Lima tahun pernikahan Bella dan Ryan belum juga dikaruniai anak, membuat rumah tangga mereka diambang perceraian. Setelah gagal beberapa kali diam-diam Bella mengikuti proses kehamilan lewat insenminasi, dengan dokter sahabatnya.
Usaha Bella berhasil. Bella positif hamil. Tapi sang dokter meminta janin itu digugurkan. Bella menolak. dia ingin membuktikan pada suami dan mertuanya bahwa dia tidak mandul..
Namun, janin di dalam perut Bella adalah milik seorang Ceo dingin yang memutuskan memiliki anak tanpa pernikahan. Dia mengontrak rahim perempuan untuk melahirkan anaknya. Tapi, karena kelalaian Dokter Sherly, benih itu tertukar.
Bagaimanakah Bella mengahadapi masalah dalam rumah tangganya. Mana yang dipilihnya, bayi dalam kandungannnya atau rumah tangganya. Yuk! beri dukungungan pada penulis, untuk tetap berkarya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Linda Pransiska Manalu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab dua belas. Mimpi buruk
Gavin membanting pintu tepat di depan wajah Martin. Ancamannya telah membuat asistennya itu blingsatan.
'Pasti gak bakalan tidur nyenyak lo, sepanjang malam.' senyum miring Gavin menghias bibirnya. Puas rasanya menumpahkan beban di bahu Martin yang sudah menemaninya sekian tahun.
Sesekali kamu perlu dihajar karena suka menikmati penderitaanku, batin Gavin lagi seraya terkekeh hati.
"Maaf, kejadian tadi. Aku lupa bawa handuk. Kupikir kamu sudah tidur." ucap Gavin memecah keheningan antara mereka. Gavin tidak ingin Bella menuduhnya yang bukan-bukan.
"Aku juga minta maaf, tidak seharusnya teriak-teriak. Sampai seisi rumah bangun." sahut Bella. Pikirnya Gavin pasti menilai sikapnya norak. Secara dia adalah seorang janda. Pasti bukan sekali dua kali melihat tubuh mantan suaminya dalam keadaan polos.
Kejadian tadi, sungguh membuat Bella shok. Tubuh yang berdiri di depannya jauh beda dengan yang dimiliki mantan suaminya.
Lekuk-lekuk tubuhnya yang seperti roti sobek itu, sungguh membuatnya gemas sekaligus takjub. Itulah sebabnya meski dia sudah menutup wajahnya tapi dia masih mengintip dari sela-sela jarinya.
Bella merasa amat malu saat Gavin teriak agar dia tidak mengintip. Entah kenapa dia melakukan itu. Semua terjadi begitu saja.
Jujur saja, siapa yang tidak kagum! Sudahlah wajahnya tampan, kaya, punya body bagus nyaris sempurna. Heran! Bagaimana bisa dulu Soraya meninggalkan Gavin di depan altar?
Sepertinya perempuan itu perlu dibawa periksa ke psikiater. Ataukah Gavin ada kelainan gak? Duh, kok aku jadi sableng gini, dih!" Bella menggelengkan kepalanya. Berusaha menghempas kejadian tadi agar tidak terus menggodanya.
Dia harus fokus, hubungannya dengan Gavin karena terikat kontrak tidak lebih!
Mereka bertemu karena sebuah kesalahan. Dan dia yang membuat kesalahan itu semakin rumit setiap harinya.
Gavin yang sudah membaringkan tubuhnya di atas sofa, sedikit heran melihat Bella yang duduk di tepi ranjang. Seraya membelakanginya. Entah apa yang dipikirkan Bella tentang dirinya.
"Tidurlah, ini sudah larut malam" tegur
Gavin serak mengingatkan. Kembali wajahnya memerah karena menduga Bella mungkin sedang panik saat ini karena insiden tadi.
Diambilnya bantal dan selimut, dari dalam lemari. Dihempaskannya ke atas sofa.
Andai saja kakek tidak menahan mereka menginap, tentu semua itu tidak akan terjadi.
'Huh, seumur-umur belum ada cewek yang pernah melihat tubuh polosku. Dasar sial!"
"Selamat malam!" sebut Gavin garing sebelum menutup matanya. Dicobanya untuk segera terlelap dan berharap malam segera berakhir.
Bella menghembuskan nafasnya. Mencoba rileks. Membaringkan tubuhnya dan menarik selimut hingga batas leher.
Sebelum menutup matanya, yang mulai terasa berat, Bella masih memastikan memandang Gavin yang tidur di atas sofa.
Dengkuran halus terdengar, menandakan Gavin sudah terlelap. Perlahan kedua belah mata Bella pun tertutup.
Selang beberapa saat. Entah sudah berapa jam lamanya Bella tertidur. Antara sadar dan tidak, Bella mendengar suara rintihan. Dan semakin lama rintihan itu berubah menjadi igauan.
Bella tersentak bangun, mengira dirinya telah bermimpi buruk. Namun, hal yang membuatnya lebih kaget lagi adalah, suara rintihan itu bukan berasal dari alam mimpinya.
Disana di atas sofa tubuh jangkung itu tengah merintih dan mengigau. Sepertinya Gavin tengah bermimpi buruk.
Tanpa pikir panjang, Bella turun dari ranjang menghampiri Gavin.
"Jangan! Jangan pergi!" Gavin mengigau. Wajahnya berkeringat, dan nampak menderita sekali. Bella bingung hendak mau berbuat apa. Tidak tega rasanya melihat penderitaan Gavin, yang begitu tersiksa dalam mimpi.
Menyentuh Gavin juga untuk membangunkannya dari mimpi, Bella takut. Namun, demi melihat peluh di dahi Gavin yang semakin banyak mengucur, dia lebih tidak tega lagi.
"Tuan, bangun," bisik Bella panik, menyentuh lengan kekar Gavin. Bella mendekatkan tubuhnya, untuk menyentuh lengan Gavin lebih keras lagi. Bella membungkuk.
Tiba-tiba saja Gavin bergerak dan meraih tubuh Bella. Karena tidak menduga hal itu tubuh Bella terjatuh tepat diatas tubuh Gavin dan memeluk tubuh Bella erat. "Mama, jangan pergi! Jangan tinggalkan Gavin." igaunya.
Bella tersentak kaget! Terlebih pelukan itu sangat kuat sehingga membuat nafasnya terasa sesak.
Rintihan Gavin terhenti. Tidurnya kembali tenang. Giliran Bella yang merasa sesak. Posisi tubuhnya yang berada diatas tubuh Gavin sungguh mendebarkan jantungnya. Sekaligus menyulitkan dia bernapas.
Aroma tubuhnya yang maskulin semakin mendebarkan jantung Bella. Anehnya, bukannya terjaga, Gavin malah mendengkur lagi.
Bella berusaha meloloskan dirinya dari pelukan Gavin. Akan tetapi pelukan Gavin semakin kencang.
"Hu-uf-h, lepaskan aku Tuan." desah Bella makin sesak. Bella menggigit dada Gavin. Dia tidak ada pilihan lagi selain melakukan itu.
"Aduh, sakit!" Gavin terjaga dari tidurnya. Terkejut amat sangat mendapati Bella berada dalam pelukannya.
"Huh-ah!" Bella meraup nafas dan membuangnya sekaligus demi terlepas dari pelukan Gavin.
"Bella kok kamu?!" seru Gavin bingung. Saat melihat Bella berpindah tidur dalam pelukannya. Gavin terduduk dan mencoba mengingat apa yang telah terjadi. Apakah dia tengah bermimpi jalan?"
"Hampir saja aku kehabisan nafas," engah Bella lega.
"Apa yang terjadi, kenapa kamu tidur dipelukanku?" seru Gavin kebingungan.
"Aku gak tidur, tapi Tuan yang menarikku. Tadi Tuan bermimpi buruk!"
Gavin terkesiap!
'Bermimpi? Mimpi apa aku, sampai menyeret Bella dalam pelukanku. Astaga! Apalagi ini. Wanita di depannya ini sungguh telah mengacaukan hidupnya. Ada-ada saja kekonyolan diantara mereka.
"Tuan teriak-teriak dalam mimpi. Aku membangunkan Tuan. Tuan malah menarik tubuhku sehigga jatuh di atas tubuh Tuan." jelas Bella meluncur deras.
Gavin berdehem dalam hati. Mencoba memungut serpihan mimpinya. Menyusunnya untuk menjadi rangkaian ingatan dalam memorinya.
Yang dia ingat adalah bertemu dengan mamanya di suatu tempat. Hatinya sangat bahagia lalu mereka berjalan-jalan di tepi pantai. Tiba-tiba ombak bedar datang menggulung. Dalam sekejap mamanya menghilang. Gavin berenang berusaha menyelamatkan mamanya.
Dia menemukan mamanya dan memeluk erat. Takut mamanya meninggalkannya. Namun ombak besar datang lagi. Membuat mamanya hampir terlepas dari pelukannya. Gavin mencoba menahan dengan memeluk lebih erat lagi.
Hanya itu yang dia ingat dalam mimpinya. Lantas kenapa Bella bisa berada dalam pelukannya?
Bukankah yang dia peluk adalah wanita yang telah meninggal dalam satu kecelakaan dua puluh tahun yang lalu?
Melihat Gavin yang sepertinya shok akibat mimpi, naluri keibuan Bella tersentil. Refleks, Bella mengusap wajah Gavin yang dibanjiri dengan tissu. Membawanya dalam pelukannya.
"Tenanglah, mimpi itu telah berakhir. Kamu aman sekarang," Bella menepuk-nepuk bahu Gavin. Bella tidak tau mimpi apa yang telah merasuk dalam tidur Gavin. Namun, dia bisa merasakan betapa hampanya hati Gavin saat ini.
Sama seperti dirinya yang tidak mengenal siapa orang tuanya. Sepertinya Gavin sangat terpukul dimasa lalunya, berkaitan dengan kedua orang tuanya.
Satu hal yang tidak Bella sadari, apa yang dia lakukan malam itu pada Gavin. Seperti percikan api kecil yang mencoba mencairkan hatinya yang dingin. ***