NovelToon NovelToon
Dion (2)

Dion (2)

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Anak Yatim Piatu / Cinta Beda Dunia / Cinta Seiring Waktu / Kebangkitan pecundang / Hantu
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.

Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?

Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bukan Kacamata Kuda

Hari sudah terang ketika Dion terbangun dari tidurnya. Kali itu ia melewatkan kegiatan lari pagi karena merasa tidak beristirahat dengan cukup. Apalagi pagi itu ia juga memiliki janji bertemu dengan Amri pimpinannya.

Dion sedang mengerjakan layout atau tata letak sebuah buku autobiografi Sutan Azhari, seorang tokoh politik kawakan dan pengusaha sukses di Kota Medan yang ditulis Amri. 

Di kantor pemasaran percetakan besar dan mewah, Dion diperkenalkan dengan Sutan Azhari si politikus dan Julius sang pemilik percetakan. 

Dion mendemonstrasikan hasil layout-nya menggunakan laptop Amri. Sutan bukan saja senang tapi terkagum-kagum dengan penyusunan halaman, penataan foto-foto artistik dan pemilihan tema warna yang digunakan Dion. 

“Buku ini akan sedikit berbeda dengan autobiografi lainnya karena banyak sekali foto-foto bernilai seni tinggi,” Dion memuji foto-foto karya Sutan yang humanis, naturalis sekaligus realis tapi tetap mempertahankan nilai artistik.

“Misalnya foto air terjun ‘Ryuzu Cascades’ ini. Aku mendesainnya agar halaman bisa direntangkan, mirip sisipan poster di majalah. Begitu dibuka, ukurannya jadi empat kali lebih besar—cukup untuk mengekspos keindahan dramatisnya.”

Sutan tersenyum lebar. “Wah, ini pasti akan terlihat spektakuler. Foto itu memang salah satu favoritku, aku memotretnya tahun 1989. Warnanya luar biasa, bukan?”

Ia menepuk pundak Dion, tanda ide itu bukan sekadar diterima, tapi benar-benar disukai.

“Untuk sampul, aku sudah menyiapkan beberapa konsep. Tapi menurutku, lebih baik kita cetak dalam dua versi: hardcover dan softcover,” ujar Dion.

Ia menunjuk layar, menampilkan desain pertama. “Hardcover akan terasa eksklusif, cocok untuk koleksi pribadi, hadiah bagi orang-orang terdekat, atau kolega penting.”

Sutan mengangguk, menyimak dengan antusias.

“Nah, untuk softcover, aku ingin menonjolkan sisi personal. Aku menyukai foto ini,” lanjut Dion, memperlihatkan gambar Sutan yang tengah duduk berehat di sebuah gedung tinggi, memandang skyline Kota Medan sambil menenteng kamera.

Sutan menyipitkan mata, tertarik. “Kenapa kau memilih foto itu?” tanyanya.

“Aku membaca beberapa bagian dari profil Pak Azhari. Foto ini menggambarkan karakter Bapak yang selalu memilih untuk melihat permasalahan dari sisi di mana masalah itu bisa dipandang seluas mungkin.”

“Tapi Pak Azhari juga selalu memiliki tools untuk fokus pada objek dari sisi manapun yang diinginkan. Bukan tokoh berkacamata kuda seperti kebanyakan politikus,” papar Dion membuat Azhari kegirangan.

“Akhirnya ada orang yang memahami filosofi fotografiku yang juga kuterapkan pada kehidupan secara keseluruhan,” ujar Azhari kembali kegirangan.

Amri yang duduk di sebelah mereka hanya bisa menghela napas, setengah iri karena Dion yang mendapat semua pujian. “Apa kubilang, Bang. Dion ini memang berbakat,” komentarnya.

Sutan menoleh lagi pada Dion. “Kau harus belajar fotografi lebih dalam.”

“Ah, semua orang bisa menilai karya fotografi yang bagus. Semua orang bisa memiliki selera yang tinggi. Tapi tak semua orang memiliki pengamatan yang hebat dan kemampuan memilih timing yang tepat,” Dion kembali memuji Azhari.

Sutan terbahak. “Ah! Kau ini memujiku terus. Tapi yang kau katakan benar. Bulan lalu aku membawa beberapa fotografer pemula ke Bukit Lawang. Kami berdiri di tempat yang sama, tapi hasil foto mereka? Tidak ada yang menangkap momen sebagus milikku. Teknik bisa dipelajari, tapi bakat itu bawaan.”

Ia kembali menatap desain di layar, puas.

“Nah, versi softcover ini akan dijual untuk umum dengan harga lebih terjangkau. Foto dan judulnya akan berperan sebagai strategi pemasaran, menarik perhatian pembaca,” Dion menutup presentasinya.

Sutan mengangguk mantap. “Bagus! Kita cetak dua versi.”

Setelah menegosiasi harga dengan pemilik percetakan, mereka masih berbincang di lobi kantor pemasaran printing house itu sambil menikmati kopi. 

Julius yang sebenarnya sangat tertarik dengan Dion yang ia anggap memiliki bakat desain grafis yang baik harus menahan diri karena Azhari terus saja mendominasi pembicaraan. 

Pemilik percetakan itu harus gigit jari ketika ketiga tamunya berpamitan tanpa memberinya kesempatan berbicara dengan Dion. Tapi Julius tak putus harapan karena Dion masih harus kembali ke percetakan itu untuk memeriksa hasil cetakan.

Dion dan Amri mengantarkan Julius menuju mobilnya yang terus saja tersenyum semringah karena merasa hasil cetak autobiografinya akan lebih baik dari yang ia bayangkan sebelumnya.

“Berikan nomor ponselmu! Siapa tahu nanti aku butuh untuk proyek serupa,” ujar Julius pada Dion.

Sebelum Dion sempat menjawab, Amri sudah lebih dulu menimpali, “Dia belum punya handphone, Bang. Nanti aku belikan.”

Julius menatap Dion sejenak, lalu melirik sopirnya yang membukakan pintu SUV impor berwarna cokelat. “Di dashboard masih ada kotak handphone yang kubeli minggu lalu?” tanyanya.

Sang sopir mengangguk, lalu mengeluarkan sebuah kotak. Di kemasannya, tampak gambar seorang wanita Asia tertawa di samping pria kulit putih berjas putih, dengan logo jenama ponsel terkenal di sudut kanan bawah.

“Ini masih baru. Tadinya mau kuberikan untuk ulang tahun anak angkatku, tapi ternyata dia sudah punya model yang sama dan malah minta tiket liburan. Mau kukembalikan ke toko, tapi belum sempat. Jadi buat kau saja,” ujar Julius, menyerahkan kotak itu pada Dion.

Sejenak Dion merasa ragu, tapi anggukan Amri membuatnya meraih sodoran Julius. Dion meraih kotak itu dengan sedikit canggung. “Terima kasih, Pak. Tapi ini terlalu mahal.”

Julius hanya tertawa. “Terima saja. Kau pantas mendapatkannya.” Ia lalu menyelipkan kartu nama ke tangan Dion. “Tambahkan ke kontakmu. Kalau sudah beli kartu SIM, telepon aku supaya aku tahu nomor barumu.”

Sebelum masuk ke dalam mobil, Julius menoleh sekali lagi dan menambahkan, “Oh ya, satu lagi. Jangan cuma mencantumkan nama percetakan di buku itu. Pastikan namamu tercetak di sana. Desain oleh Dion, begitu.”

Dion mengangguk mantap, sementara SUV mewah itu melaju perlahan meninggalkan mereka.

Sepeninggal Julius, Dion mengikuti Amri yang berjalan ke arah mobilnya. “Coba periksa tipe ponselnya!” seru Amri sembari berjalan.

Dion membolak balikkan kotak itu dan menemukan tipe nomor pada bagian bawah kotak. “8310, Bang,” jawab Dion.

“Wah. Handphone mahal itu. Kau tau harganya? Lima jutaan,” ujar Amri sambil membuka pintu mobilnya.

Mendengar perkataan Amri, Dion terbelalak. “Ah pasti Pak Julius itu seorang kaya raya.”

Amri hanya tertawa mendengar komentar Dion dan mengemudikan mobilnya kembali ke kantor.

“Nanti sampai di kantor, Dion menghadap ke bagian keuangan minta diuruskan sim card pasca bayar. Kantor akan mengeluarkan tunjangan hingga 100 ribu untuk biayanya setiap bulan. Kalau penggunaanmu lebih dari nilai itu, Dion bayar sendiri selisihnya,” cetus Amri sambil mengemudikan mobil.

Di ruangannya, Dion membuka kotak ponsel itu. Dion menyukai ponsel hitam barunya yang ringkas dan ringan serta berukuran kecil ketimbang umumnya ponsel kala itu. Meskipun tombol-tombolnya terasa kekecilan karena jari-jarinya berukuran besar.

Sejenak Dion berpikir mengapa orang rela mengeluarkan yang yang begitu besar untuk alat komunikasi itu. 

“Uang 5 juta bisa untuk biaya hidup selama dua tahun. Apa sebaiknya aku jual saja dan beli yang lebih murah? Tapi tak baik menjual pemberian orang lain.”

“Hmm, apakah yang kukerjakan pantas mendapat penghargaan sebanyak itu?” pikir Dion. 

Ia lalu mengembalikan unit ponsel itu ke dalam kotak dan menyimpan di laci meja karena ia belum memiliki kartu untuk mengoperasikannya.

Sebelum makan siang, Dion menyempatkan diri mengunjungi pusat perbelanjaan yang berada di dekat kantornya. Ia ingin membelikan daster untuk Melati seperti janjinya malam tadi. 

Dion yang bingung memilih pakaian rumahan itu akhirnya dengan malu-malu meminta bantuan seorang pramuniaga. Dion berdalih ingin membelikan daster untuk kakak perempuannya.

“Kakakku tinggi, sekitar 174 cm,” jelas Dion menjawab pertanyaan pramuniaga mengenai postur tubuh ‘kakak’ Dion.

“Keluarga abang tinggi-tinggi yah?” ujar pramuniaga sambil mengeluarkan beberapa daster.

Dion memilih dua pasang daster terusan, dua pasang piama, beberapa t-shirt dan celana pendek untuk wanita.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!