Renata tuli, dan itu sudah cukup menjadi alasan mengapa dirinya di jauhi se-antero Amarta.
Tapi pemuda itu, Maleo, tidak berpikiran demikian. Ia justru menganggap Renata...Menarik? Tanpa alasan, seperti itulah Maleo.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YuanYen, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13. Our Friendship
"Dasar anak koruptor!" Hardik seorang siswi.
"Udah puas makan uang haram?!" Bentak siswi lainnya.
Siswi-siswi di hadapan Renata dan Ashel berbisik-bisik.
"Eh, lo udah tau? Bapaknya Hera ternyata korupsi," seorang siswi berbisik pada temannya.
Teman si siswi melotot.
"Yang donatur itu?!" Ia memekik.
Ashel menghela, ia merasa Renata telah aman.
Tapi Renata justru mengerutkan keningnya, ia mendesak untuk masuk memotong kerumunan yang ada. Renata menghiraukan larangan Ashel yang menyuruhnya untuk diam.
Renata terpaku, matanya spontan membulat tatkala menangkap adegan dihadapannya.
Hera, sosok yang selama ini menjadi penyebab penderitaan maupun kebahagiaan yang ia alami di masa lampau, telah jatuh terduduk, rambutnya acak-acakan. Renata melihat tangan seseorang menjambak rambut itu.
Renata dapat melihat lingkaran di bawah mata Hera, bukti bahwa gadis itu tak tidur semalaman penuh.
"ARGH!" Hera menggeram kala merasakan sakit pada kulit kepalanya, sebab rambut yang ditarik kencang.
"BERHENTI!"
Renata menjerit, puluhan siswa mengalihkan atensinya pada gadis tersebut.
Ashel memijat pelipisnya, ia menghela lantas berusaha mencari Renata yang terombang-ambing di antara lautan manusia.
Aduh...Anak itu tidak punya rasa benci ya? Batin Ashel.
...•••...
"Aw!''
Hera merintih kesakitan ketika cotton bud yang mengandung obat merah mengenai lebam di kulitnya.
"Eh, sakit ya?" Renata meringis, ia tahu bagaimana sakitnya obat merah yang ditekan begitu dalam.
Hera terdiam, gadis itu nampak enggan untuk merespon. Mungkin karena malu?
Bagaimanapun juga, dahulu Hera bagai antagonis yang senantiasa melimpahkan luka pada Renata, abai akan konsekuensi yang akan ia peroleh.
Tapi faktanya seseorang yang dahulu ia anggap sebagai salah satu musuhnya, justru orang itu pula yang menjadi obat kala ia berada dalam kondisi terdesak seperti ini.
Velencia?
Bisa apa gadis itu? Yang ia mau hanyalah bahan gosip terbaru supaya akun Lambe Nyengir-nya viral di sosmed.
Ashel mengerutkan keningnya, bibirnya mengerucut kesal lantaran sikap terlalu baik sahabatnya.
Kalau Ashel sih boro-boro membantu merawat lukanya Hera, lebih baik ia benturkan kepala cewek sombong itu di tembok terdekat. Dia sudah muak sejujurnya.
"Thanks." Hera membuka suara setelah diam membisu tanpa kata. Gadis itu menunduk, menyembunyikan wajah cantiknya yang penuh akan plaster luka.
"Sama-sama," bukan Renata, tapi Ashel. Gadis itu berbicara dengan nada ketus.
"Lo harusnya makasih ke gue, gue udah baik ga jedotin pala lo ke tembok!'' Cercanya, meski Renata harus menepuk pelan pundak Ashel untuk mengingatkan gadis itu, bahwa mereka tengah berada di unit kesehatan sekolah.
Hera hampir saja menyumpal telinganya, kalau saja tidak dihadapan Renata. Bagaimana pun juga ia ingin terlihat baik dihadapan sahabatnya.
"Thanks." Ujar Hera setengah hati.
Renata tersenyum hangat, jari-jarinya bergerak lihai memasukkan alat yang ia kenakan untuk menyembuhkan luka Hera tadi.
Hening sejenak, Renata memutuskan untuk melenggang meninggalkan Hera beristirahat seorang diri di ranjang UKS.
Namun belum sempat ia melangkah pergi, lengannya justru dicekal oleh seseorang.
Renata berbalik, keduanya saling berpandang sejenak sebelum akhirnya Hera mengalihkan atensi pada Ashel.
Ashel mendengus kesal, ia menatap Hera menggunakan ujung matanya, seakan gadis itu lebih menjijikan dibanding tikus got yang sering berkeliaran di depan kompleknya.
"Hei hei hei hell! Apalagi ini?" Keluh Ashel, hatinya telah dongkol menghadapi sikap Hera dan Renata.
"Lo," Hera menunjuk Ashel tepat di muka.
"Mending pergi, gue mau ngomong sama Renata.'' Perintah Hera, ternyata setelah seluruh kejadian ini berlangsung, Hera tetap memelihara sikap bossy-nya.
"What the hell!" Ashel hendak melayangkan protes, tapi dicegah oleh tatapan meyakinkan Renata.
"Please?" Bujuk Renata.
Ashel menghela napasnya berat.
"Terserah, gue cabut!"
Membiarkan egonya menang, Ashel lantas berlalu meninggalkan dua sahabat masa lalu yang sempat menjadi musuh akibat kesalahpahaman kecil.
Keheningan menyapa dua insan yang tengah kalut akan pikirannya masing-masing.
Keduanya mengabaikan mentari yang telah terbenam sedari tadi, hingga lonceng yang menandakan selesainya kegiatan belajar mengajar, Hera masih tetap menunduk seraya memainkan jari-jarinya. Terlalu gengsi untuk meminta maaf atau mengakui kesalahannya.
Kicau burung camar terdengar jauh lebih besar dibandingkan suara jarum jam.
Renata menghela, ia bangkit secara tiba-tiba membuat Hera terkejut akan tindakannya.
"Aku mau pulang." Putusnya, setelah menunggu dua jam berada di tempat ini.
"Jangan!'' Hera agak meninggikan suaranya.
"Terus Hera mau apa? Kita udah di sini kurang lebih 2 jam loh, yang lain pasti udah pada pulang." Ujarnya kesal, namun berusaha untuk tidak menyakiti hati lawan bicaranya.
Hera membuang napasnya, melampiaskan rasa cemas yang tiba-tiba melanda. Mau tidak mau ia harus mengesampingkan sifat angkuh yang entah sejak kapan bersarang pada dirinya.
"Gue minta maaf."
Akhirnya, kata-kata yang ditunggu terdengar jua.
Renata mengangguk mengiyakan. Meski begitu ia mengernyit.
"Buat?" Tanya Renata, menuntut jawaban.
"Buat semua." Hera menghirup oksigen sebanyak-banyaknya, agak gugup dengan situasi semacam ini.
Hera memandangi kontur wajah Renata— terlihat bahagia, terbukti dari bibir yang melengkung ke atas serta mata bulan sabitnya yang menyipit lucu.
"Sorry, gue udah nuduh lo yang engga-engga. Udah buat lo jadi kesusahan bersosialisasi, ngelecehin lo, sampe malu-maluin lo. Gue minta maaf.''
Tanpa sadar, air mata meluncur membasahi pipinya. Bibirnya bergetar seraya menggumamkan kata maaf berulang-ulang. Renata melihat tubuh rapuh yang tak jauh berbeda darinya dahulu, segera ia merengkuh tubuh sahabatnya itu.
Renata tahu, Hera tulus akan permintaan maafnya.
"Engga apa-apa, aku udah lama maafin kamu."
Mendengar itu Hera justru menangis sesenggukan—Jauh lebih keras dibanding yang sebelumnya.
Renata mengusap punggung gemetar sang sahabat berusaha menyalurkan rasa hangat untuk menenangkannya.
Hera benci, sungguh benci mengenai fakta bahwa ia telah menyakiti hati orang yang selama ini berteman tanpa pamrih dengannya.
''Maafin gue....Gue gak ndengerin lo, gue justru dengerin Mama—Engga, si nenek lampir itu!" Hera menumpahkan curahan hatinya dalam pelukan Renata.
"Eh, gak boleh gitu!" Renata memperingati Hera agar tak menghina Ibu Tyas. Karena apapun alasannya, dia adalah wanita yang membuat Renata dapat bersekolah dengan lancar.
"Mereka jahat, Na! Nenek lampir itu yang mecat Bu Saraswati dengan tuduhan dia selingkuh sama Papa!''
Renata menautkan alisnya, lantaran merasa ada sesuatu yang janggal.
"Ibu?"
"Bu Saraswati, Mama lo, lo lupa?!'' Ujar Hera parau.
Renata nampaknya tak dapat menyembunyikan tawanya.
Ia tertawa terbahak-bahak.
Sejenak Renata melepas pelukan keduanya. Ia menepuk-nepuk pundak Hera yang kebingungan.
"Bu Saraswati? Ibu aku? Hahaha!" Lagi, ia kembali tergelak.
Hera mendengus kesal, gadis itu merasa harga dirinya jatuh kala mendengar suara tawa mengejek itu.
"Apaansih yang lucu?" Hera mendengus, ia mendelik tidak suka.
Renata menghentikan gelak tawanya, lalu tersenyum lebar hingga lesung pipinya nampak jelas.
"Hmm...," Renata kembali mendudukkan dirinya pada kursi samping ranjang.
"Apa ya, yang lucu?'' Goda Renata kala mendapati wajah kesal sang sahabat.
Hera menghela.
"Hah, my bad, gue sempet ngira Saraswati Mama lo." Akunya setelah menimang-nimang maksud Renata.
Gadis itu lalu terkikik geli mendapati raut bersalah Hera.
"Gapapa, lagipula udah terjadi. Sekarang fokus aja sama masa kini."
Hera mengangguk, diam-diam membenarkan ucapan Renata. Sahabatnya bisa bijak juga ternyata.
Hera tanpa aba-aba mengacungkan jari kelingkingnya. Renata berkedip, sedikit terperangah akan kejadian yang tiba-tiba.
"Eh?"
"Pinky promise."
Janji kelingking katanya?
Renata terdiam seketika, sebelum akhirnya menautkan jari kelingkingnya sehingga keduanya resmi mengikat sebuah janji.
"Janji apa?" Tanyanya lugas.
"Janji bakal sama-sama ....terus? Maybe sampe lulus?" jelas Hera ragu-ragu.
"Kalau lo gamau gapapa." Imbuhnya cepat, segera menarik kelingkingnya, namun dicekal oleh Renata yang lebih dulu memegang erat-erat kaitan keduanya.
"Aku mau!"
Hera menghela lega, sebab beban yang selama ini menyesakkan dadanya telah terbang setinggi sayap camar yang membawanya melambung menuju angkasa luas.
Di bawah naungan langit
jingga kala senja menyapa, cahaya kekuningan menelisik— menembus kaca, menyoroti dua insan yang tengah tertawa mengesampingkan masalahnya masing-masing.
"Tuhan, senang rasanya menjalin ikatan pertemanan kembali."
•••
HALLOOO!!
Aku gatau masih ada yang baca atau engga, karena saya jujur sudah lama tidak menulis.
Cerita ini juga bukan yang wow bgt so yaudah, good bye!
Aku ingin bingar...
Aku mau di pasar...
Pecahkan saja gelasnya biar ramai!
Biar mengaduh sampai gaduh...
Kulari ke hutan kemudian teriakku....
Bosan...aku dengan penat...
dan enyah saja kau pekat!
Seperti berjelaga jika ku sendiri...