Anand dan Zoya, dua sepupu yang tumbuh bersama, tak pernah membayangkan bahwa hidup mereka akan berubah begitu drastis.
Anand dikhianati oleh kekasihnya—wanita yang selama ini ia cintai ternyata memilih menikah dengan ayahnya sendiri. Luka yang mendalam membuatnya menutup hati dan kehilangan arah.
Di sisi lain, Zoya harus menelan kenyataan pahit saat mengetahui kekasihnya berselingkuh dengan sahabatnya sendiri. Pengkhianatan itu membuatnya kehilangan kepercayaan pada cinta.
Dalam kehancuran yang sama, Anand memutuskan untuk menikahi Zoya.
Lantas apakah yang akan terjadi jika pernikahan tanpa cinta dilakukan? Akankah luka dapat disembuhkan dengan mereka menikah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 13
Mikha hampir tak mampu berdiri saat ia sampai di rumah. Wajahnya pucat, tubuhnya begitu lemas. Kakinya gemetar, dan sebelum ia sempat mencapai pintu, tubuhnya hampir ambruk.
"Nak!"
Neneknya, yang kebetulan melihat dari ruang tengah, segera menghampiri dan menangkap tubuh Mikha yang hampir terjatuh. Wajah neneknya dipenuhi kekhawatiran, kedua tangannya menopang Mikha dengan hati-hati.
"Mikha, kamu kenapa, Nak?!" suara neneknya penuh kepanikan.
Namun, alih-alih menjawab, Mikha tiba-tiba menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya bergetar, tangannya mencengkeram erat baju neneknya, seolah hanya dengan cara itu ia bisa tetap berdiri di dunia ini.
"Nenek…," suaranya bergetar di antara isakan, "harus ku apakan anak ini nek??"
Neneknya terdiam. Kata-kata itu seakan menghantamnya dengan begitu keras. Matanya membesar, tangannya refleks menggenggam bahu cucunya dengan erat.
"Astaghfirullah, Mikha… apa maksudmu, Nak?"
Mikha semakin menangis. Ia terisak di pelukan neneknya, tak mampu berkata-kata. Di dalam hatinya, ada kehancuran yang tak bisa ia bagi kepada siapa pun.
Beberapa saat kemudian, neneknya menarik napas panjang, berusaha tetap tenang meskipun tubuhnya yang mulai renta tak sanggup menerima kenyataan ini. Dengan lembut, ia mengelus kepala Mikha.
“Ini semua karena Yani, kan?” suara neneknya melemah, penuh kesedihan.
Mikha tidak menjawab, hanya semakin menangis.
Neneknya menghela napas berat. Yani, ibu kandung Mikha, memang keterlaluan. Ia tak pernah benar-benar menjalankan perannya sebagai seorang ibu. Sejak dulu, Yani hanya memikirkan dirinya sendiri. Namun, neneknya juga sadar, ia tidak bisa berbuat apa-apa. Kondisinya semakin tua, tubuhnya sering sakit-sakitan. Ia bahkan tak mampu melindungi cucunya sendiri.
Mikha melepaskan pelukan itu, menatap neneknya dengan mata yang memerah.
"Nek... aku nggak pantas untuk Anand," suaranya lirih, penuh kepedihan. "Dia pria yang baik, dia sempurna. Sedangkan aku…"
Mikha mencengkram dadanya sendiri, menahan isakannya yang semakin kuat.
"Aku ini perempuan kotor, Nek. Aku nggak pantas untuk Anand. Aku nggak pantas dicintai siapa pun."
Neneknya menatap Mikha dengan air mata yang menggenang di sudut matanya.
"Nak…," suara neneknya bergetar. "Kamu nggak kotor. Kamu adalah cucu nenek yang baik. Ini bukan salahmu… semua ini bukan salahmu, Nak."
"Aku begitu bodoh nek, aku nggak bisa melakukan apapun... Bagaimana anand memandang ku nek?"
Mikha terus menangis di pelukan neneknya.
Bagi Mikha, tak ada kata-kata yang bisa menghapus rasa jijik yang ia rasakan terhadap dirinya sendiri.
Di luar, langit mulai gelap. Malam turun perlahan, seiring dengan kegelapan yang semakin menelan hati Mikha.
Nenek kemudian bertanya dengan suara lirik, "Mikha? Apa kamu mau menggugurkannya?"
Mikha terdiam. Pertanyaan itu menggema di kepalanya, memukul keras setiap sudut pikirannya yang sudah hancur.
Menggugurkannya?
Kata itu menakutkan, tapi juga terasa seperti satu-satunya jalan untuk melupakan semuanya.
Tangannya perlahan menyentuh perutnya yang masih datar. Ia menatap kosong ke arah lantai, seolah mencari jawaban di sana. Air matanya kembali jatuh tanpa bisa ia kendalikan.
“Aku nggak tahu, Nek…” suaranya bergetar. “Aku cuma tahu, aku nggak bisa menerima ini. Setiap kali aku sadar ada sesuatu di dalam tubuhku… aku merasa jijik. Aku merasa... berdosa.”
Neneknya menatap cucunya dengan mata berkaca-kaca. Ia tahu, luka Mikha bukan sekadar rasa takut — tapi rasa trauma yang terlalu dalam untuk diucapkan. Ia menarik napas berat, mencoba menahan air matanya sendiri.
“Nak, dengerin nenek…” katanya lembut sambil menggenggam tangan Mikha. “Nggak ada seorang perempuan pun di dunia ini yang pantas disalahkan karena sesuatu yang bukan kehendaknya. Kamu nggak minta ini terjadi, kan?”
Mikha menggeleng lemah, bahunya bergetar. “Tapi tetap aja, Nek… setiap kali aku liat diriku di cermin, aku cuma liat orang yang rusak. Aku bukan Mikha yang dulu. Aku nggak bisa balik seperti dulu lagi…”
Neneknya menarik Mikha ke dalam pelukannya. Pelukan itu hangat, tapi penuh duka. “Kamu nggak rusak, Nak. Kamu cuma terluka. Dan luka itu… butuh waktu buat sembuh.”
Mikha menutup matanya, membiarkan dirinya menangis lagi. Air matanya membasahi bahu neneknya. Ia lelah. Lelah berjuang, lelah berpura-pura kuat, lelah menanggung semuanya sendirian.
“Aku takut, Nek…” suaranya hampir tak terdengar. “Aku takut kalau Anand tahu. Dia pasti bakal benci aku. Dia pasti ninggalin aku. Aku nggak bisa kehilangan dia.”
Nenek Mikha mengelus rambut cucunya dengan lembut. “Anand mencintaimu, Nak. Tapi ada hal-hal yang memang belum waktunya kamu ceritakan. Sekarang yang paling penting, kamu harus jaga dirimu dulu. Kamu nggak sendirian. Nenek masih di sini.”
Kata-kata itu seharusnya menenangkan, tapi di dada Mikha justru muncul perasaan sesak. Ia tahu, sekuat apa pun neneknya, wanita tua itu tak akan mampu melindunginya dari pandangan dunia. Dari bisikan orang-orang. Dari rasa malu yang mungkin akan menghancurkannya lagi nanti.
Ia menunduk, menatap testpack yang kini tergeletak di lantai, masih menunjukkan dua garis merah yang menghantui pikirannya.
Dua garis yang berarti kehidupan. Tapi bagi Mikha, dua garis itu juga berarti akhir dari segalanya.
“Kalau aku melanjutkan kehamilan ini…” Mikha berhenti sejenak, menarik napas yang berat, “anak ini akan tumbuh tanpa ayah. Aku nggak tahu harus bilang apa ke orang-orang. Semua bakal ngatain aku, Nek. Mereka bakal bilang aku perempuan murahan.”
Neneknya menggenggam tangannya lebih erat. “Biar mereka mau bilang apa, Nak. Yang penting kamu tahu kebenarannya. Kamu tahu siapa dirimu. Dunia boleh jahat, tapi kamu jangan ikut jahat sama dirimu sendiri.”
Air mata Mikha semakin deras. Ia ingin percaya pada kata-kata itu, tapi rasa sakitnya terlalu dalam. “Aku nggak kuat, Nek… Aku nggak tahu harus gimana…”
Neneknya memeluknya erat-erat. “Kamu kuat, Nak. Kamu cuma belum sadar aja seberapa kuatnya kamu.”
Mereka berdua terdiam cukup lama. Hanya suara jam dinding yang terdengar, berdetak perlahan seiring waktu yang seakan berhenti di rumah itu.
Akhirnya Mikha membuka mulut lagi, suaranya sangat pelan, nyaris seperti bisikan.
“Nek… kalau seandainya aku mempertahankan anak ini… apa nenek akan benci aku?”
Neneknya menatap Mikha dengan mata yang kini basah oleh air mata. Ia menggeleng pelan, lalu menyentuh pipi cucunya dengan lembut.
“Mana mungkin nenek benci darah daging sendiri? Kamu bukan satu-satunya yang terluka, Nak. Tapi percayalah, setiap hidup yang Tuhan kasih pasti punya alasan.”
Kata-kata itu menembus hati Mikha. Ia menunduk, terisak dalam diam. Entah kenapa, untuk pertama kalinya, ada sedikit kehangatan yang merembes di antara kehancurannya.
Ia masih takut. Ia masih benci pada dirinya sendiri. Tapi dalam pelukan neneknya malam itu, untuk pertama kalinya… Mikha merasa sedikit tidak sendirian.
Di luar, hujan mulai turun perlahan. Butir-butirnya jatuh menimpa jendela, seolah ikut menangisi kepedihan mereka.
Dan di tengah hujan malam itu, Mikha menatap langit gelap dengan mata yang sembab.
Mungkin Tuhan masih ingin memberinya kesempatan untuk memperbaiki segalanya.
Virzha sebenarnya mencintai istrinya cuman krn dibawah pengaruh ibu nya Ranika jadi kayak gitu, Anand juga cintanya terlalu besar buat Mikha dan effort nya dia gak main main, sedangkan Mikha? neneknya meninggal gara-gara si Mona dan Ranika, dia nggak cinta tapi demi neneknya dia cuman pengen balas dendam🥺🥺
eps 1 udh menguras tenaga sekale