Tiba-tiba pernikahan Raka dan Arumi berakhir setelah 1001 malam berlalu.
“Aku sudah menjalani tugas sebagai suamimu selama 1000 hari bahkan lebih dua hari. Sekarang waktunya mengakhiri pernikahan palsu ini.”
Arumi yang sedang merapikan selimut tertegun, berbalik badan lalu menatap lekat kepada Raka yang tengah berjalan ke arahnya.
“Tidak adakah sedikit pun percikan cinta selama kita bersama ?” tanya Arumi dengan wajah sendu.
Raka tidak menjawab hanya menyerahkan amplop cokelat kepada Arumi yang bergetar menerimanya.
“Jangan mempersulit !” tegas Raka dengan tatapan tajam yang menyakitkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bareta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melanggar Kesepakatan
Begitu melihat Raka dan Arumi keluar kamar beraama-sama, Thalia yang masih menyimpan amarah sejak semalam menangkap ada sesuatu yang tidak beres terutama pada Arumi.
Bukan hanya wajahnya yang merona seperti memakai blush on, Arumi kelihatan salah tingkah setiap berdekatan dengan Raka sedangkan si pria senyum-senyum tapi tidak mau dilihat orang.
Begitu melihat ada kesempatan, Thalia langsung menyelinap masuk ke kamar Arumi bahkan mengunci pintunya.
”Mau apa kamu kemari ?” tanya Arumi yang terkejut melihat Thalia sedang berdiri di pintu kamarnya.
“Kamu sudah melanggar kesepakatan !” sahut Thalia.
“Kesepakatan apa ?”
“Kamu sudah setuju menjaga jarak dengan Raka supaya aku lebih leluasa mendekatinya dan membuat Raka tidak bingung dengan perasaannya sendiri.”
“Ooohh itu,” sahut Arumi santai. “Semalam Raka yang memaksa karena ternyata dia merasa tidak nyaman denganmu.”
“Seharusnya kamu tidak mengiyakan karena kejadian semalam bisa membuat usahaku selama 3 minggu jadi sia-sia, semuanya kembali ke titik nol lagi.”
“Raka tidak akan memintaku kembali tidur bersamanya kalau kamu berhasil meyakinkan dia bahwa kamu memang istrinya. ,” sahut Arumi sambil menarik satu sudut bibirnya.
“Kalian berdua seharusnya berterima kasih karena mendapat kesempatan untuk melakukan uji coba menjalani hidup sebagai suami istri tanpa tanggungjawab apa-apa dan semalam kejadian semalam memberikan kesimpulan kalau Raka tidak cocok denganmu,” sinis Arumi.
“Karena kamu sengaja membuat Raka hanya melihat kekuranganku !” bentak Thalia.
“Coba sebutkan kapan aku sengaja menjerumuskanmu supaya terlihat buruk di mata Raka ?” tantang Arumi ikut bertolak pinggang di hadapan Thalia.
“Terlalu banyak untuk dibuka satu persatu !” elak Thalia yang sejujurnya bingung memberikan jawaban.
“Aku ingin memberikan kabar baik untukmu,” ujar Arumi semakin mendekati Thalia.
“Kamu boleh pergi dan kembali pada kehidupanmu tsnpa harus menunggu Raka sembuh. Mulai besok semua perjanjian kita berakhir. Aku akan minta Sapta mengurus surat-suratnya.”
Mata Thalia menyipit, menatap Arumi penuh selidik karena ia tidak bisa langsung percaya dengan yang dikatakan Arumi barusan.
“Lalu bagaimana dengan masalah ingatan Raka yang hilang ?”
“Aku sudah tidak memerlukanmu lagi. Raka sudah jatuh cinta padaku dan sepertinya ia sudah tidak punya perasaan apa-apa lagi padamu.”
“Ternyata kamu perempuan yang sangat licik,” sinis Thalia. “Kamu tega memanfaatkan kondisi Raka untuk membuatnya jatuh cinta padamu.”
“Mungkin,” sahut Arumi sambil mengangkat kedua bahunya
“Sekarang tolong keluar dari kamarku karena aku harus bersiap-siap.” Arumi berjalan ke arah pintu dan membukakannya untuk Thalia.
“Aku yakin Raka hanya terbawa suasana, perasaanya padamu tidak akan bertahan lama dan aku tidak sabar menunggu akhir cerita kalian.”
Arumi hanya tersenyum dan memberi isyarat supaya Thalia segera keluar.
****
Raka dibuat kesal karena Arumi mengabaikan ucapannya yang melarang pergi bersama Sapta.
“Maafkan saya Pak Raka, urusan saya dengan Sapta belum selesai dan tidak mungkin dibatalkan.”
Setelah Arumi pergi, Raka langsung mengurung diri di kamarnya. Seperti biasa Raka memilih duduk di depan jendela yang menghadap ke taman sekaligus jalan utama.
Kira-kira menjelang makan siang, pintu kamarnya diketuk dan sebelum Raka menjawab, Thalia sudah membuka pintu dan menghampiri Raka.
“Mau makan siang bersamaku ?” Thalia tersenyum manis dengan gaya manjanya.
“Aku belum lapar.”
“Makanlah dulu, Arumi sudah khusus masak makanan kesukaanmu dan setelah itu……” Thalia sengaja menggantung kalimatnya namun hanya membuat Raka melirik.
“Aku bisa membawamu ke tempat Arumi dan Sapta pergi.”
Perhatian Raka terusik, matanya menyipit untuk melhat keseriusan Thalia.
“Aku tidak bohong. Makanlah dulu supaya kamu punya kekuatan untuk menghadapi apa yang disembunyikan Arumi.”
Raka tidak menjawab, dahinya berkerut-kerut seperti sedang berpikir. Setelah beberapa detik, pria itu kembali menatap Thalia.
“Masalah Arumi dan Sapta bukan urusanku.”
Thalia terkekeh, “Kamu tidak mau tahu bagaimana Arumi bisa kenal dengan Sapta, teman kantormu dan bagaimana mereka berdua bisa begitu akrab ? Aku yakin Arumi tidak akan menjawab sekalipun kamu mengancamnya.”
Raka masih berusha tidak tergoda dengan tawaran Thalia meski hatnya mulai goyah.
“Apa kamu benar-benar menganggap aku sebagai istrimu ?” Thalia mulai memasang wajah sedih.
“Sebagai istri, mana mungkin aku berbohong apalagi berniat menjerumuskan suamiku sendiri. Tujuanku ingin membuka matamu dan jangan sampai kamu merasa kecewa setelah sadar kalau Arumi banyak berbohong padamu.”
Raka menghela nafas, “Baiklah ! Kamu tahu resikonya kalau ternyata ucapanmu hanya fitnah.”
“Tentu saja sayang,” sahut Thalia sambil mendorong kursi roda Raka.
Jangan berpikir kamu bisa menekanku lagi Arumi. Mari kita lihat apakah Raka masih peduli dan terpesona denganmu setelah dia mengetahui kalau selama ini kamu sudah membohonginya.
Thalia menepati janjinya, membawa Raka pergi setelah makan siang. Meski berusaha kelihatan tenang, Thalia yang sudah mengenal karakter Raka bisa melihat bagaimana pria itu sudah tidak sabaran sampai di tempat tujuan.
Setelah menempuh perjalanan sekitar 45 menit, mobil MPV mewah milik Thalia masuk ke area parkiran perusahaan milik Arumi.
“Kenapa kita kemari ? Apa Arumi juga bekerja di sini ? Aku tidak ingat punya teman sekantor bernama Arumi,” tanya Raka begitu melihat bangunan gedung yang mereka datangi.
“Jadi kamu masih ingat tempatmu bekerja ?”
“Ya ! Aku juga masih ingat kalau Sapta dan Bimo adalah teman satu kantor tapi beda divisi. Aku tidak menyangka mereka berdua akan datang membesukku di rumah sakit.”
“Hhhhmmm…… Sebentar lagi kamu akan tahu alasannya.”
Begitu sampai di lobi, seorang sekuriti mendekati mobil dan terkejut saat melihat Raka di dalamnya.
“Pak Raka, apa kabarnya ?”
Meski bingung dan canggung, Raka tersenyum dan menganggukan kepala. “Sudah lebih baik.”
Seorang sekuriti lainnya ikut menghampiri dan sama seperti yang pertama, pria baya itu terkejut saat melihat Raka lalu memberi hormat sampai membungkukkan badan.
Raka semakin bingung saat ia melintas semua orang menyapa dengan penuh hormat seakan ia orang penting di situ. Bahkan salah seorang resepsionis menawarkan diri mengantar keduanya ke atas.
“Tidak usah !” tolak Thalia dengan wajah sombong. “Saya masih bisa sendiri mengurus pak Raka.”
Saat di dalam lift, Raka mencoba mengingat-ingat sesuatu yang membuat semua orang bersikap seperti itu padanya tapi ingatannya tetap pada statusnya sebagai karyawan biasa di perusahaan.
Pintu lift terbuka di lantai 5. Seorang perempuan muda yang menempati meja resepsionis buru-buru beranjak, menyapa Raka sambil menahan pintu lift untuk memudahkan Thalia mendorong kursi roda keluar.
Dengan mata melotot Thalia memberi isyarat supaya perempuan muda itu menyingkir.
“Kita mau kemana ?”
“Kamu bisa melihatnya langsung.”
Mereka tiba di sebuah ruangan dan seorang perempuan berusia sekitar 30 tahun menoleh begitu mendengar Thalia berdehem.
Mata perempuan itu membola karena tidak menduga akan melihat Raka di atas kursi roda. Buru-buru ia bangun mendekati Raka.
“Selamat siang Pak Raka, kebetulan ibu Arumi….”
“Minggir ! Saya mau membawa Pak Raka masuk,” perintah Thalia dengan mata melotot.
“Tapi di dalam sedang ada tamu.”
Thalia tidak peduli, ia terus mendorong kursi roda bergerak maju.
“Buka pintunya !”
Terpaksa perempuan berkacamata itu mengetuk lalu membuka pintu ruangan.
“Silakan.”
Begitu pintu terbuka, empat orang yang sedang duduk di sofa menoleh.
Mata Thalia pun membola melihat sosok pria baya yang langsung berdiri dan menatap tajam kepadanya.
“Mau apa kamu kemari !”
“Daddy,” desis Thalia.
raka msih shat tp udh d blng mninggal....mndingn blik lg deh kl msih sling cnta,jgn gngsi yg d gdein...
stlh psah,bru mrsa khilangn....cma bs "s'andainya"....tp ingt,dlu kn raka bnci bgt sm arumi....mlah lbh mlih s ulat bulu drpd istrinya....kl skrng mnysal,nkmti aja....😝😝😝
ga sbr nunggu mreka dpt hkumn stimpal....
Arumi msih pduli trnyta....enth krna msh punya prsaan atw krna hti nurani....
bkannya tnggung jwb,mlah kbur...
enk bgt dia bs bbas skian thn,sdngkn kluarga krban mndrta krna khilngn orng2 yg d cntainya......mga dia jg mrasakn skit yg sma....