Cita-cita adalah hal mutlak yang harus dicapai. Sedangkan, prinsipnya dalam bekerja adalah mengabdi. Namun sebagai gadis miskin tanpa pendidikan penuh ini — pantaskah Meera menjadi sasaran orang-orang yang mengatakan bahwa 'menjadi simpanan adalah keberuntungan'?
Sungguh ... terlahir cantik dengan hidup sebagai kalangan bawah. Haruskah ... cara terbaik untuk lepas dari jeratan kemalangan serta menggapai apa yang diimpi-impikan — dirinya harus rela menjadi simpanan pria kaya raya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sintaprnms_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
13 : Keadaan Tuan Abhimana Yang Memburuk.
...13 : Keadaan Tuan Abhimana Yang Memburuk....
Satu Minggu setelah Prambanan Ballet berlalu. Aktivitas Meera berjalan seperti biasa. Tetapi dirinya menangkap hal aneh dari Sang Tuan. Tuan Abhimana terlihat berbeda. Ya maksudnya, beliau terlihat lebih banyak diam, atau bahkan hampir tidak pernah bicara.
Apa suasana hati sedang buruk? Mengapa akhir-akhir ini semenjak kepulangan dari Jogja, Meera membersihkan kamar dan ruangan Tuan tanpa mendengar suara sama sekali. Bahkan beberapa kali Tuan memilih keluar dari ruangan yang hendak ia bersihkan. Tuan seperti sengaja menghindar.
Semoga prasangka buruk hanya sekadar prasangka. Ia tidak ingin menjadi bulan-bulanan kemarahan Tuan, jika Tuan merasa tidak nyaman atas tindakan diri ini.
“Meera.”
“Hm?” Meera menengok. Ada Risa disampingnya. “Apa?”
Risa mendekat. Gadis itu nampak aneh, berbicara pelan. “Aku … sebenarnya nggak mau sih ngasih tahu kamu. Tapi aku kepikiran sendiri. Muter-muter terus di kepalaku.”
Kasih tahu apa?
“Waktu kamu di Jogja. Dua hari lah kalau nggak salah. Nah, tengah malam aku lupa jam berapa seingatku tengah malam.” Risa menjeda, lagi. Kali ini bahkan kian pelan seperti berbisik. “Aku lihat …”
“Lihat apa? Hantu?”
Risa menepuk paha pelan. “Denger dulu lah. Aku lagi serius ini.”
“Ya apa? Kamu lihat apa? Lagian kamu bicara pelan banget. Mana kepotong-potong.” Protes Meera. Ia baru sadar. Jika diantara yang lain, Risa sedikit lebih waras. Dia … lumayan untuk dijadiin teman sebaya.
“Tuan masuk kamar kamu,” sambung Risa.
Mata Meera melebar. Tidak. Bagaimana mungkin? “Jangan ngarang gitu, ah. Sebelum berangkat ke Jogja kamarku udah aku kunci.”
“Terus? Apa masalahnya kalau di kunci? Kamu nggak mikir kalau setiap Tuan Rumah punya kunci serep?” jelas Risa yang membuat Meera berpikir dua kali.
Emang nggak salah. Setiap Tuan Rumah pasti punya duplikat kunci. Tapi … buat apa Tuan masuk kamarku? Ah, nggak mungkin, batin Meera yang masih menolak percaya.
“Sayang banget aku nggak bawa HP. Apalagi kita pelayan nggak boleh cek cctv. Jadinya aku nggak punya bukti. Cuman ya, asal kamu tahu. Aku nggak punya niat jelek. Aku ngasih tahu supaya kamunya hati-hati aja. Amit-amit. Nauzubillahi Tuan aneh-aneh ke kamu, kan?”
Deg. Deg. Meera berdebar tiba-tiba. Sejujurnya, pikiran ini mulai kembali pada hari dimana anak tidak sah itu — Nyonya Mahika atau Mardiyah. Bagaimana jika … hal-hal buruk … tidak, tidak … Meera yakin ia bisa melindungi diri sendiri.
Jika memang Tuan sudah lancang memasuki kamar pelayan. Maka Meera akan membuat kunci dari dalam. Sungguh ia akan sesegera mungkin memberi gembok dan semacamnya … ya, ia serius untuk itu.
“Mungkin … Tuan berniat nge-cek semua kamar pelayan. Mungkin, kan? Bisa aja?” Meera berucap santai, seolah semua baik-baik saja. Ia tidak mau mempengaruhi Risa untuk berpikir lebih buruk.
Risa berdecak. “Nge-cek apaan? Kalau emang berniat nge-cek biasa, bisa pagi-pagi atau nggak siang-siang. Ini tengah malam loh. Logika aja kamu, Ra.”
“Ya kan —“
“Meera!”
Namanya dipanggil. Meera mendengar itu adalah milik dari Bu Lara — pelayan senior. Maka secepat mungkin Meera berdiri dan menghampiri.
“Dalem (Saya), Bu."
“Tolong dianter ke kamar Tuan.”
Meera menatap bingung. Antar? Apa? Makanan?
“Bukannya Tuan makan di bawah —“
Bu Lara memotong. “Nggak. Tuan kayaknya nggak enak badan. Kamu antar aja wes (sudah).”
Meera mengambil alih nampan. Apa … Tuan sakit? Padahal tadi pagi pun terlihat baik-baik saja.
Sengaja.
Menjauhi gadis itu setelah melihat penampilan drama di Jogja, jujur saja membuat Abhimana merasa tidak nyaman. Memang jelalatan. Mata ini — padahal sudah terbiasa dan sering melihat segala hal terbuka di Honey Bunch, tetapi … why? Cara berpakaian itu membuatnya hilang akal.
Belum lagi sekarang. Pekerjaan menumpuk. Kepalanya pening karena begadang semalaman. Entah apa yang ada dipikiran. Ingin makan rasanya tak selera. Dan badan pun terasa hangat. Abhimana yakin suhu tubuhnya naik.
“Ah, sial,” lirih Abhimana.
Pintu kamar itu, tiba-tiba diketuk. Dan Abhimana yakin suaranya tak juga sampai didengar oleh orang yang diluar. Hingga tak lama … pintu terbuka.
Samar mata Abhimana menatap bahwa yang masuk adalah Meera.
“Tuan?”
Itu dia ... Meera.
“Tuan, Anda sakit?”
Suara Meera kian dekat. Dan tanpa aba-aba atau mungkin saja telinganya tertutup sesuatu. Meera menyentuh dahinya.
“Sepertinya, Anda demam.” Tangan itu terlepas. “Saya boleh izin memeriksa suhu tubuh Tuan dengan termometer?”
Abhimana menatap. Periksa dibagian mana? Mulut? Atau ketiak?
“Sebagai pelayan kami tentu tahu batasan. Alat kesehatan ini khusus digunakan untuk Tuan Rumah saja. Jadi Anda tidak perlu khawatir. Alat ini pun baru.”
“Dimana?” lirih Abhimana.
Meera nampak bingung. Seperti memproses pertanyaan. “Senyaman Anda, Tuan.”
“Mulut?”
Meera mengangguk. “Silakan, Tuan. Tolong buka mulut Anda.”
Tit. Tit. Tit. Menit demi menit berlalu. Dan suhu tubuh telah terdeteksi — disana tertera berapa pun Abhimana tak tahu. Meera pun belum bicara.
“Anda pusing?”
“Sedikit …”
“Anda mau ke Dokter?”
Abhimana menggeleng. “Nggak.”
“Suhu tubuh Anda 38,5 derajat celcius. Jika dalam waktu 1 sampai 2 jam tidak turun. Kita berangkat ke Rumah Sakit.” Putus Meera dengan tegas. Bubur pun telah diletakkan pada Meja. “Saya permisi untuk mengambil air. Jika Tuan kesulitan makan, akan saya bantu nanti.”
Setelah Meera keluar. Abhimana menatap bubur di meja. Astaga, mengapa untuk sekadar mengangkat tangan saja ia tidak bisa?
Waktu gue kayaknya udah nggak lama, deh.
Siapa yang menyangka bahwa Tuan Muda Abhimana ini sakit? Dan suhu tubuh pun sudah hampir mencapai 39 derajat celcius masih menolak untuk ke Dokter. Laki-laki emang sok kuat. Tapi kalau dilihat-lihat Tuan agak lemas sih. Kasihan juga …
“Gimana tadi, Tuan?”
Meera mematikan keran air. “Demam, Bu. Kalau nggak turun turun, kayaknya harus dibawah ke RS aja.”
“Yawes (yasudah). Ibu bilang ke Miss Ferdina dulu.”
Meera diam sejenak dan menjawab,“Monggo (Silakan), Bu.”
Dirinya sudah tidak peduli apapun. Termasuk, pada Miss Ferdina. Ingin disalahpahami macam apa, itu urusan Miss Ferdina dengan pikiran sendiri. Tujuan Meera sekarang adalah merawat Tuannya.
Sebab prinsipnya dalam bekerja, tidak akan pernah berubah. Yaitu, mengabdi.
Air dan kain sudah berada ditangan. Satu persatu anak tangan dinaiki. Dan saat telah sampai di depan pintu kamar, samar-samar Meera mendengar Tuan Abhimana berbicara.
Lagi telepon?
“Mam ... pusing.”
“…”
“Nggak mau ke Rumah Sakit.”
“…”
“Nggak mau Dokter yang datang. Mama aja yang datang …”
Kedua sudut bibir Meera terangkat. Ya ampun, semua pria memang seperti ini, ya? Bahkan diumur berapa pun, kami semua tetap membutuhkan Ibu. Sedikit manja tidak mengurangi wibawa Tuan. Justru … Meera sedikit iri.
“Mam … ayok. Naik pesawat aja biar cepet.”
Dengan perlahan Meera berjalan, lalu berkata, “Tuan?”
Panggilan tiba-tiba dimatikan. Meera bisa melihat ponsel itu. “Ma-af. Saya menganggu?” tanya Meera.
Abhimana menggeleng. “Meera …”
“Disini, Tuan.” Ya Allah, kayaknya Tuan emang udah nggak ada tenaga.
Mata Tuan mengerjap berkali-kali. “Jemput Mama saya … suruh datang kesini.”
Hah? Gimana? Meera bingung. Tuan sepertinya memang sudah harus dibawa ke Rumah Sakit. Dan saat dirinya hendak keluar memanggil orang, Tuan menahan dengan berujar, “Ra, tolong …”
“Baik, Tuan. Saya akan panggil —"
Ucapan Meera tertahan saat panggilan masuk tertera pada layar ponsel Tuan. Disana Meera bisa membaca dengan jelas tertulis, Mam.
“Bicara …”
Bicara? Apa? A-ku suruh angkat? Tapikan … Ya Allah udah lah, batin Meera yang mengambil ponsel Tuannya dan perlahan menekan tombol hijau. Hingga suara wanita dari seberang membuat Meera terdiam.
“Ke Rumah Sakit dulu! Mama perjalanan kesana.”
Lima detik Meera membisu. Mau tak mau ia harus menjawab, sebelum Nyonya Besar ini marah.
“Baik, Nyonya. Saya akan mengantar Tuan ke Rumah Sakit,” jawab Meera.
“Tunggu. Suaramu … kamu bukan Ferdina?”
Meera menelan ludah. “Bu-kan, Nyonya. Saya pelayan di Villa. Maaf atas kelancangan saya menjawab panggilan dari Nyonya. Saya —“
“Sudah-sudah. Antar Abhimana ke Rumah Sakit terdekat. Bawa ponsel ini. Dan kabari saya secepatnya. Mengerti kamu?”
“Mengerti, Nyonya.”
...[tbc]...
1220 kata, Kak. Jangan lupa tekan like, Qaqaq! 😭🤍
Cowok kalau demam selain manja jadi dramatis, ya?
Dalem banyak artinya. Arti sopan dalam penghormatan kayak ke suami/orang tua di dalam lingkungan Jawa. Bisa berarti saya. Dalem juga bisa berarti rumah/tempat tinggal.
btw abhimata kocak banget si😂, cocok nih iya sama lu nai, jodoin bhi mereka, btw lagi udah akrab banget lagi sama dahayu romannya🤭
pesannya, yg nerimah sama faham beda ya bi🤭
btw iya juga ya, gak mungkin juga kan langsung jatuh cinta, untuk yg setara juga gak selalu apalagi ini beda kasta,, selalu menarik cerita KA Sinta😊, ok KA Sinta lanjut, penarikan ini jalan cerita bakal gimana,
ini demam kecapean+liat Meera kembenan🤦🤣
btw bhi baju begitu malah lucu bagus Anggunly, estetik, dan syantik 🥰 KA Shinta banget ini mah🤭
Abhimana semangat makin susah ini romannya buat deketin kalo begini ceritanya 🤭
tapi kita liat KA Shinta suka ada aja jalannya🤭😅