Bekerja sebagai tim pengembangan di sekolah SMA swasta membuat Hawa Tanisha bertemu dengan musuh bebuyutannya saat SMA dulu. Yang lebih parah Bimantara Mahesa menjadi pemilik yayasan di sekolah tersebut, apalagi nomor Hawa diblokir Bima sejak SMA semakin memperkeruh hubungan keduanya, sering berdebat dan saling membalas omongan. Bagaimana kelanjutan kisah antara Bima dan Hawa, mungkinkah nomor yang terblokir dibuka karena urusan pekerjaan? ikuti kisah mereka dalam novel ini. Selamat membaca
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lel, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TERCIDUK
Hawa dan Amelia pun sepakat untuk mencari tahu, kecurigaan keduanya biar dikeep saja dulu, sebelum ada moment yang bisa membuktikan hubungan Pak Jayadi dan Bu Tera. Amelia sendiri tak menyangkan Bu Tera mau dengan guru tua itu. Kalau dibandingkan ya seperti anak dan bapak lah. Tapi Amelia yakin, Bu Tera hanya mengincar uang Pak Jayadi, beliau keturunan orang kaya, disebut tuan tanah juga. Hampir tiap tahun, motor beliau ganti. Bahkan sesekali bawa mobil juga. Sedangkan Pak Jayadi, meski sudah tua begitu aura gantengnya memang terlihat, dan bisa dibilang tua hanya umur berlaku pada Pak Jayadi. Hawa sendiri saat ke gedung SMA sering melirik gerak-gerik mereka, hanya saja belum rezeki saja. Mereka guyon bersama guru lain, atau sekedar berangkat ke kelas bareng itu saja. Entah kalau di luar, yang jelas saat di lingkungan kerja, mereka tampak sebatas rekan kerja saja.
Hari ini Hawa lembur, Bima mengajak untuk uji coba akun ytb, katanya dia sudah membuat video tentang eksperimen sederhana. Mereka bekerja di kantor, agar tak ada pikiran macam-macam bila Hawa lembur di ruangan tertutup Bima. Terlebih di kantor masih ada Pak Zul yang sedang menunggu pemborong untuk renovasi area kantin. Bima minta di setiap kantin ada wastafel beserta sabun, agar anak-anak sadar kalau makan harus cuci tangan dulu, plus tiap jenjang harus punya area hijau. Oleh sebab itu Pak Zul juga ikut lembur untuk menunggu pemborong yang katanya bisa setelah jam 4 sore.
"Voice overnya pakai AI? Kenapa gak sendiri saja, Pak? Kan lebih natural, intonasinya juga lebih smooth, gak kayak AI yang kaku."
"Siapa yang mau voice over, kamu?" tanya Pak Bima, karena pasti Hawa akan mengomel untuk kesekian kalinya bila ada tambahan job desk.
"Ya kalau gak ada kerjaan, bisa!"
"Heh, namanya kerja pasti ada kerjaan lah, gimana sih. Ini kan masih uji coba, gak pa-pa. Jadi video yang diupload kita bisa analisis, soal jam upload, hook dan juga interaksinya. Dari upload an itu bisa diambil keputusan untuk membuat tim konten atau cukup kamu sama tim Humas," ujar Bima ketus, eh memang gaya ngomongnya begitu. Hawa sudah kebal juga.
Keduanya pun berlanjut diskusi tentang taggar, berikut deskripsi untuk setiap video. Ada beberapa kata kunci yang harus ditulis dalam deskripsi sebagai SEO Key, untuk menarik audiens lebih banyak. Hawa mengikuti arahan Bima, ternyata soal pemanfaatan media sosial, Bima juga mumpuni.
Hawa pun dibiarkan sendiri, kini Bima beralih bersama Pak Zul dan sudah ada pemborong. Bima pun mengutarakan poin-poin penting yang akan dikerjakan, dan si pemborong jelas paham arahan tersebut. Bahkan si pemborong sangat senang ada diskusi seperti ini dengan atasan langsung, karena Pak Mahesa sebelumnya pasrah apa kata Pak Zul, dan Pak Zul tipe orang yang patuh saja pada pemborong. Mereka bubar setelah ada kesepakatan untuk bekerja dan nominal upah yang disepekati, Pak Zul pun pamit undur diri setelah pemborong pulang. Sudah jam 5 lewat juga.
"Wa, saya balik dulu," pamit Pak Zul dan diangguki Hawa, dirinya pun sudah memasukkan laptop, mau pulang juga. Namun Bima memintanya untuk menunggu sebentar, bareng ke parkiran katanya.
Area yayasan sudah sepi, Pak Satpam juga pasti stand by di gate saja. Hawa tiba-tiba teringat kejadian Pak Jayadi dan Bu Tera, ia pun meminta pendapat Bima sebagai atasan, tapi Hawa tetap melindungi identitas mereka.
"Bim," panggil Hawa yang masuk ke ruangan Bima karena laki-laki itu tak kunjung keluar, padahal sudah mau maghrib. Ternyata Bima masih beberes meja kerjanya.
"Apa?" tanyanya, masih fokus merapikan kertas lalu memasukkan laptop ke dalam tas kerjanya. Hawa sudah duduk di kursi dan menatapnya serius.
"Aku mau tanya, dengerin sampai aku selesai ngomong, dan jangan memotong." Hawa tampak serius, hingga Bima menghentikan aktivitas beberesnya.
“Menurut kamu kalau ada yang cinlok di yayasan atau sekolah gimana?” tanya Hawa serius, jelas hubungan Pak Jayadi dan Bu Tera harus diperjelas, sebelum merembet dan diketahui banyak orang, apalagi terciduk oleh siswa. Mereka sebagai guru tentu harus menjadi panutan sikap dan tutur kata bagi para siswa.
“Hah? Kamu nembak aku, Wa?” tanya Bima tiba-tiba, Hawa langsung mengerutkan dahi. Kenapa jadi Bima berpikir gini?
“Gue boleh nonjok lo gak, Bim. Dih,” sewot Hawa. Gak menyangka Bima langsung menyimpulkan begitu. Memang Hawa tidak menyebutkan siapa, bukan berarti Hawa yang dimaksud dalam kasus ini.
“Lagian kamu tanya di luar pekerjaan, wajarlah aku menyimpulkan seperti itu. Terlebih kamu jomblo,” semakin hari Bima semakin sering menyenggol status Hawa, menyebalkan sekali.
“Yang aku tanyakan gak harus berhubungan dengan aku langsung kali, Bim. Ck, gak asyik ah. Aku pulang,” ujar Hawa kemudian, namun baru beranjak lengannya ditahan oleh Bima.
“Aku bilang kan mau bareng sama kamu. Area ini sudah sepi, aku takutlah,” spontan Hawa ngakak. Ganteng dan manly ternyata takut hantu. Keduanya pun jalan beriringan di waktu senja menuju parkiran, Bima tiba-tiba menyodorkan ponselnya pada Hawa.
“Tulis nomor rekening kamu!” Hawa langsung berhenti, ya memang tadi siang gaji sudah masuk, kenapa tiba-tiba Bima meminta nomor rekeningnya.
“Buat apa?”
“Selama ini kamu garap program kerja baru gak ada hitungannya kan, belum resmi juga masuk anggaran, jadi aku bayar kamu dari uang pribadiku. Gak mungkin aku sebagai atasan memperkerjakan orang tanpa digaji juga, mana kamu sering lembur seperti ini.”
“Beneran?” tanya Hawa memastikan dengan wajah berbinar.
“Iya buruan!” ucap Bima sembari menyodorkan ponsel lagi, Hawa pun mengambil ponsel dan membuka mbankingnya, salin nomor rekening.
“Lagian kenapa gak chat sih, ribet begini.”
“Lupa situ gue blokir!”
“Kan bisa pakai ponsel pengembangan?”
“Itu ponsel untuk yayasan, jangan sampai ada jejak digital saat urusan pribadi di ponsel itu.”
“Ya tapi kan, ini masih urusan kantor juga.” Bima menyentil kening Hawa pelan.
“Lupa kalau program ini belum resmi, dikira aku transfer pacar lagi.”
“Dih, gak gitu juga konsepnya!” omel Hawa, masih berdiri menunggu Bima yang sedang proses transfer.
Hawa melongo dengan nominalnya, 5 juta saat Bima menunjukkan proses transfer sukses. Tak mau mengirim bukti transfer, jadi langsung ditunjukkan saja. “Bim, kebanyakan!” protes Hawa, ia merasa kerja tentang program baru itu masih dalam batas jam kerja, toh lembur gak sampai malam, paling banter maghrib, tapi dikasih upah oleh Bima sebanyak ini.
“Anggap saja uang jajan buat pacar, udah ah. Ayo buruan pulang, bukannya parkiran motor serem, ya!” ucap Bima yang memang ketakutan dengan suasan sepi lorong menuju parkiran yayasan yang menyatu dengan parkiran guru SMA.
Keduanya berjalan agak cepat, namun saat mendekati parkiran tepatnya di bangku antara parkiran dan musholla SMA, terdapat dua orang yang sedang bercumbu mesra. Ciuman bibir di bawah tiang lampu, Hawa dan Bima melotot seketika. Bahkan Bima langsung menutup mata Hawa dengan telapak tangan. “Kita jalan pelan saja, mungkin mereka tak melihat kita,” ucap Bima sembari menggandeng Hawa dan segera berjalan ke arah parkiran. Hawa diminta untuk pulang dulu. “Tuntun motor sampai gate, aku mau melihat mereka sejauh apa,” ujar Bima sembari mengeluarkan motor Hawa. Gadis itu mengangguk meski masih shock berat. Tak menyangka mereka sudah sejauh itu, bahkan tangan Pak Jayadi tadi sudah mulai merabah ke dada Bu Tera, tangan Bima sih menghalangi. Eh.
Bima kembali ke area mereka dengan jalan sangat pelan, dan menyenderkan tubuhnya di dinding menatap lurus kea rah mereka sembari bersedekap, bahkan Bima harus menahan gejolaknya sebagai pria dewasa melihat adegan ciuman tersebut, terlebih tangan Pak Jayadi sudah merangkul pinggang Bu Tera, baru saat tangan Pak Jayadi hendak membuka blazer Bu Tera, Bima menginterupsi.
“Ehem!” ujar Bima keras. Keduanya langsung berhenti dan Bu Tera segera memalingkan muka saat menoleh ke sumber suara, Pak Jayadi langsung menunduk juga. “Besok temui saya di ruangan kepala sekolah saat jam pertama,” ujar Bima tegas, lalu pergi meninggalkan keduanya, dan menuju parkiran.
“Duh gimana ini,” Tera kebingungan namun Pak Jayadi membelai pipinya untuk tenang.
“Biarkan uangku berbicara nanti,” ujar Pak Jayadi sembari menyentuh bagian depan Bu Tera sekaligus meremasnya. Tera mendesah, ia pun menarik tengkuk Pak Jayadi dan meneruskan cumbuan mereka.
Bima yakin keduanya masih berlanjut karena Bima menunggu keduanya tak segera keluar dari parkiran, ia pun menyuruh satpam ke area parkiran dan musholla sepertinya masih ada orang. “Jangan lupa bawa ponsel ya, Pak!” ucap Bima sembari memberikan selembar uang merah lalu keluar dari gate.
Dua satpam yang bertugas shift malam pun segera menuju Lokasi yang dituju Bima, satu bawa ponsel, satu lagi bawa pentung. Area parkir dan Musholla memang terang karena sengaja lampu untuk area umum dinyalakan sampai pagi.
“Lah Pak Jayadi,” panggil salah satu satpam, baru keduanya berhenti dan Pak Jayadi berdehem, begitu juga dengan Tera langsung ngibrit ke area parkiran. Sial.
Auto bawa sperangkat alat solat sekalian akhlak nyaa
awokwook /Curse/
Hawa: ga beLagak tapi belagu/Slight/
reader: bim, ci pox bim ampe engappp/Grin//Tongue/
maaf aq nyaranin jahat 🤭🤭🤭