Maya, anak sulung yang doyan dugem, nongkrong, dan bikin drama, nggak pernah nyangka hidupnya bakal “dipaksa” masuk dunia yang lebih tertib—katanya sih biar lebih bermanfaat.
Di tengah semua aturan baru dan rutinitas yang bikin pusing, Maya ketemu Azzam. Kalem, dan selalu bikin Maya kesal… tapi entah kenapa juga bikin penasaran.
Satu anak pembangkang, satu calon ustadz muda. Awalnya kayak clash TikTok hits vs playlist tilawah, tapi justru momen receh dan salah paham kocak bikin hari-hari Maya nggak pernah boring.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayusekarrahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 Artis Pesantren
Malam semakin larut, hawa dingin kian menusuk Kulit, dibawah terangnya rembulan. Maya dan Azzam tampak duduk berjauhan,keduanya menatap langit dengan tenang.
Maya beberapa kali menguap, Azzam terlihat berdiri. "Ini sudah malam lebih baik kamu segera kembali ke kamar, kalau dilihat pengurus lain kamu bisa dihukum",terangnya.
Maya menatap Azzam sebentar, "Kenapa si di sini tuh apa-apa dihukum mulu, lagian kan saya cuma duduk doang", ucapnya sembari memalingkan wajah.
"Setiap tempat punya peraturan Maya", ucap Azzam tenang, matanya masih menatap bulan. “Kalau semua orang bebas seenaknya, bukan lagi pesantren namanya.”
Maya mendengus pelan, lalu memeluk lututnya. “Iya, iya… peraturan, hukuman, disiplin, bla bla bla… Hidup gue jadi kayak film dokumenter. Nggak ada dramanya sama sekali.”
Azzam melirik sekilas. “Kalau menurut saya, justru hidup kamu udah cukup penuh drama.”
Maya langsung menoleh cepat, melotot. “Heh! Maksudnya apa tuh?!”
Azzam mengangkat bahu, wajahnya datar. “Kamu sendiri yang bilang, bukan saya.”
Maya cepat-cepat berdiri, menepuk-nepuk celananya. “Yaudah deh, saya balik kamar. Nanti kalo dihukum lagi, bisa-bisa aura artis saya makin redup.”
Azzam hanya mengangguk. “Bagus. Istirahat yang cukup.”
Maya melangkah menjauh, tapi sempat menoleh sebentar. “Eh, Ustadz…”
Azzam berhenti. “Ya?”
Maya tersenyum tipis, agak malu. “Makasih udah nggak bosen nasehatin saya. Walaupun gaya ngomong Ustadz itu dingin kayak kulkas, tapi..saya masih bisa terima kok,”gumamnya pelan.
Azzam tidak langsung menjawab. Wajahnya tetap datar, tapi matanya sedikit melembut. “Cepat masuk, sebelum pengurus lihat.”
Maya terkekeh kecil, lalu buru-buru memasuki kamarnya. Sementara itu Azzam berbalik dengan wajah menahan senyum. Kakinya kembali melangkah ke arah para santri lain yang tengah ronda malam.
................
Keesokan harinya, suara adzan subuh kembali berkumandang. Para santri dan Santriwati tampak sudah berjalan ke arah masjid untuk melaksanakan salat berjamaah.
Mereka terlihat memasuki Masjid, diantara mereka Maya berjalan paling belakang. Langkahnya lesu mukena nya miring matanya terpejam, kedua tangannya diseret Zahra dan Dewi sementara Sinta dan Rara terlihat memegang sajadah dan kitab milik Maya.
Saat sudah berada di pintu masuk Umi Uhaira yang merupakan ustadzah sekaligus ibu dari Ustadz Azzam itu terlihat keheranan melihat tingkah Santriwati nya.
"Astaghfirullah...kenapa ini? Zahra, Dewi ada apa sama Maya kenapa di papah begini?", tanyanya dengan nada khawatir.
Maya dia hanya membuka sedikit matanya lalu buru-buru menutup kembali matanya.
Sinta langsung maju berdiri dengan gestur sopan dihadapan ustadzah Uhaira. Ia sedikit berbisik "Maaf ustadzah, dia ini memang drama sekali".
“Tiap hari juga hampir begini ustadzah, pura-pura tidur,” ucap Sinta pelan, sambil menahan tawa.
Ustadzah Uhaira menghela napas panjang, ekspresinya setengah bingung setengah geli. “Maya… Maya… selalu ada saja tingkahmu.”
Zahra menimpali cepat, “Tapi ustadzah, kali ini lebih parah. Mukena dia sampai miring gitu, tadi hampir nyangkut di pagar.”
Dewi mengangguk-angguk serius, padahal jelas-jelas ingin ketawa. “Iya ustadzah, tadi pas jalan tuh dia sempat hampir masuk got. Untung saya tahan.”
Maya yang masih setengah tidur bergumam lirih, “Gue tuh bukan ngantuk… gue lagi… meditasi jalan kaki.”
Seketika semua santriwati di sekitarnya nyaris meledak ketawa, tapi buru-buru menunduk takut dimarahi.
Ustadzah Uhaira menutup mulut dengan tangan, menahan senyum. “Astaghfirullah… meditasi jalan kaki katanya. Maya, bangun. Kalau mau ibadah itu butuh kesadaran penuh, bukan pura-pura jadi zombie begitu".
Maya langsung berdiri tegak, matanya terbuka lebar seperti orang kaget. “Siap, ustadzah! Saya sudah sadar sepenuhnya.”
“Bagus. Kalau begitu, silakan masuk dan fokus. Ingat, masjid bukan tempat untuk bercanda,” ucap Ustadzah Uhaira lembut tapi tegas.
Maya menunduk sopan, lalu jalan dengan langkah pelan sambil berbisik ke Zahra, “Ketauan terus deh akting gue… fix gue gagal jadi bintang pesantren.”
Zahra menutup wajah dengan sajadah, menahan tawa. “Ah bintang pesantren yang sinarnya ga lurus. kamu beneran bakal jadi legend di sini.”
Begitu semua masuk dan duduk di shaf, lantunan doa mulai terdengar. Maya masih sesekali menguap, tapi kali ini lebih berhati-hati.
Dari barisan depan, Azzam sempat menoleh sekilas. Matanya bertemu dengan Maya yang buru-buru menegakkan punggung dan pasang wajah sok khusyuk.
Dalam hati, Maya mendesah. Duh… kenapa harus ketemu mata dingin itu lagi. Kalau terus begini, lama-lama gue nggak cuma kena hukuman… bisa-bisa gue jadi bahan ceramah khusus “santriwati drama queen” se-pondok.
......................
Shalat pun selesai, para santri masih duduk dengan tenang. Suasana hening, hanya terdengar lantunan doa ustadz yang memimpin. Namun di barisan belakang, Maya mulai menggoyang-goyangkan kepalanya kecil, seolah-olah sedang mengikuti konser musik.
Zahra langsung berbisik lirih, “May, itu doa bukan dangdut. Jangan ikut goyang.”
Maya buru-buru menutup wajah dengan tangan, berbisik balik, “His kalian tuh pada negatif thinking mulu sama gue, gue tuh lagi nyari feel biar doa lebih meresap. Kayak karaoke spiritual gitu.”
Dewi menahan tawa. Rara menutup mulutnya dengan mukena agar tidak terdengar cekikikan kecilnya.
Tiba-tiba, suara ustadzah Uhaira terdengar pelan tapi jelas, “Maya…”
Semua kepala langsung menoleh ke arah belakang. Maya tegak lurus, tangannya terangkat seolah hormat. “Siap, ustadzah! Saya sudah masuk mode serius!”
Beberapa santriwati langsung menunduk dalam-dalam, pura-pura khusyuk, padahal pundak mereka bergetar menahan tawa.
Ustadzah menghela napas, senyum tipis muncul. “Astaghfirullah… sudah cukup dramanya, Maya. Fokus.”
Maya menunduk lagi, kali ini benar-benar menahan diri. Tapi dalam hati ia bergumam, Ya Allah, kalau aku bisa tahan khusyuk sampai selesai, tolong catat ini sebagai prestasi terbesar dalam sejarah pesantren.
Selesai doa, semua santri bersiap untuk mengaji pagi. Maya berjalan bersama Zahra, Dewi, Sinta, dan Rara.
“May, serius deh,” kata Rara sambil geleng kepala, “kalau ada lomba drama pesantren, kamu pasti juara umum.”
Maya menepuk dada bangga. “Itu dia, Ra. Gue memang nggak berbakat jadi ustadzah, tapi bakat jadi artis pondok itu udah darah daging.”
Zahra nyeletuk cepat, “Artis pondok apaan, May. kamu tuh kayak… badut istana, bikin semua orang ketawa.”
Maya pura-pura sakit hati. “Astaga, kejam sekali temanku ini. Gue kan lebih elegan dikit, paling nggak entertainer syariah lah!”
Mereka semua tertawa lagi. Tapi dari kejauhan, Maya bisa melihat sosok Azzam yang berdiri di tangga masjid, sedang berbicara dengan beberapa santri. Seperti biasa, wajahnya tenang, dingin,dan penuh wibawa.
Maya mendesah panjang. Huft… tiap kali ketemu tuh orang, aura drama gue langsung kebongkar. Kayaknya hidup gue bakal panjang kalau selalu disetirin sama tatapan kulkas itu.
.
.
✨️ Bersambung ✨️