Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.
Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 25. KONFRONTASI DIAMBANG PINTU
..."Dalam setiap luka yang belum sembuh, ada tangan yang berani bertahan, bukan untuk menyelamatkan, tapi untuk tetap di sisi saat dunia mulai runtuh."...
...---•---...
Pagi itu dimulai seperti biasa. Terlalu biasa, sampai Doni seharusnya sadar ada yang akan terjadi. Dari pengalamannya, ketenangan sempurna selalu jadi pertanda badai.
Doni sedang membuat croissant dari nol untuk sarapan, proses yang butuh tiga hari. Hari ini tahap terakhir: memanggang. Aroma mentega dan pastry yang baru keluar dari oven memenuhi dapur hangat, kaya, sedikit manis dengan lapisan garam yang samar. Menenangkan. Tapi entah kenapa, suasana pagi ini terasa terlalu tenang.
Naira duduk di meja dapur dengan secangkir kopi. Rambut diikat asal jadi messy bun, cardigan kebesaran hampir menutupi tangannya. Ia meringkuk di kursi, dagu bertumpu di lutut, mata setengah terpejam di balik uap kopi. Mereka tidak banyak bicara. Tidak perlu. Keheningan itu nyaman, salah satu kemewahan dari hubungan yang masih baru tapi sudah terasa akrab. Sesekali Naira menyeruput kopi. Sesekali Doni mengecek oven. Sesekali mata mereka bertemu, lalu saling tersenyum kecil.
Pukul tujuh pagi, saat croissant baru keluar dengan warna keemasan sempurna, bel pintu berbunyi.
Nada tinggi. Menusuk. Memecah keheningan pagi seperti kaca yang retak.
Doni mengangkat kepala. Tidak biasa. Tidak ada yang datang sepagi ini. Paket biasanya siang. Ratna biasanya jam sembilan.
Mereka saling pandang.
Naira turun dari kursi. Berjalan ke arah pintu dapur yang menghadap ruang depan. Cardigan menyapu lantai saat ia bergerak.
Doni mengikuti.
Mereka berhenti di ambang pintu, melihat ke ruang depan.
Pak Hendra membuka pintu.
Dan di ambang sana, berdiri seseorang dengan postur yang Naira kenal terlalu baik. Bahu lebar. Jas mahal. Senyum yang tidak pernah sampai ke mata.
Udara di paru-parunya menghilang.
Darahnya membeku.
Rendra Wiratama.
Tapi kali ini dia tidak sendirian.
Di belakangnya, dua laki-laki membawa kamera, lensa hitam besar yang berkilat di bawah cahaya pagi. Satu wanita memegang alat perekam, lampu merah menyala. Suara samar klik shutter dan bisikan cepat kru terdengar dari luar.
Media.
Dia datang dengan media.
Rahang Doni mengeras. Tangannya mengepal di sisi tubuh, buku-buku jari memutih.
"Selamat pagi, Pak Hendra. Aku ke sini mau jenguk istriku," kata Rendra dengan senyum menawan yang tidak sampai ke mata. Suaranya seperti madu di atas racun. "Oh maaf, mantan istri. Lupa kami sudah cerai."
Suara itu.
Naira pernah percaya suara itu. Pernah mencintainya. Sekarang suara itu seperti silet di kulitnya: tipis, dingin, meninggalkan bekas yang tidak terlihat tapi tidak pernah hilang.
"Pak Rendra, Anda tidak punya janji. Nona Naira tidak berencana menerima tamu," kata Pak Hendra tegas, mencoba menghalangi.
"Janji? Untuk datang ke rumah yang dulunya juga rumahku? Rumah yang aku bayar uang mukanya?"
Rendra menaikkan suara, jelas untuk kamera.
"Aku cuma mau pastikan Naira baik-baik saja. Aku dengar dia mengurung diri total, tidak mau ketemu siapa pun. Sebagai orang yang dulu menikah dengannya, aku khawatir untuk kesehatan jiwanya."
Kuku Naira memutih di lengan Doni. Napasnya pendek, cepat, seperti orang yang baru berlari. Tubuhnya gemetar, halus tapi terus-menerus, seperti benang yang ditarik terlalu kencang. Cardigan tipis tidak cukup melindunginya dari dingin yang tiba-tiba merayap dari luar.
"Napas," bisik Doni pelan tanpa mengalihkan pandangan, suaranya hampir tidak terdengar. "Tarik dalam, pelan. Dia tidak bisa masuk tanpa izin. Pak Hendra yang urus."
Tapi sekuat apa pun Pak Hendra, dia hanya supir sekaligus satpam Naira. Tidak dilatih menghadapi manipulator licin dengan media di belakangnya.
"Pak Rendra, mohon pergi atau saya panggil polisi," kata Pak Hendra.
"Polisi? Untuk apa? Aku tidak melanggar hukum. Aku cuma jenguk mantan istriku."
Rendra berbalik ke kamera dengan ekspresi sedih yang sempurna. Seperti aktor yang sudah hafal naskah.
"Lihat, ini yang aku maksud. Naira benar-benar diisolasi. Dia dicuci otak untuk berpikir aku adalah musuh. Padahal aku cuma mau bantu."
Getaran di tubuh Naira makin keras. Napasnya tersengal. Jantungnya seperti mau meledak.
"Pak Rendra, Anda sudah cukup bicara. Silakan pergi."
Suara baru terdengar dari tangga. Ratna turun cepat, blazer sudah rapi meski baru jam tujuh. Ia jelas mendengar keributan. Heels-nya mengetuk lantai marmer dengan ritme tegas.
"Anda melanggar batas dengan datang tanpa izin."
"Batas?" Rendra tertawa kering. "Tidak ada surat pembatasan, Bu Ratna. Cek saja. Kami bercerai baik-baik. Tidak ada larangan hukum untuk aku datang."
Ratna berhenti di bawah tangga. Wajahnya berubah tipis. Ia tahu Rendra benar. Tidak ada surat perintah pembatasan karena Naira tidak pernah lapor. Semuanya ia simpan rapat demi citra. Rahangnya mengeras.
"Tapi Anda tetap tidak diterima di sini," kata Ratna dingin. "Ini properti pribadi. Nona Naira pemiliknya. Anda penyusup."
"Aku cuma mau bicara. Lima menit saja. Kalau dia bilang tidak mau, aku pergi."
Rendra melangkah lebih dalam, melewati Pak Hendra dengan percaya diri. Sepatu kulit mahalnya menggema di lantai.
"Naira! Sayang, aku tahu kamu di sini. Cuma lima menit."
Di dapur, napas Naira mulai tidak terkendali. Tangan gemetar, mata melebar, dada naik turun cepat. Suara Rendra menembus dinding seperti asap beracun, memenuhi setiap sudut, mencekik.
"Naira, lihat aku."
Doni berbalik, menangkup wajahnya dengan kedua tangan, paksa kontak mata. Telapak tangannya hangat, stabil.
"Kamu tidak harus keluar. Ratna dan Pak Hendra bisa urus."
"Tapi dia tidak akan pergi sampai lihat aku." Suaranya tinggi, panik, napas tersengal di antara kata-kata. "Dan kalau itu masuk berita, semua orang tahu aku di sini."
"Oke. Dengar aku." Doni berpikir cepat, ibu jarinya mengusap pipi Naira pelan untuk menenangkan. "Aku yang keluar. Aku bilang kamu lagi sakit. Aku koki pribadimu, cukup terpercaya."
Sebelum Naira bisa menjawab, Doni sudah keluar ke ruang depan.
Semua mata beralih ke dia: Pak Hendra yang lega, Ratna yang waspada, Rendra yang menilai, dan kamera yang langsung menyorot wajah baru dalam drama ini. Lampu kamera menyala lebih terang. Mikrofon diarahkan ke arahnya.
Udara dingin dari pintu yang terbuka merayap masuk, mengusir kehangatan dapur. Aroma croissant yang tadi menenangkan sekarang terasa asing di tengah ketegangan ini.
"Maaf, tapi Nona Naira tidak bisa terima tamu." Suara Doni tenang meski amarah mendidih di bawah permukaan. Napasnya terkontrol, tapi tangannya masih mengepal. Buku-buku jarinya memutih.
"Dan kamu siapa?" Rendra menatap dari ujung kaki ke kepala, sengaja memancing untuk kamera padahal Rendra sudah mengenal dan berjumpa dengan Doni.
"Koki pribadi Nona Naira. Dia sedang tidak enak badan dan butuh istirahat."
"Koki pribadi."
Rendra mengucapkannya dengan nada mengejek, bibir menyunggingkan senyum tipis.
"Oh iya, pemenang undian yang beruntung. Pilihan ekonomis."
Ia maju selangkah, sengaja menekan. Rendra sedikit lebih tinggi dan besar, jelas terbiasa mendominasi lewat kehadiran fisik.
Doni tidak mundur.
Bahu menegang, tapi kakinya tetap kokoh. Tahun-tahun di dapur panas dengan tekanan dan ego besar membuat Doni tahan banting. Ia menatap mata Rendra tanpa berkedip.
"Nona Naira butuh istirahat. Anda bukan bagian dari itu," kata Doni datar.
"Lucu juga, koki pribadi yang jadi juru bicara." Senyum Rendra sinis. "Atau kamu lebih dari sekadar koki?"
Bahaya.
Doni tahu dia sedang dipancing.
"Saya cuma jalankan tugas, termasuk pastikan Nona Naira tidak terganggu," jawabnya hati-hati, suara tetap tenang meski jantung berdegup keras.
"Pak Rendra, tolong pergi," sela Ratna cepat.
"Tidak sampai aku dengar dari Naira sendiri!"
Rendra menaikkan suara. Menatap kamera dengan ekspresi dramatis.
"Naira!"
Sunyi.
Hanya terdengar desiran angin dari luar dan klik kamera yang terus merekam.
"Aku tahu kamu bisa dengar!" Suaranya memburu sekarang, mencoba menembus ke dalam rumah. "Semua orang khawatir! Kamu menghilang dari publik. Tidak sehat!"
Tidak ada jawaban.
Rendra tersenyum miring ke kamera, seperti aktor yang sudah hafal adegan ini.
"Lihat? Dia bahkan tidak bisa bicara. Siapa yang tahu apa yang terjadi di balik pintu ini. Mungkin dia dikontrol, mungkin..."
"Cukup."
Suara Doni tajam, lebih keras dari yang dia maksud. Napasnya sedikit memburu sekarang. Urat di lehernya terlihat.
"Anda tidak punya hak bicara tentang dia." Doni melangkah maju. "Dan Anda tahu persis kenapa."
Mata Rendra menyipit. Topeng sempurnanya retak sesaat.
"Hati-hati, koki. Aku bisa membuat masalah untuk kamu. Untuk kontrak kamu. Untuk restoran kecil yang bangkrut itu."
Sesuatu mengencang di dada Doni. Bukan takut. Lebih dalam dari itu amarah yang sudah lama ia kubur.
Ah, di situ wajah aslinya muncul. Manipulatif, kejam, dan haus kendali.
"Ancaman? Di depan kamera?"
Suara Doni keluar lebih tenang dari yang ia rasakan. Tangannya yang tadinya mengepal perlahan rileks. Ia menatap kamera yang masih merekam, lampu merah menyala terang.
Rendra tampak sadar kebodohannya. Topengnya kembali dengan cepat, terlalu cepat untuk terlihat alami.
"Bukan ancaman, cuma peringatan. Orang-orang di industri ini saling kenal. Kami lindungi satu sama lain. Terutama dari orang luar yang mungkin memanfaatkan."
"Satu-satunya yang memanfaatkan orang lain adalah Anda."
Doni mendekat selangkah, menurunkan suara tapi tetap cukup keras untuk mikrofon menangkap. Rahangnya kencang, bahu tegak. Ia tidak pernah merasa lebih berani sekaligus lebih takut.
"Anda tidak bisa kontrol Naira lagi. Dia bebas. Dan kalau Anda coba sakiti dia lagi, dengan cara apa pun, Anda akan berurusan dengan lebih dari sekadar koki pribadi."
Rendra menegang.
Sekilas muncul tatapan yang sama seperti yang dulu Naira ceritakan. Tatapan penuh kekerasan yang tertahan, mata yang menyempit, rahang yang mengeras. Tangannya bergerak sedikit, seperti refleks ingin menyerang.
Diam.
Kemudian sadar.
Tapi ada kamera. Ada saksi. Dia tidak bisa berbuat apa-apa.
"Kita lihat saja," katanya akhirnya, suara seperti es. "Kita lihat berapa lama kamu bisa pertahankan ilusi ini."
Dia menatap kamera, mengatur ekspresinya kembali menjadi pria yang khawatir.
"Seperti yang kalian lihat, aku hanya ingin pastikan mantan istriku baik-baik saja. Tapi tampaknya dia dikurung. Aku hanya bisa berdoa dia dalam tangan yang benar, meskipun aku ragu."
Dengan tatapan terakhir yang beracun pada Doni, Rendra berbalik dan pergi. Kru media mengikuti, kamera masih menyala, mikrofon masih merekam setiap langkah. Pak Hendra menutup dan mengunci pintu rapat-rapat. Klik gembok terdengar keras di keheningan.
Keheningan turun seperti selimut berat.
Doni berdiri diam sesaat, adrenalin masih mengalir. Tangannya gemetar sedikit, bukan karena takut, tapi karena amarah yang tertahan. Napasnya keluar tidak rata.
"Itu..." Ratna mulai bicara tapi berhenti, mengusap wajahnya.
"Bencana," potong Doni, suaranya masih sedikit tidak stabil. "Media pasti rilis berita. Mereka akan berspekulasi tentang Naira, kenapa dia tidak muncul."
"Belum tentu buruk," jawab Ratna cepat, sudah berpikir strategi. "Publik tahu soal perceraian. Kalau berita keluar Rendra datang dengan media, malah dia yang kelihatan buruk. Kita bisa putar ini."
"Tapi alamat rumah ini bisa bocor. Kalau mereka tayangkan rekaman, orang bisa mengenali lokasi."
"Kita urus nanti. Sekarang fokus ke Nona Naira." Ratna menatap ke arah dapur, kekhawatiran terlihat di matanya. "Dia pasti ketakutan."
Doni langsung berlari ke dapur. Sepatu slip-on-nya hampir tergelincir di lantai marmer.
Dan pemandangan yang ia lihat membuat dadanya terasa ditusuk.
Naira meringkuk di pojok. Punggung bersandar ke kabinet, lengan melingkar di lutut, tubuhnya bergoyang kecil seperti anak yang mencoba menenangkan diri. Napas tersengal, mata kosong menatap lantai. Tubuh gemetar. Ubin keramik dingin menusuk punggungnya melalui cardigan tipis, tapi ia seperti tidak merasakan apa-apa.
Dan di tangan yang bergetar itu, tergenggam erat sebilah pisau dapur.
...---•---...
...Bersambung...