Pak jono seorang pedagang gorengan yang bangkrut akibat pandemi.
menerima tawaran kerja sebagai nelayan dengan gaji besar,Namun nasib buruk menimpanya ketika kapalnya meledak di kawasan ranjau laut.
Mereka Terombang-ambing di lautan, lalu ia dan beberapa awak kapal terdampar di pulau terpencil yang dihuni suku kanibal.
Tanpa skill dan kemampuan bertahan hidup,Pak Jono harus berusaha menghadapi kelaparan, penyakit,dan ancaman suku pemakan manusia....Akankah ia dan kawan-kawannya selamat? atau justru menjadi santapan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ilalangbuana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
suara genderang perang
Lelah dan ketegangan bercampur jadi satu dalam perjalanan panjang kembali ke kampung. Hutan yang mereka lalui tampak lebih gelap dari biasanya, meski mentari tengah hari belum benar-benar tenggelam. Suasana terasa pekat. Suara langkah kaki mereka bergema di antara dahan dan ranting yang berserakan. Nafas tersengal, tubuh penuh luka dan keringat. Mereka bukan lagi nelayan biasa yang terdampar. Mereka kini adalah pelintas batas kehidupan dan kematian.
"Hati-hati!" teriak Kapten Rahmat saat melihat jalur menurun curam di depan mereka.
Namun belum sempat semua menginjak tanah datar, tiba-tiba sebuah anak panah melesat tajam dari semak belukar dan menghujam tepat di tanah beberapa jengkal di depan mereka.
Semua langsung membeku. Pandangan menyapu liar ke segala arah. Nafas mereka tertahan. Lalu...
"Suku pantai!" Gilang berteriak histeris saat melihat gerombolan manusia berkulit gelap, mengenakan penutup tubuh dari daun kering dan tulang, berlari ke arah mereka dengan panah dan tombak terhunus.
Kepanikan langsung meledak.
"LARI!" teriak Jefri sambil menarik lengan Pak Jono.
Hutan mendadak riuh. Anak panah melesat satu per satu seperti hujan kematian dari balik semak. Mereka berpencar. Tak ada formasi, hanya naluri bertahan hidup yang tersisa.
Pak Jono berlari sekuat tenaga, meski lututnya masih belum pulih sempurna. Rasa sakit tak lagi terasa, tertutupi adrenalin yang membuncah. Langkahnya menubruk semak, menerobos semak berduri, melompati akar pohon besar, hingga akhirnya...
"Brak!"
Kakinya tergelincir dan tubuhnya meluncur menuruni lereng curam yang dipenuhi lumut. Ia terjerembab, terguling beberapa kali sebelum akhirnya terhenti di dasar lembah yang lebih datar.
Nafasnya tersengal. Tubuhnya penuh luka. Pandangannya berputar. Lalu, samar-samar, sebuah bayangan muncul di tengah kabut.
"Alex..." gumam Pak Jono pelan, setengah tak percaya.
Pria bule berambut pirang itu mendekat dengan cepat dan membantu Pak Jono berdiri. Wajahnya terlihat khawatir.
"You hurt?" tanya Alex cepat, meski ia tahu tak akan mendapat jawaban pasti.
Pak Jono hanya menggeleng lemah, mencoba bangkit. Ia bicara dalam bahasa Indonesia, meski tahu tak akan dimengerti, "Kita diserang suku pantai... yang lain... teman-temanku... kami terpisah..."
Alex tak mengerti. Namun intuisinya bekerja. Ia melihat luka-luka di tubuh Pak Jono, dan situasi genting yang tak bisa diabaikan. Ia menarik lengan Pak Jono dan mengisyaratkan untuk ikut.
"Come. Safe. Village," katanya cepat.
Tanpa banyak pilihan, Pak Jono mengangguk. Mereka berdua bergerak cepat menyusuri jalur yang lebih tersembunyi, mendaki bukit kecil lalu menyeberangi anak sungai yang mengalir jernih. Perjalanan kembali ke kampung Alex penuh keheningan dan kekhawatiran.
Sementara itu, di tempat lain, Gilang, Jefri, dan Kapten Rahmat berhasil mencapai area lembah yang lebih aman. Namun kondisi mereka tak sepenuhnya baik. Gilang tersandung akar besar dan kakinya terkilir. Jefri mengalami luka di bahu akibat terserempet panah. Kapten Rahmat, meski selamat, terlihat sangat letih.
"Kita harus cari tempat berlindung dulu. Kalau mereka masih mengejar, kita dalam bahaya," kata Kapten Rahmat sambil memindahkan semak untuk membuka jalur.
Mereka bertiga akhirnya tiba di perbatasan kampung. Namun anehnya, suasana kampung masih sangat sunyi. Tak ada suara anak-anak, tak ada percikan api dari dapur, tak ada nyanyian malam dari para perempuan.
Mereka berjalan perlahan masuk ke kampung. Beberapa warga muncul dari balik pintu dan semak, wajah-wajah cemas menyambut mereka. Kepala suku datang menghampiri, memberikan isyarat bahwa mereka aman, tapi harus tetap waspada.
Satu jam kemudian, Alex dan Pak Jono tiba di kampung. Melihat kedatangan mereka, warga menyambut dengan lega.
Pak Jono langsung menghampiri rekan-rekannya yang telah sampai terlebih dahulu. Mereka saling menatap, tak banyak kata yang bisa diucapkan, hanya pelukan dan anggukan penuh makna.
"Aldi..." bisik Gilang, matanya memerah.
Pak Jono mengangguk pelan. Tak ada yang perlu dijelaskan. Semua tahu.
Kepala suku kemudian memanggil mereka untuk berkumpul di sebuah rumah panjang. Melalui penerjemah isyarat dan bantuan Alex, ia menjelaskan bahwa suku pantai tengah bersiap menyerang dalam skala besar.
"Mereka kehilangan salah satu pemimpinnya. Mereka pikir itu ulah kita," kata Alex menerjemahkan maksud kepala suku.
"Kita hanya ingin pulang," jawab Kapten Rahmat.
"Dan untuk itu... kita harus bersatu," lanjut Alex.
Malam itu, kampung bersiaga. Para pria memegang tombak dan pisau dari batu. Perempuan menyiapkan tempat berlindung untuk anak-anak. Dan Pak Jono bersama kawan-kawannya, untuk pertama kalinya, merasa bahwa mereka bukan lagi tamu, tapi bagian dari perlawanan.
Di luar, kabut semakin pekat. Hutan berbisik pelan, seakan mengabarkan bahwa malam panjang telah tiba.
Namun mereka siap. Sebab besok, mereka tak hanya akan bertahan.
Mereka akan melawan.
Langit mulai mendung ketika suara genderang dari gubuk utama menggema ke seantero kampung. Nada pukulannya lambat, berat, dan menandakan sesuatu yang tak biasa. Beberapa warga keluar dari rumah mereka, saling menatap dengan gelisah. Asap dari tungku-tungku dapur perlahan menghilang, tergantikan dengan bisik-bisik ketakutan.
Di tengah lapangan utama, sang Ketua Suku,seorang lelaki tua berjanggut putih dengan bekas luka memanjang di bahu,berdiri tegak. Ia mengenakan kain adat berwarna cokelat gelap, di pinggangnya tergantung sebilah parang besar yang menjadi simbol kepercayaan masyarakat setempat.
“Warga semua, dengarkan aku!” suaranya dalam, dibantu oleh penerjemah yang meneruskan dalam bahasa yang dimengerti Pak Jono dan rombongan.
“Kita tidak bisa lagi menganggap enteng ancaman suku pantai. Tadi malam mereka sudah masuk ke batas wilayah kita. Ini adalah tanda awal serangan besar.”
Kerumunan mulai bergumam. Wajah-wajah panik terlihat di antara para ibu, anak-anak bersembunyi di balik punggung orang tua mereka. Aroma tanah yang baru saja diguyur gerimis berpadu dengan aroma ketegangan.
Ketua Suku mengangkat tangan kanannya. “Aku minta setiap kepala keluarga hadir di pertemuan besar malam ini. Kita akan menentukan langkah selanjutnya. Untuk saat ini, semua perempuan, anak-anak, dan orang tua harus segera dibawa ke ‘Gunung Pelindung’ tempat di balik hutan bambu itu. Para lelaki akan berjaga dan bersiap.”
Beberapa perempuan mulai menangis pelan. Tidak semua siap meninggalkan rumah mereka. Tapi mereka paham, ini bukan tentang pilihan, tapi tentang bertahan hidup.
Pak Rahmat yang kini menjadi lebih berbaur dengan masyarakat setempat, ikut membantu menyusun rencana evakuasi. Ia dan Gilang serta Jefri mendampingi warga membawa persediaan makanan, obat-obatan, dan kain-kain hangat. Mereka berjalan beriringan menuju jalur tersembunyi yang hanya diketahui oleh warga lama.
Sementara itu, Pak Jono duduk di dekat gubuk kecil yang dibangun khusus untuk para tamu asing. Luka di pahanya sudah jauh membaik, tapi ada kekosongan dalam pandangannya. Kematian Aldi masih membekas seperti duri dalam dada. Ia belum berkata sepatah kata pun sejak semalam.
Alex duduk di sampingnya, menyodorkan segelas air hangat dari rebusan akar. “Drink,” ucapnya singkat. Pak Jono hanya mengangguk, meneguk perlahan.
Malam mulai merayap. Di lapangan utama, api unggun besar dinyalakan. Para kepala keluarga dan tetua berkumpul dalam lingkaran. Asap dari rokok lintingan memenuhi udara, aroma daun dan getah menguap bercampur dengan hawa dingin pegunungan.
Seorang pemuda setempat yang menjadi penerjemah dari awal, mencoba menjelaskan kepada rombongan Pak Jono bahwa suku pantai tak hanya brutal, tapi juga punya kebiasaan menyerang di malam hari saat bulan tidak tampak,saat hutan sepenuhnya gelap dan roh-roh mereka diyakini akan menyatu dengan bayangan.
“Kami punya waktu mungkin hanya dua atau tiga malam sebelum mereka datang. Tapi kami tidak akan lari lagi. Ini tanah kami. Ini rumah kami,” ucap Ketua Suku, suaranya tegas, penuh semangat.
Pak Rahmat yang duduk bersila di sisi lingkaran, angkat bicara.
“Ada satu cara yang mungkin bisa membantu, kita buat jebakan di jalur masuk. Saya tahu sedikit tentang taktik pertahanan gerilya. Kita bisa siapkan perangkap, lubang jebakan, dan posisi strategis untuk pemanah.”
Ketua Suku menatapnya, lalu mengangguk perlahan. “Kami siap belajar. Tapi kamu harus pimpin.”
Keesokan paginya, kampung itu berubah. Bambu dipotong dan diraut menjadi runcing. Lubang jebakan digali, lalu ditutup dedaunan. Para pemuda dilatih menembakkan panah secara bergantian. Bahkan anak-anak yang lebih tua mulai diajarkan cara menyampaikan pesan secara cepat menggunakan bunyi daun dan peluit kerang.
Pak Jono, meski masih terpincang, memilih membantu di dapur umum. Ia merasa lebih tenang saat tangannya sibuk, daripada duduk diam memikirkan rasa bersalah.
Sore itu, ia duduk di bawah pohon besar dekat sungai kecil yang mengalirkan air jernih. Dari kejauhan, ia bisa melihat rombongan perempuan dan anak-anak sudah hampir mencapai area pengungsian.
Gilang duduk di sampingnya. “Pak...kita belum selesai kan?”
Pak Jono mengangguk pelan. “Belum, Gilang… belum. Kita harus pastikan tidak ada lagi yang mati sia-sia.”
“Termasuk kita?”
Pak Jono menoleh dan tersenyum tipis. “Termasuk kita.”
Langit mulai menggelap. Malam ini adalah malam terakhir sebelum bulan mati sepenuhnya.
Dan di kejauhan, di balik deretan pohon lebat....suara seruling bambu mulai terdengar,datar, dingin, dan menyeramkan.
Tanda bahwa peperangan benar-benar akan dimulai.
Api unggun malam itu membesar, menjilat langit gelap yang dipenuhi awan mendung. Gemuruh dari balik bukit masih samar, tapi cukup mengganggu ketenangan kampung yang telah bersiap dalam diam.
Pak Jono duduk bersila bersama Pak Rahmat, Gilang, Jefri, dan beberapa tokoh kampung yang sudah mulai akrab dengan mereka. Di tengah lingkaran itu, beberapa warga muda dengan wajah keras dan tatapan tajam menatap Pak Rahmat dengan penuh harap.
Salah satu dari mereka,lelaki setengah baya bertubuh kekar dengan bekas luka panjang di pipi,menunduk sedikit pada Pak Rahmat.
“Kamu tentara, ya? Kamu tahu cara perang?” tanyanya dengan bahasa terbata, dibantu oleh penerjemah.
Pak Rahmat hanya tersenyum kecil. “Saya seorang pelaut. Tapi pernah belajar pertahanan dasar. Kalau kalian percaya, saya bisa bantu mengatur posisi jaga.”
Lelaki itu mengangguk cepat.
“Kalau kau pimpin, kami ikut. Tapi kalau salah langkah, semua keluarga kami habis.”
Pak Rahmat menepuk bahunya.
“Saya tak berjanji menang. Tapi saya janji, kita akan bertahan.”
Gilang yang sejak tadi duduk diam, tiba-tiba berdiri. Wajahnya tampak letih, tapi sorot matanya penuh semangat. Ia menatap para warga satu per satu, lalu mengangkat tangannya.
“Dulu, waktu kapal kami tenggelam, saya kira saya akan mati di laut,” katanya lirih. “Tapi saya diselamatkan. Saya pikir mungkin Tuhan masih kasih saya waktu untuk melakukan sesuatu yang berguna.”
Jefri menoleh.
“Gil, elo kenapa?”
Gilang tertawa pelan, lalu duduk kembali. “Gue cuma mikir...dulu waktu masih kerja di kapal, gue sering ngeluh.Capek, makan gak enak, tidur gak nyenyak. Tapi sekarang, tidur di tanah pun gue syukuri.
Hidup ternyata gak sekadar soal enak atau enggak, tapi soal bisa terus jalan walau semuanya terasa hancur.”
Pak Jono tersenyum lebar.
“Kamu benar, Lang. Mungkin ini bukan soal siapa kuat dan siapa lemah.
Tapi siapa yang tetap berdiri ketika semua runtuh.”
Salah seorang pemuda kampung, bernama Rumi, mendekat dan ikut duduk.
“Kami tahu kalian orang luar. Tapi sejak kalian datang...kalian ikut kerja, ikut bantu, bahkan kehilangan teman. Kalian sudah seperti bagian dari kami.”
Pak Rahmat menoleh, tersenyum.
“Kami juga merasa seperti itu. Kalian selamatkan kami saat kami tak tau arah dan tujuan. Sekarang giliran kami bantu kalian bertahan.”
Sejenak, keheningan menyelimuti mereka. Di kejauhan, suara burung malam menggema, bersahutan dengan desiran angin yang membawa dingin yang seolah menggigit kulit. Masing-masing menatap api yang menari-nari, seperti membawa kenangan mereka masing-masing.
Flashback Gilang
Empat bulan sebelum pelayaran itu, di sebuah warung kopi kecil dekat Pelabuhan Tanjung Periok, jakarta.
Gilang duduk memeluk tas kecilnya. Seorang wanita paruh baya duduk di depannya,ibunya. Wajahnya penuh kecemasan, tapi senyumnya dipaksakan.
“Lang, kamu yakin mau ikut pelayaran jauh lagi? Udah hampir dua tahun kamu gak pulang.”
Gilang menggenggam tangan ibunya. “Ma, aku janji...setelah ini, aku bakal balik dan buka usaha kecil aja. Warung kopi kek, bengkel kek. Aku capek juga hidup di laut.
Tapi kontraknya belum habis. Aku cuma butuh waktu sedikit lagi.”
Sang ibu mengangguk pelan.
Air matanya menetes diam-diam.
“Mama cuma takut...laut itu kadang gak bisa ditebak.”
Gilang tersenyum.
“Aku juga gak bisa nebak hidup, Ma. Tapi selama aku masih bisa jalan, aku bakal cari cara pulang.”
Ia memeluk ibunya erat.
Aroma minyak kayu putih, sabun cuci tangan, dan keringat bercampur jadi satu. Aroma rumah. Aroma yang sekarang hanya bisa ia kenang di tengah hutan liar yang asing.
Malam itu, setelah semua diskusi selesai, Gilang berdiri di pinggir tebing kecil yang menghadap lembah. Ia menatap ke arah barat, di mana bulan mulai bersembunyi di balik awan. Dalam hatinya, ia berbicara pada laut, pada angin, pada ibunya yang mungkin sedang menatap langit yang sama.
“Ma...doain anakmu selamat. Biar aku bisa pulang...dan nepatin janji.”
Angin malam menerpa wajahnya. Dingin. Tapi juga menenangkan.
Esok hari mungkin akan menjadi neraka. Tapi malam ini, mereka masih punya harapan.
Api di Ujung Fajar
Mentari belum sempat menampakkan wajahnya sepenuhnya, ketika teriakan pertama membelah langit fajar.
Denting senjata tradisional, suara peluit dari bambu, dan derap kaki yang menghantam tanah bergemuruh memecah kesunyian.
Genderang perang dipukul keras dari arah selatan kampung.
Pak Rahmat berdiri di atas batu tinggi, mengangkat tangannya dan berteriak,
“POSISI! SIAPKAN SEMUA GARIS PERTAHANAN!”
Para lelaki kampung segera mengambil tempat yang sudah mereka siapkan semalam.
Perempuan dan anak-anak telah dievakuasi ke gua-gua di balik bukit.
Beberapa pemuda yang belum pernah menyentuh senjata pun kini menggenggam tombak dan panah dengan tangan gemetar.
Di kejauhan, dari celah pepohonan, muncullah siluet-siluet cepat.
Suku pantai,bertelanjang dada, tubuh mereka dilumuri lumpur hitam, wajah penuh lukisan perang, dan mata merah menyala seperti binatang buas.
Pertempuran pun pecah.
Suku perempuan, yang kini telah berdamai sementara dengan suku kampung, ikut membantu mempertahankan wilayah mereka.
Dari atap rumah-rumah beratap daun, panah beterbangan seperti hujan.
Darah mulai membasahi tanah.
Jerit tangis terdengar di mana-mana.
Gilang dan Jefri bertempur berdampingan.
“Jef! Kanan lo!”
teriak Gilang, menendang seorang penyerang yang nyaris menebas sahabatnya.
Jefri menoleh, mengangguk, lalu balas memukul dengan tongkat kayu keras.
“Gue gak mau mati sekarang anjeeng! Gue belom kawin! ”
Pak Jono memimpin barisan belakang, membantu warga yang luka mundur ke pos medis darurat.
Ia menyaksikan sendiri ketika salah satu rumah dibakar dari dalam oleh penyusup, dan api menyambar tumpukan jerami hingga menjalar ke pohon-pohon di pinggiran hutan.
Dan itulah awalnya.
Dalam waktu kurang dari satu jam, api menjalar ke segala arah.
Hutan yang selama ini menjadi naungan dan penyembunyi kini berubah menjadi neraka. Daun-daun kering terbakar cepat, binatang-binatang hutan berlarian keluar dari sarangnya, dan asap pekat mengepul ke langit seperti pertanda kematian massal.
“Tarik mundur! Kita gak bisa bertahan di tengah api!” teriak Pak Rahmat.
" kamu bilang mundur?? mundur kemana? posisi kita saja sedang terhimpit.. dan nyaris mati!!! "
Sementara itu...
Di atas Kapal SAR KM. Nusa Jaya 09
Koordinat: 11.5600° N, 92.5700° E
Perairan utara Pulau Sentinel
Kapten Surya menatap layar radar dan monitor pengawas udara. Seorang teknisi muda berteriak dari belakang,
“kep! Asap terdeteksi dari pulau utama. Ini...ini besar sekali!
Kapten berjalan cepat ke dek, mengangkat teropong.
Dan benar....dari kejauhan, di atas garis cakrawala yang membelah langit dan lautan, tampak asap tebal menjulang tinggi. Seperti gunung api yang meletus tanpa suara.
“Apa itu kebakaran hutan?”
gumam seorang kru SAR.
Seorang analis memutar rekaman drone yang baru saja dikirim.
“Sepertinya dari arah pemukiman tradisional.
Tapi terlalu jauh untuk dilihat jelas. Apakah mungkin itu lokasi korban KM Laut Kaya 08?”
Kapten Surya menoleh pada perwira komunikasi. “Segera hubungi Kemenlu! Kita perlu izin masuk secepatnya! Korban bisa saja berada di tengah kebakaran itu!”
“Baik, Pak. Tapi pihak India masih belum memberi lampu hijau. Mereka takut penyebaran penyakit ke suku Sentinel.”
Kapten mengepalkan tangannya.
“Sial! Kalau kita terus menunggu, yang kita evakuasi nanti bukan orang hidup… tapi abu!”
-Kembali ke Pulau, Tengah Perang dan Kobaran
Pak Jono berlari menyelamatkan seorang anak kecil yang terjebak di bawah puing rumah. Nafasnya terengah, peluh dan jelaga menutupi wajahnya. Gilang menyusul dengan membawa air di dalam tempurung.
“Ada jalan keluar dari belakang kampung! Tapi kita harus cepat!”
teriak Jefri dari kejauhan.
Pak Rahmat mengambil alih komando.
“Semua warga! Lewat jalur sungai kecil! Ikuti suara lonceng!”
Seorang wanita dari suku perempuan memukul lonceng bambu berkali-kali, menjadi penanda arah evakuasi.
Di belakang mereka, api menari di antara pohon dan rumah yang runtuh.
Langit menjadi jingga pekat, seperti senja yang turun terlalu cepat.
Pak Jono menoleh sejenak, mencari satu wajah,Aldi. Tapi ia kembali ingat bahwa Aldi telah gugur sehari sebelumnya.
Matanya memerah, bukan karena asap, tetapi karena kehilangan.
“Maaf, Di… kami belum sempat bawa lo pulang.”
Mereka terus berlari, menembus asap dan bara, menuju arah bukit yang tersisa belum terbakar. Mereka tidak tahu apakah tempat itu aman, tapi di tengah api dan panah, satu-satunya pilihan adalah tetap hidup.
Beberapa saat kemudian....
Langit masih dibungkus kabut asap yang belum sepenuhnya pergi. Ombak laut memantulkan warna kelabu, seolah alam pun ikut berkabung atas apa yang terjadi di pulau yang jauh dari jangkauan modernitas.
Di atas geladak KM Nusa Jaya 09, suasana tegang. Tim SAR mengenakan rompi pelindung, helm, dan pelampung. Beberapa kru memeriksa ulang kotak medis, tali pengaman, dan perlengkapan evakuasi lainnya.
“Tim Alpha dan Bravo, siap dalam sepuluh menit! Kita turun ke pantai timur!” seru Komandan Lapangan, Letkol Agam.
Kapten Surya berdiri di sampingnya dengan mata masih menatap ke arah pulau melalui teropong. Asap masih mengepul dari arah tengah pulau. Di kejauhan, tampak barisan pohon yang hangus terbakar, seperti bekas luka panjang yang ditorehkan api.
“Sudah pasti? Ini bukan daerah permukiman suku Sentinel?”
tanya Letkol Agam.
“Tidak. Berdasarkan pemantauan drone, area ini relatif kosong....setidaknya, begitu kemarin,” jawab seorang analis di belakang mereka.
Tanpa membuang waktu, dua perahu karet diturunkan.
Tim Alpha berisi lima orang...
dua petugas medis, satu navigator, dan dua pasukan pengawal.
Mereka meluncur perlahan menyusuri ombak ke arah pantai.
Belum sempat lima menit mereka mendekat, tiba-tiba
“TWAAANG!!”
“SWIIIISSHH...TUK TUK TUK!!!”
Hujan anak panah meluncur dari balik pohon-pohon bakau yang gelap. Tidak hanya satu atau dua, melainkan puluhan, bahkan ratusan.
“Cover! Mundur! Putar haluan!!” teriak navigator sambil membungkuk.
Anak panah mengenai sisi kanan perahu. Salah satu medis nyaris tertancap di bahu jika tidak segera menjatuhkan diri.
Seorang pengawal mengangkat perisai darurat dari kevlar, menangkis rentetan proyektil kayu yang tampak primitif namun mematikan.
Di kejauhan, dari balik semak-semak, siluet tubuh kecil dan kurus dengan wajah dicat terlihat sekilas. Mereka tidak menggunakan senjata modern, tapi keahlian berburu dan membunuh mereka bukan main-main.
Kapten Surya yang menyaksikan dari dek kapal langsung memberi aba-aba,
“Aktifkan sirine! Aktifkan sorotan cahaya penuh! Beri tanda bahwa kita bukan musuh!”
Namun, tampaknya sirine tidak membantu. Anak-anak panah masih terus melesat, seakan mereka tengah menyerang makhluk asing dari langit.
Tim Alpha dan Bravo berhasil kembali ke kapal, tapi dua orang terluka di bagian lengan dan bahu.
Peluru mungkin bisa dihindari, tapi panah yang melesat tanpa suara...jauh lebih sulit diprediksi.
Beberapa jam berlalu. Tim SAR kini memilih bertahan dalam jarak aman, hanya memantau dari kejauhan dengan drone. Kamera udara menunjukkan gambaran jelas,hutan yang sebagian hangus, bekas kampung yang ditinggalkan, dan sesekali pergerakan manusia di tengah rerimbunan.
Namun, tidak semua manusia itu tampak seperti suku primitif.
Salah satu drone memperbesar gambar ke arah celah batu besar. Di sana, tampak tiga sosok berpakaian lebih modern dari lainnya,pakaian compang-camping, tapi jelas bukan pakaian dari kulit kayu seperti milik suku penghuni asli.
“Itu...itu mereka! Kemungkinan korban KM Laut Kaya 08!”
seru analis.
Kapten Surya mengepalkan tangan.
“Kalau kita tidak bisa mendarat, bagaimana kita mengevakuasi mereka? Kita tak bisa tunggu lebih lama.
Mereka bisa mati kehabisan air dan makanan!”
Letkol Agam menatap peta topografi pulau. “Kalau kita tidak bisa masuk dari pantai, mungkin kita bisa coba dari udara. Tapi helikopter hanya bisa mendarat jika ada celah terbuka, dan itu terlalu berisiko kalau suku pemanah itu menganggap kita musuh.”
Seorang kru mengangkat tangan.
“siap..komandan...saya baru saja memantau jalur sungai kecil yang mengarah ke tengah pulau. Aliran airnya tenang. Mungkin kita bisa kirim tim kecil menyusup lewat situ...malam hari, tanpa suara.”
Kapten mengangguk pelan.
“Siapkan rencana darurat. Kita akan diskusikan dengan tim pengendali pusat.”
Sementara itu Di Dalam Pulau
Pak Jono duduk di balik akar pohon besar bersama Gilang dan Jefri.
Wajah mereka hitam penuh jelaga, tangan penuh luka.
“Kalian denger itu?” tanya Jefri lirih. “Kayak… suara sirine…”
Gilang mengangguk.
“Aku lihat cahaya putih dari kejauhan tadi malam. Bukan obor. Bukan api. Mungkin kapal SAR.”
Pak Jono menunduk.
“Mereka udah datang… tapi gak bisa mendarat.”
“Kenapa?” tanya Gilang.
“Karena tempat ini bukan pulau biasa, Lang… Kita hidup di antara bangsa yang punya aturan sendiri. Gak bisa seenaknya kita masuk, gak bisa seenaknya mereka keluar.
Dan mereka belum percaya kalau kita bukan ancaman.”
Gilang menghela nafas panjang. Dalam hatinya, ia teringat betapa sulitnya memahami kehidupan di pulau ini,ini sungguh gila.