Apa dasar dalam ikatan seperti kita?
Apa itu cinta? Keterpaksaan?
Kamu punya cinta, katakan.
Aku punya cinta, itu benar.
Nyatanya kita memang saling di rasa itu.
Tapi kebenarannya, ‘saling’ itu adalah sebuah pengorbanan besar.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Eka Magisna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episot 13
Getaran ponsel di bawah bantal membangunkan Kavi. Pesan singkat dari Gia Marta--sekretarisnya, mengingatkan bahwa ada pertemuan pagi dengan klien yang kemarin tender-nya mereka menangkan.
Waktu yang tertera di ponsel menunjuk angka 05.10 pagi.
Mengingat ini tugas penting, Kavi tak bisa abai walau mata masih sangat mengantuk. Bangun dengan malas, kaki diturunkan ke lantai sementara mulutnya terus menguap.
Langkah dipapah menuju kamar mandi yang posisinya ada di sebelah kiri.
Tepat melewati sofa panjang, langkah terhenti. Ada pemandangan yang menyilaukan. Puja masih tertidur pulas di sana dengan selimut turun ke pinggang. Cardigan rajut yang semalam dia kenakan tercampak di bawah lantai karena udara malam mungkin sedikit panas, menyisakan inner tanpa lengan yang memperlihatkan putih kulitnya dari bahu hingga ke lengan.
Ingatan Kavi beranjak pada semalam, dia pura-pura tidur setelah mendengar suara Puja meminta maaf karena tak pergi, selebihnya malah benar-benar tidur. Dan pagi ini dia mendapati wanita itu tidur di atas sofa.
"Sebaik itu cara dia mengalah. Ck!”
Dia memang mengumpat, tapi posisi Puja sekarang sungguh membuat menelan ludah, tatapannya terkunci di sana. Ada perasaan ingin menyelimuti, tapi kemudian urung karena lagi-lagi terhalang ego setinggi gunung.
Dalam hatinya terus memarahi diri sendiri supaya jangan tergoda.
Sialnya Puja malah bergerak, merubah posisi. Dari yang tadi menghadap, kini bergulir membelakangi.
Kavi kelabakan sendiri dan langsung melanting ke kamar mandi.
Namun tepat saat akan memutar handle, dia kembali tergoda untuk menoleh ke arah istrinya itu. Benar bangun atau hanya terusik, ternyata masih terlelap.
Ketika itu dia lakukan, detik itu juga hatinya terasa seperti ada yang memukul keras. Bebat luka di bahu Puja yang tadi tak terhalang, kini terlihat jelas.
Itu adalah bekas luka tembakan saat menyelamatkan dirinya yang bahkan belum pulih mengering.
Mengikuti hati, Kavi kembali mendekati wanita itu. Ada desiran sakit di ujung dada mengingat bagaimana Puja terkulai dengan darah bersimbah saat tragedi beberapa waktu lalu yang hampir menewaskannya itu.
"Apa yang sebenernya lu pikirin, Puja?” tanya hatinya mulai bingung lagi. "Kenapa mau nikah sama gua padahal kita gak sesama saling ....” Bahkan tak ada hati untuk mengucapkan 'cinta' atau minimal 'suka'. “Lu bahkan sampai ngorbanin diri kayak gni?" Bebat luka di bahu Puja ditatap miris dan alhasil membuat gejolak aneh dalam dadanya.
Jika karena uang, lalu kenapa dia menolak saat Bening dan Aji menawarkan begitu banyak untuk keluarganya? Pikir Kavi, tak paham. Dia sama sekali tak tahu pasal perjanjian rumah antara Puja dan kedua orang tuanya.
"Apa lu masih suka gua? Apa perasaan lu sama gua belum berubah?” Lalu menggeleng dan menepis sendiri. “Gak mungkin. Sikap lu aja kayak gitu.”
Tapi tidak berani menyebut 'jalan9'.
Pikirannya kacau dalam beberapa saat, diam seraya terus menatap.
Puja berubah jadi sangat cantik. Siapa pun tak akan percaya jika dia adalah si daging gempal mirip baskom, mata kodok dan pagar gigi yang dulu sangat tidak tahu malu dan sangat Kavi benci dari ujung rambut hingga kakinya.
Jadi bagaimana caranya wanita itu merubah diri sampai sepangling itu?
Operasi?
Kavi rasa tidak, tapi bisa saja ....
Pikirannya terisi lagi dengan pertanyaan itu dan bayangan masa SMA yang punya sejarah tak menyenangkan.
Dalam irama bayang membayang, alarm di ponsel Puja berbunyi nyaring. Secepat kilat Kavi melarikan diri masuk ke kamar mandi, cemas Puja akan bangun dan mendapati dirinya tengah menatap seperti seorang mesum.
****
Meja makan sudah penuh dengan makanan, Sanjaya--asisten pribadi Arjuna datang pagi-pagi sekali dan membawa beragam menu sarapan sesuai permintaan bosnya.
Kavi datang bergabung, setelah tadi dengan cepat berganti pakaian untuk menghindari Puja yang duduk di balkon menikmati udara pagi.
"Gak biasanya lu siap sepagi ini," celetuk Arjuna seraya menyuapkan sepotong roti telur ke dalam mulut. Sementara Jaya tetap santai menyantap makanannya tanpa terganggu dengan kedatangan Kavi.
"Gua ada meeting pagi sama klien penting,” jawab Kavi, mengambil satu jenis makanan yang sama dengan Arjuna, menyuapkan setengah ukurannya ke dalam mulut. "Ah, gua lupa hubungi Gia soal berkasnya." Dia merogoh saku jas untuk mengambil ponsel, namun meraba-raba, benda itu tak ada di sana. "Sial, pake acara ketinggalan tu hape," gerutunya. Terpaksa bangkit untuk mengambil, naik kembali ke lantai dua dalam keadaan mulut mengunyah.
Arjuna hanya menggeleng, tapi detik kemudian dia tercenung menatap ke arah yang tadi Kavi lewati.
Semalam tidak terdengar apa pun di kamar sejoli itu. Tidak ada suara perdebatan dan apa pun yang merujuk pada keadaan tak baik-baik saja. Arjuna merasa bodoh sendiri karena sempat menguntit, berdiri di depan pintu kamar yang dihuni mereka sesaat setelah Puja memasuki kamar.
"Mikirin apa, Bos?" Sanjaya bertanya, melihat Arjuna yang tiba-tiba diam seperti memikul setumpuk beban.
Pandangan Arjuna terlempar ke wajah Jaya. Diam sebentar lalu bicara, “Gua cuma mikir ... kok rumah gua jadi kayak villa bulan madu pasangan penganten ya, Jay?”
Jaya tersenyum tipis saja, dia tahu Puja ada di sana dari bosnya itu pagi tadi. "Kalo gitu mintalah mereka bayar sewanya, Bos."
Jun manggut-manggut sambil tersenyum miring. “Bener juga lu.”
---
Sampai di tujuan, Kavi langsung masuk tanpa memikirkan apa yang sedang dilakukan Puja di dalam kamar. Kebetulan pintu tak rapat sempurna, hingga mendorong tanpa menimbulkan suara.
Kamar itu luas dan memiliki sekat berbeda untuk masuk ke dalam yang ada tempat tidurnya. Ponsel Kavi persis tertinggal di nakas lampu tidur tepat di samping ranjang.
Namun ketika memasuki ruangan itu, niat Kavi terganggu, oleh Puja. Sesaat membeku memerhatikan apa yang sedang dilakukan wanita itu.
Tangan Puja sibuk melepas bebat luka di bahu belakangnya.
Kavi melihat beberapa macam obat-obatan termasuk krim oles berserak di atas kasur, sepertinya Puja berusaha keras.
Sialnya, wanita itu sedikit kesulitan karena baju yang dikenakan susah diatur.
Salahnya Puja tidak melepas setelah mandi, lalu ingat setelah kemeja kerja dia kenakan, jadi malas melepas kembali dan hasilnya mempersulit diri.
“Waktu lu mutusin buat susul gua ke sini, harusnya lu bawa asisten seenggaknya buat lakuin hal sepele kayak gini.”
Puja melengak, tercuri perhatiannya.
"Kavi.”
Sementara Puja terkejut, Kavi sudah mengambil alih apa yang tengah dilakukan istrinya itu. Bebat lama dilepas, krim diusapkan secara halus dan pelan ke bagian luka, berikut mengganti bebat dengan yang baru.
Mendapat perlakuan seperti itu, jantung Puja mendadak berdetak cepat. Pandangan dibuang ke arah lain untuk menyembunyikan rona.
Lain perasaan Puja, lain pula Kavi.
Membayangkan bagaimana kesakitan Puja saat menerima peluru yang menembus bagian kulit dan dagingnya itu, Kavi menelan ludah. Perasaan bersalah menyeruak kembali ke dalam dada seperti pukulan berulang.
Karena tidak ada lagi pergerakan, Puja bertanya, “Apakah sudah?”
Segera mengembalikan Kavi pada kenormalannya. “Ah, iya, udah."
Lekas Puja menaikkan kembali bajunya, lalu berdiri cepat. “Makasih," ucapnya.
“Hmm.” Sesingkat itu jawaban Kavi.
"Kenapa balik lagi?" tanya Puja, ingin tahu.
Di saat pertanyaan itu terlontar, ponsel Kavi di atas nakas berdering nyaring. Sesegera mungkin pria itu meraihnya, kemudian menggoyangkan benda itu ke arah Puja. "Ini." Bentuk jawaban atas pertanyaan wanita itu.
Puja mengangguk sekali.
Panggilan telepon yang ternyata dari sekretarisnya diangkat Kavi sembari berjalan ke luar, meninggalkan Puja yang saat ini menatap punggungnya dengan perasaan yang campur aduk.
perjalanan dan ekspansi bisnis mungkin bisa jadi pembelajaran juga buat pembaca..
tetaplah berkarya dan menjadi yang terbaik.. 👍👍😍🙏
jadi lupakan obsesi cintamu puja..
ada jim dan jun, walaupun mereka belum teruji, jim karena kedekatan kerja.. jun terkesan memancing di air keruh..