelah melihat sorot mata Ryan yang begitu percaya diri...."Ya, tapi..."
Belum sempat Rea melanjutkan perkataannya, Ryan segera menarik tangan Rea untuk dibawanya pergi.
"Apa ?, kenapa ?." Rea bingung.
"Kita ke bandara sekarang." Karena Ryan memarkirkan pesawat pribadinya disana.
Rea berusaha menolak..."Tidak tunggu..."
"Bukankah kau ingin melihat pesawat kita ?."
"Jangan sekarang, apa kau lupa tujuan kita kemari." Rea berusaha mencari alasan, sebab dia takut kalau pesawat itu benar-benar ada.
Ryan segera berhenti menarik tangan Rea..."kau benar, aku sampai lupa karena terlalu bersemangat."
"Dan juga, aku belum selesai bicara. Tapi kalau permintaan mu untuk hal yang aneh-aneh, aku akan tetap menolak."
"Apa meminta anak lima, 2 lelaki dan 3 perempuan, termasuk permintaan yang aneh ?." Balas Ryan bertanya.
Tiba-tiba Rea menjadi gugup..."Aaaa anak ?, lima pula... Tidak, Aaa aku belum memikirkan sampai sejauh itu."
Tampak jelas kalau Ryan kecewa..."Apa boleh buat, aku akan memikirkan hal lain yang mungkin bisa dilakukan oleh kita berdua."
"Apa itu ?." Rea kembali takut, jika ternyata perkataannya menjadi bumerang.
Rea menoleh ke samping, mata tertuju kepada Qiya, dia menolak percaya perihal pesawat yang Ryan miliki, tapi kalau benar adanya, maka dia telah melakukan kesalahan.
Sehingga, Rea berpikir jika Qiya mungkin tahu soal pesawat itu.
"Kak, apa benar dia membeli pesawat ?." Bisik Rea ke telinga Qiya agar Ryan tidak mendengarnya.
"Maaf nona, aku tidak tahu, selama ini tuan Ryan tidak pernah membahas apa pun soal pesawat, tapi ..." Sebelum Qiya lanjut bicara, Rea segera berbalik dan tersenyum senang.
Rea merasa lega, serta menganggap bahwa ucapan Ryan hanya bualan belaka agar terlihat hebat di mata orang lain.
"Oh, iya istriku, kau tidak memiliki smartphone kan ?." Kata Ryan secara tiba-tiba.
"Smartphone ?, Handphone maksudmu ?." Rea balik bertanya.
"Iya Handphone."
Tanpa perlu panjang lebar, Ryan memberikan sesuatu yang dia simpan dalam saku celananya. Itu pula jadi alasan Ryan pergi saat Rea melakukan perawatan.
Dia mencari ponsel di toko elektronik lantai lima, sekaligus memprogram semua data yang diperlukan agar Rea tidak perlu kebingungan saat harus menggunakannya.
Mata Rea berbinar-binar..."Apa aku boleh memilikinya ?."
"Aku memang membelikannya untukmu." Jawab Ryan senang melihat sikap Rea yang men
"Sungguh, Handphone ini untukku." Rea semakin bersemangat.
"Tentu saja istriku, karena akan memudahkan kita untuk berkomunikasi jika kau membutuhkan sesuatu saat aku pergi."
"Terimakasih, Ryan." Rea tidak bisa membohongi diri sendiri dan tanpa dia sadari memberi pelukan kepada Ryan, karena mungkin terbawa suasana hingga lupa diri.
Di jaman serba modern dan canggih, Rea memang bukan satu-satunya, tapi dia adalah salah satunya orang yang tidak pernah kenal apa itu smartphone dan juga bukan berarti keluarga Rea bisa berkomunikasi lewat telepati.
Soal kenal atau tidak itu masalah lain. Bagi keluarga Rea, ayahnya selalu beralasan kalau 'Henpon' itu hanya alat tidak bermanfaat, membuat manusia jadi bodoh, berdampak buruk bagi kesehatan, siapa pun jadi malas, lupa waktu, lupa belajar, lupa makan, lupa mandi, lupa sholat, sering marah-marah sendiri, ketawa sendiri, menangis sendiri, ngobrol sendiri, bahkan bingung sendiri. Bagi Samroji itu menjadi tanda-tanda penyakit gila.
Kenyataanya memang seperti itu, tapi Samroji punya alasan sendiri, yaitu soal faktor ekonomi. Membuat Samroji harus mencari alasan tentang sisi negatif dari penggunaan Henpon agar anak-anaknya tidak minta dibelikan.
Samroji sudah pusing soal kebutuhan sehari-hari yang serba sulit, mana kala Rea atau kedua adiknya ingin Henpon, semakin bingung Samroji untuk menuruti permintaan mereka.
Rea sebagai anak sulung Samroji menyadari kesulitan hidup yang Orang tuanya alami, sehingga dia tidak pernah berharap akan memiliki Handphone sendiri. Sekali pun ada perasaan iri dalam hati Rea kepada teman-temannya, ketika mereka dengan mudah menjawab soal bahasa inggris lewat handphone mereka.
apa banyak misteri di antara mereka ber dua bukan cuma majikan ma pelayan ,,aihhh
mohon untuk up terus Thor...