Terbelenggu dalam pernikahan yang tidak diinginkan, mampukah pernikahan itu bertahan?
Bagaimana bila yang selalu berjuang justru menyerah saat keduanya sudah disatukan dalam ikatan suci pernikahan?
“Cinta kita seperti garis lurus. Bukan segitiga atau bahkan persegi. Aku mencintai kamu, kamu mencintai dia dan dia mencintai orang lain. Lurus kan?” ucap Yuki dengan tatapan nanar, air mata yang mulai merembes tertahan di pelupuk mata. “Akan lucu dan baru menjadi bangun datar segi empat bila sosok yang mencintai aku nyatanya dicintai orang yang kamu cintai.”
“Di kisah ini tidak ada aku, hanya kamu dan kita. Bukankah kita berarti aku dan kamu? Tapi mengapa kisah kita berbeda?” Ucapan lewat suara bergetar Yuki mampu menohok lawan bicaranya, membungkam bibir yang tiba-tiba beku dengan lidah yang kelu.
Ini adalah cerita klise antara pejuang dan penolak hadirnya cinta.
*
*
*
SPIN OFF Aara Bukan Lara
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hana Hikari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Stop dan Putar Haluan
Tuk.
“Minum dulu, Ki.” Ucap Ara, menyodorkan segelas es teh manis yang baru ia tuang dari botol tupperware ungu.
Gluk.. Gluk.. Gluk..
Meraih langsung gelas yang Ara sodorkan, tegukan kasar bukan menandakan Yuki sedang kehausan. Ia meminum air dingin itu penuh emosi, terburu-buru meredam panas di ubun-ubun yang justru menyakiti sesuatu yang tersimpan di relung hatinya.
“Aduh kepala ku.” Keluh Yuki sambil memegangi kepalanya yang tiba-tiba berdenyut.
“Kamu sih buru-buru minumnya. Cuaca panas gini kalau minum air dingin harus pelan-pelan, kaget kan badan mu.” Seloroh Ara dalam intonasi rendah, mencibir tingkah Yuki yang kesetanan.
“Tapi lebih sakit yang ada di sini, Ra.” Ucap Yuki sambil memegangi dadanya, menepuk perlahan hingga salah satu ujung jarinya menyentuh tulang selangka yang semakin menonjol.
“Ada masalah apa lagi sekarang?” Tanya Ara tanpa basa-basi, lebih baik langsung menanyakan duduk perkara yang menjadi nestapa.
“Kita seolah saling memiliki, nyatanya hanya sebuah pembodohan publik. Aku bingung harus gimana sekarang, mau kabur ke rumah yang dulu aku tempati juga gak bisa.” Keluh Yuki dengan sorot mata sendu yang jatuh pada seekor kucing, menggeliat riang di atas pasir, bergumul dengan beberapa debu yang terbang terkibas.
Menolehkan kepala dengan mulut yang terisi penuh bakwan, Dimas masih mengunyah sambil melontarkan pertanyaan pada Yuki. “Kennawpah?”
Glek..
Menelan utuh potongan bakwan yang belum terkunyah sempurna, Dimas sempat menyapu bersih gusi luarnya dengan lidah. Mengabsen gigi satu per satu agar tidak ada potongan kubis atau tauge yang menyangkut. “Kenapa gak bisa pulang? Tinggal naik motor cuuusss juga sampai rumah mu.” Ucap Dimas mengimbuhi pertanyaannya.
“Aku belum cerita ya?” Menatap Dimas dan Ara bergantian yang saling mengernyit heran, Yuki menghela nafas kasar. “Rumah itu ternyata belum dibeli sama Papa. Selama ini masih sewa bulanan dan karena aku udah nikah ya rumah itu ditarik aja.”
“Kenapa Om Gibran gak kasih rumah itu ke kamu? Kan suami mu bisa ganti bayar dari pada masih tinggal di rumah mertua.” Tanya Dimas kepo, alisnya saling tertaut menyiratkan keheranan.
“Ya bagus tinggal bareng mertua lagi. Jadi aku bisa skip perang yang bikin kepala pecah setiap hari.” Dengus Yuki kesal, tidak terbayang bila harus tinggal seatap hanya berdua dengan laki-laki kepala batu yang egois itu.
“Heh Yukicot yang kadang otaknya lebih lemot dari bekicot! Kalau kalian tinggal berdua, sering adu mulut atau adu jotos gak pasti berujung tambah runyam, bisa aja kalian kompak romantis lewat jalur brutal.” Cerocos Dimas sembari menoyor pelipis Yuki.
“Kamu cukup kumpulkan bukti dan jatuhkan dia kalau ada KDRT.” Menyeringai, Dimas berkata lagi dengan suara rendah yang mengerikan. Tidak tau kejelasan harapan Dimas pada hubungan rumah tangga Yuki yang membaik atau memang berniat menghancurkan laki-laki brengsek yang sudah berani menyakiti Yuki.
“Kalau menurut aku yang dibilang Dimas ada benarnya juga, Ki. Kecuali setelah kamu cukup berjuang tapi hatinya udah benar-benar mati, kamu lebih baik memilih stop dan putar haluan sebelum makin tersakiti. Lagi pula kita pasti dukung apapun pilihan kamu.” Tutur Ara lembut dengan sedikit khawatir, mengurungkan niatnya melahap sepotong pisang goreng.
“Endingnya juga aku pasti nyerah, saat ini aja dia udah menutup pintu hatinya buat aku. Dari sebelum nikah juga aku terus dekati dia sampai rela jadi pramusaji bahkan tukang pel di restoran.” Desah Yuki sembari menelungkup kan wajahnya ke dalam telapak tangan, menangkup dan meraup wajah dengan mata memanas yang lelah.
“Kalau laki mu udah benar-benar menutup pintu hati, kamu tetap harus semangat, Ki. Satu hal yang harus kamu ingat, jendela masih terbuka dan fentilasi masih ada.” Celoteh Dimas terdengar asal, namun percayalah raut wajahnya sangat serius tanpa unsur candaan.
“Dasar ngasal!!”
“Bullshit! (omong kosong!)”
Seruan kedua gadis itu terucap serentak, mendelik kesal pada satu sosok yang sama, tentu saja Dimas.
“Aku serius geng.. Bahkan kalau mau aku bantu lewat lubang curut, aku siap!” Ucap Dimas lagi disertai kekehan kecil dari bibirnya.
Menyorot dalam diri Yuki yang tampak rapuh di matanya, Dimas yakin ada cara lain yang pasti menggetarkan dinding keegoisan hingga runtuh. Dia juga seorang laki-laki yang egois, namun demi Nita dan si bungsu Edo, ia menepis rasa benci dan mengemis kasih pada ibu kandungnya. Maka dari itu Dimas berharap Yuki juga bisa meleburkan sikap egois suaminya.
Mungkin kisah mereka memang tidak sama, namun setelah rasa benci diantara sepasang manusia itu luntur, mungkin saja rasa cinta akan lebih terlihat jelas. Bukannya saling menyakiti dengan dalih membenci dan rasa cinta pada sosok yang tidak pantas untuk dimiliki.
“Tinggalin aja lah Dimas. Ayo, Ki, pergi aja. Udah mulai oleng otaknya.” Beranjak dari duduknya sembari menyambar piring berisi gorengan, Ara berkata pada Yuki sambil mengedikkan dagu ke arah pintu ruang tamu yang terbuka.
“Jangan lupa tutup pintu Ra. Hati-hati ada orang gila yang tambah oleng.” Ucap Yuki menimpali, meraih botol tupperware berisi es teh manis. Keduanya berlalu tanpa menggubris Dimas, menutup pintu dengan tawa tertahan.
“Heh.. Heh.. Mau pergi ke mana kalian? Asal masuk tutup pintu aja, ini rumah aku ya..” Teriak Dimas dari teras rumah, enggan beranjak mengejar keduanya. Dimas sangat yakin jika Yuki dan Ara pasti sebentar lagi menyudahi aksi akting tidak berguna itu.
Benar saja, tidak menunggu hitungan ke-10 suara knop pintu dibuka langsung terdengar. Kembali duduk santai menikmati gorengan dan es teh manis seolah tidak ada apa-apa yang terjadi.
“Bang Dimas..” Suara seorang gadis yang baru puber melengking dengan hentakan kaki yang mengiringi. Menarik atensi seluruh pasang mata yang sempat terhening menikmati camilan sederhana penuh kenikmatan.
“Kenapa Nit?”
“Belikan kertas karton buat tugas sekolah Nita, tadi mau beli lupa minta uang sama Abang. Besok di kumpul tugasnya.” Rengek Nita, adik pertama Dimas yang berusia 15 tahun.
“Kan di warung dekat sini ada yang jual karton, beli aja sendiri di situ.” Ucap Dimas bernada mengusir remeh sang adik.
“Beda Bang.. Kertasnya agak kilat gitu yang disuruh beli, bahannya lebih keras gak gampang melenyot kayak karton yang 2 ribu atau 5 ribu itu.” Ucap Nita masih dengan merengek.
“Memang harga berapa karton yang kamu mau?” Tanya Dimas yang akhirnya mengalah, bergaya mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya.
“Kata Bu Imel 30 ribuan.”
*
*
*
Bisa tebak kan yang mana Yuki, Ara dan pastinya jelas Dimas yang mana.
Ingat ya kata-kata dari Dimas.. Semangat pejuang pintu hati yang tertutup, karena jendela masih terbuka dan fentilasi masih ada.😂