Apa jadinya jika impian mu hancur di tangan orang yang paling kamu benci, tapi juga tak bisa kamu hindari?
"Satu tesis gagal, Karena seorang dosen menyebalkan, Semua hidup ku jadi berantakan"
Tapi siapa sangka semuanya bisa jadi awal kisah cinta?
Renatta Zephyra punya rencana hidup yang rapi: lulus kuliah, kerja di perusahaan impian, beli rumah, dan angkat kaki dari rumah tantenya yang lebih mirip ibu tiri. Tapi semua rencana itu ambyar karena satu nama: Zavian Alaric, dosen killer dengan wajah ganteng tapi hati dingin kayak lemari es.
Tesisnya ditolak. Ijazahnya tertunda. Pekerjaannya melayang. Dan yang paling parah... dia harus sering ketemu sama si perfeksionis satu itu.
Tapi hidup memang suka ngelawak. Di balik sikap jutek dan aturan kaku Zavian, ternyata ada hal-hal yang bikin Renatta bertanya-tanya: Mengapa harus dia? Dan kenapa jantungnya mulai berdetak aneh tiap kali mereka bertengkar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 33
Bastian pergi menuju bandara. Namun Renatta masih sangat rapuh, matanya bengkak, tubuhnya lemas. Ia mengurungkan niatnya untuk pergi ke kampus hari ini. Pikirannya masih kacau. Ia hanya bisa memeluk dirinya sendiri di balik selimut, mencoba menenangkan perasaannya yang masih tersisa sejak pagi tadi.
Di kampus Sela, seperti biasa Mira dan Arya sedang duduk di kantin, mereka berbincang santai sambil menyeruput minuman dingin. Tapi kali ini ada yang berbeda mereka sadar sejak pagi belum melihat kehadiran Renatta.
“Kemana ya tuh anak? Nggak biasanya kayak gini.”
“Yaudah nanti pulang dari kampus, kita ke rumahnya.”
“Iya, mana tau dia sakit.”
Setelah kelas mereka selesai, mereka mencoba menghubungi Renatta kembali. Namun panggilan itu tak kunjung dijawab. Bahkan di WhatsApp, chat mereka masih centang satu. Mira menghela napas khawatir.
Saat mereka keluar dari kelas, tanpa sengaja mereka melihat Zavian sedang berjalan seorang diri. Mira dan Arya saling melirik, lalu bergegas menghampirinya.
“Selamat siang, Pak Zavian...”
“Siang,” jawab Zavian singkat.
Ketiganya saling pandang. Mira mendorong Arya pelan untuk mulai bertanya.
“Bapak tahu nggak Renatta ada di mana?”
Zavian tampak sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. Apalagi ketika Pak Bayu yang kebetulan lewat, memperlambat langkahnya saat mendengar nama Renatta disebut. Beberapa mahasiswi yang sedang melintas juga ikut memperlambat langkah, berpaling ingin tahu. Ya, suara Arya memang cukup keras hingga bisa terdengar sampai ke lorong koridor.
“Kenapa kamu tanya soal Renatta ke saya?” tanya Zavian dengan ekspresi datar.
“Pak Zavian kan dekat sama Renatta?”
“Dekat? Maksudmu dalam konteks bermasyarakat? Meskipun saya dan Renatta adalah tetangga, bukan urusan saya untuk mengetahui keberadaan pribadinya."
Jawaban Zavian terasa sangat dingin. Udara seolah ikut membeku. Arya sedikit kesal, merasa seperti dijutekin, namun tetap menahan emosinya. Mira menunduk, merasa tidak enak hati atas situasi yang canggung ini.
“Kami cuma khawatir, Pak. Semalam dia hilang kabar, hari ini nggak masuk kuliah, ponselnya juga nggak aktif.”
Zavian menatap mereka dalam-dalam. Tak menjawab. Hanya diam sebentar, sebelum akhirnya berkata:
“Kalau kalian teman, kalian pasti tahu cara menenangkan hati seseorang tanpa harus membuatnya merasa terpojok.”
Tanpa berkata lebih, Zavian melangkah pergi. Meninggalkan Arya dan Mira yang masih berdiri kaku di tempat.
“Dia kenapa sih?” bisik Arya.
“Udah… mungkin dia cuma nggak mau ikut campur.” Mira menatap layar ponselnya sekali lagi. Masih centang satu.
“Semoga dia baik-baik aja...” ujar Mira pelan, lebih ke dirinya sendiri.
***
Mira, Sela, dan Arya akhirnya memutuskan mengunjungi rumah Renatta. Mereka mengetuk pintu berkali-kali, memanggil-manggil nama Renatta dengan nada cemas, namun tetap saja tak ada jawaban dari dalam rumah.
“Apa Renatta ke rumah Tante Diah?” tanya Sela, mencoba menebak.
“Nggak mungkin lah, Renatta kan udah diusir sama Tante Diah, mana mungkin dia ke sana lagi,” balas Mira sambil melipat tangan di depan dada, wajahnya penuh keraguan.
“Ya terus dia kemana? Di-teleponin juga nggak diangkat,” Arya menimpali, suaranya mulai panik.
“Yaudah, kita tunggu aja. Barangkali dia bentar lagi pulang. Mungkin lagi pacaran sama Bastian kali...” Mira mencoba menenangkan diri sendiri, meski hatinya tetap was-was.
“Tapi kalau lagi sama Bastian, kenapa juga kita harus nunggu disini?” Sela menatap dua temannya, setengah kesal.
“Jadi kita pulang nih?” Arya mulai ragu.
“Lo yakin dia jalan sama Bastian?” Sela bertanya lagi, sedikit sinis.
“Ya kalau nggak sama Bastian, sama siapa? Tuh anak kalau udah sama Bastian, lupa sama kita. Kesel gue. Udah ah, gue mau balik,” Mira menggerutu, melangkah menjauh dari depan pintu.
Saat mereka bertiga keluar dari gerbang, Zavian baru saja tiba, memperhatikan mereka dengan alis sedikit mengernyit. Ia menangkap ekspresi kesal di wajah ketiganya.
“Kalian sudah selesai berkunjung?” tanya Zavian datar.
“Berkunjung apanya, Pak? Dia nggak ada di rumah,” sahut Mira, sedikit ketus.
“Iya, dari tadi kita panggil-panggil, kita gedor-gedor pintu rumahnya, tapi nggak ada jawaban,” tambah Arya.
“Mungkin dia lagi jalan sama Bastian sih, Pak. Makanya kita mau pulang,” kata Sela, mencoba tersenyum canggung.
Zavian hanya diam. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, seperti biasa. Tidak terlihat ketertarikan mendalam terhadap cerita mereka, tapi ada sorot mata aneh yang tak sengaja muncul sekilas sangat cepat untuk ditangkap oleh siapapun.
“Kita pulang ya, Pak Zavian... Kalau Renatta udah pulang, tolong bilangin ya, kita nyariin dia,” ujar Mira sebelum akhirnya mereka bertiga pamit.
Zavian mengangguk pelan.
“Iya, nanti saya sampaikan.”
Mira, Sela, dan Arya pun berlalu, meninggalkan Zavian yang masih berdiri mematung di depan gerbang rumah Renatta.
***
Malam itu, Zavian duduk santai di atas sofa empuk ruang tamunya. Secangkir teh hangat tersaji di meja kecil di depannya, ditemani camilan ringan. Televisi menyala, menayangkan film aksi yang sebenarnya menarik, tapi entah kenapa pikirannya malah melayang ke sosok gadis di sebelah rumah.
“Ngapain juga aku mikirin dia?” gumam Zavian sambil menggeleng kecil, mencoba mengusir bayangan Renatta dari pikirannya.
Ia kembali memfokuskan pandangannya ke layar televisi, berusaha larut dalam adegan demi adegan. Namun waktu terus berjalan. Hingga jam menunjukkan pukul 10 malam, rasa gelisah itu semakin mengusik. Akhirnya Zavian bangkit dari sofa, keluar ke teras rumahnya, dan melangkah pelan menuju pagar kecil.
Dari kejauhan, ia mengamati rumah Renatta. Sunyi. Gelap. Tak ada satu pun tanda-tanda kehidupan di dalam sana.
“Dia beneran gak pulang?” bisiknya pelan, matanya menyipit, mencoba menangkap gerakan sekecil apapun dari balik jendela.
Diam-diam, Zavian mengintip dari balik tiang pagar. Tapi tetap tak ada apa-apa. Hanya kesunyian yang menemani rumah kosong itu.
“Sepertinya kamu terlalu bersenang-senang ya, Renatta...” lirihnya, lebih sebagai gumaman kepada dirinya sendiri.
Ia menarik napas panjang, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana, lalu berdiri beberapa detik, menatap rumah itu tanpa ekspresi.
Setelah itu, tanpa banyak suara, Zavian berbalik dan masuk kembali ke dalam rumah. Meninggalkan malam yang terasa lebih dingin dari biasanya.
***
Keesokan paginya, sinar matahari perlahan menerobos masuk ke sela-sela jendela rumah Zavian. Dengan sedikit malas, ia bersiap untuk pergi ke kampus. Setelah merapikan pakaian dan mengambil tasnya, ia membuka pintu rumah.
Langkahnya terhenti sesaat.
Secara refleks, matanya kembali mencari menatap rumah di sebelah. Rumah Renatta. Masih sama seperti semalam, sepi, senyap, tak berjejak.
Zavian mendekat ke tembok pembatas rumah mereka. Ia menoleh, memperhatikan pintu rumah Renatta yang tetap tertutup rapat.
"Apa dia kawin lari sama pacarnya?" gumamnya pelan, setengah kesal.
Ekspresi wajah Zavian tetap datar, namun jelas ada ketidakpuasan yang tergambar di sana. Ia menghela napas berat, seolah mencoba membuang rasa kesalnya yang tak tahu entah datang dari mana.
Tanpa membuang waktu lagi, ia melangkah cepat ke arah parkiran, membuka pintu mobilnya, lalu melajukan kendaraan menuju kampus, meninggalkan bayang-bayang rumah kosong itu di belakangnya.