Mimpi bukan selesai saat sudah meraihnya, tapi saat maut telah menjemput. Aku tidak meninggalkan teman ataupun orang yang ku sayang begitu saja, melainkan mencetak sebuah kenangan terlebih dahulu. Walaupun akan meninggalkan bekas di situ.
Maaf jika aku pergi, tapi terimakasih atas semua kenangan yang kita cetak bersama. Suara tawamu akan selalu bergema, dan senyumanmu akan selalu menjadi canduku. Rela itu tidak semudah sebuah kata saja. Tapi hati yang benar-benar tulus untuk melepaskannya.
Mengikhlaskan? Harus benar-benar melepaskannya dengan merelakannya setulus mungkin.
Seperti biji-biji dandelion yang berhamburan tertiup angin, setelah usai di suatu tempat. Mereka akan kembali tumbuh di berbagai tempat. Entah kita akan dipertemukan kembali atau tidak, setidaknya aku pernah berbahagia karena dirimu.
Ada sebuah kata-kata yang bertuliskan "Di setiap pertemuan pasti ada perpisahan," tapi dengan perpisahan bukan berarti aku dapat melupakan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elok Dwi Anjani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sakit-bahagia
..."Perjuangan ini tidak sia-sia. Tapi berhenti di tengah jalan itu sebuah kegagalan dan mendapatkan sebuah kesia-siaan"...
...•...
...•...
Demi apapun, Naufal mengigit bibirnya bawahnya karena tangannya yang sakit. Rania tadi langsung menarik tangan putranya dan menggigit lengan Naufal sekuat tenaga. Karena rasa cinta dan sayangnya, Naufal tidak apa jika seperti ini, tapi mamanya harus selamat dan terus berjuang.
Keringat mulai membanjiri pelipis Naufal karena menahan rasa sakitnya. Badannya yang masih basah kuyup yang membuat dirinya kedinginan seolah-seolah hilang dan tergantikan rasa panas yang menjulur ke seluruh tubuhnya. Bukan Rania yang ingin berteriak kali ini, tapi Naufal dengan rasa sakitnya.
"Ayo, Bu. Sedikit lagi!" Dokter sudah bersiap untuk mengangkat tubuh sang buah hati yang mulai menghirup oksigen dunia.
Tiba-tiba suara tangis bayi langsung memenuhi ruangan dengan Naufal yang tergeletak lemah di samping ranjang. Ia melirik tangannya yang mengeluarkan sedikit darah dan tersenyum ke arah adik barunya. Tubuh bayi tersebut masih merah. Cantik, rambut yang lebat, bibir yang mungil, bahkan hidung dan matanya mirip dengan Naufal.
Fino mengelus rambut Rania dan mengecup kening istrinya yang mengontrol pernafasannya. "Makasih, sayang."
Rania hanya bisa mengangguk dan memejamkan matanya untuk beristirahat. "Lho? Dok! Mama saya kenapa?" tanya Naufal yang panik melihat Rania.
"Jangan berisik! Tangan kamu asin." pinta Rania dengan mata yang sedikit terbuka.
"Aku abis kecebur di pantai tadi." Naufal cengengesan dengan melihat keadaannya yang basah dan sedikit pasir pantai yang menempel.
Dokter terkekeh dengan memberikan bayi tersebut ke tangan Fino yang sudah siap menerimanya. Ia menaruh di dada Rania dan membiarkan istrinya melihatnya terlebih dahulu. Bayi tersebut juga mendengar detak jantung sang mama walaupun masih dalam keadaan menangis.
"Bisa ikut dengan saya? Tangannya perlu diobati," pinta suster kepada Naufal.
"Bentar." Naufal menatap adik kecilnya yang sangat mungil dengan tersenyum. Ia sudah menjadi seorang abang dan harus menjaga perempuan keduanya yang ia sayangi setelah Rania.
Setelah itu, Naufal berjalan keluar ruangan bersama suster dan langsung mendapatkan tatapan aneh dari teman-temannya yang juga panik di ruang persalinan. Bukankah Rania yang melahirkan? Lalu mengapa Naufal yang berdarah di lengannya?
Berbagai pertanyaan mulai muncul di otak mereka dan menatap Naufal yang menjauh untuk mengobati lukanya. Suster tersebut memberi instruksi agar Naufal duduk di sebuah sofa dan akan kembali dengan peralatan dan benda-benda untuk mengobati lengannya. Naufal sedikit meringis saat sebuah cairan yang suster berikan mengenai lukanya. Setelah itu, lukanya di tutup dengan perban karena sedikit lebar.
Suara helaan nafas Naufal terdengar saat suster selesai dengan lukanya. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran dengan merasa lega dan mengelap keringatnya dengan tisu yang berada di sebelahnya.
"Kenapa lo? Kok tangan lo tadi berdarah?" tanya Zea yang memasuki ruangan.
"Nggak apa-apa, cuman luka biasa aja."
Zea menghela nafasnya lega dan duduk di sebelah sofa kecil di ruangan tersebut. "Semuanya lancar, kan?"
Naufal mengangguk. "Iya."
"Cewek apa cowok?"
"Cewek, tapi persis kayak gua. Mungkin gua versi cewek itu."
"Iyain, semoga aja sifatnya nggak persis."
"Emang kenapa?"
"Nanti bar-bar kayak lo."
Suara tawa Naufal terdengar setelah Zea mengucapkan hal tersebut. "Ya, biarin. Daripada jadi pendiam.."
"Bener sih, tapi jangan sampai persis kayak elo."
"Gua harap juga jangan sampai mirip, nanti nggak asik kalau samaan," balas Naufal menatap Zea.
"Btw selamat, ya? Udah jadi Abang aja lo," kata Zea.
"HAHAHAHA. Makasih."
"Ciee.... Yang baru jadi Abang...," goda Sheila di ambang pintu. "Ajarin yang baik-baik, jangan yang aneh-aneh."
Naufal hanya mengacungkan jempolnya dan tidurnya di tempatnya. Zea dan Sheila pun saling melirik. "Ngapain lo?" tanya Zea.
"Istirahat bentar, raga dan hati gua capek," jawab Naufal menutup matanya.
Farhan baru saja memasuki ruangan dan meletakkan bukunya. "Fal! Jangan lupa dikasih nama yang bagus."
Naufal mengangguk. "Kalau bisa campuran nama Indonesia sama Jepang."
...••••...
"Kemana kak Zea? Yang lainnya juga kemana?" tanya Arden melihat gazebo yang sepi.
"Ke rumah sakit," jawab Kezia.
"Ngapain? Ada yang sakit?"
"Bang Naufal mau punya adik."
Arsa dan Arden mengembangkan senyumannya. "Beneran? Nggak bohong kan? Adik kecil yang lucu?!" Cerocos Arsa.
Kezia mengangguk dan meletakkan batu kecil di rumah pasirnya yang lebih mirip rumah Patrickstar di kartu Spongebob Squarepants. "Bagus, kan?"
"Iya, bagus. Cuman setengah lingkaran," balas Arsa.
Kezia tertawa kecil. Anna dan Thea baru saja menyelesaikan mainannya yang hanya mencetak pasir dan menjejerkan cetakan-cetakan tersebut di atas pasir datar. Leon bahkan menambahi hiasan dengan menggambar sesuatu di atas pasir dengan berbagai macam gambaran. Ada bunga kecil, love, bintang, dan kupu-kupu.
Tidak tertinggal, Adara justru menggambar rumah daripada membuat rumah dari pasir dengan kayu kecil yang ia seret dan goreskan ke pasir. Ia juga menambahkan sebuah tulisan yang tidak diketahui oleh teman-temannya. Yaitu, '"étoile" yang berartikan Bintang dari bahasa Prancis.
"Itu apa, kak?" Tanya Anna.
"Ada deh.."
...••••...
"Balik sekarang ya, Riel? Udah mau jam dua belas ini," pinta Arlan.
Walaupun raut wajah Variel sedih, tapi ia mengangguk karena ini juga demi dirinya dan juga abangnya agar tidak mendapatkan semburan kasih sayang. Mereka berjalan menuju rumah dan menatap sekitarnya yang terlihat orang-orang masih bersenang-senang tanpa keterbatasan waktu.
Setelah sampai, Arlan dan Variel membersihkan kaki mereka dan naik ke tempat tidur masing-masing. Ini jam 11.45 yang benar saja Arlan menyuruhnya pulang. Tiba-tiba pintu kamar Arlan terbuka dan menampilkan Gio yang sedang menatapnya. "Saya mau keluar, mungkin nanti malam baru pulang."
Arlan hampir saja kaget dan mendudukkan dirinya. Setelah mengucapkan hal tersebut, Gio langsung melenggang pergi begitu saja. Sebuah senyuman tercetak jelas di wajah Arlan kala itu juga. Ia bisa bersenang-senang dengan Variel tanpa membaca buku pelajarannya dalam beberapa waktu ke depan.
"Papa mau keluar?" tanya Variel yang mendengarkan ucapan Gio karena kamarnya bersebrangan dengan Arlan.
Arlan menganggukkan kepalanya. "Buat sesuatu yuk?"
"Apa?"
"Cemilan-cemilan aja yang simpel. Bentar." Arlan meraih ponselnya dan membuka web untuk mencari sebuah resep cemilan yang mudah ia buat. Buat roti goreng isi coklat lumer aja gimana?"
Variel langsung mengangguk senang jika itu ada sangkut-pautnya dengan coklat, apalagi roti yang selalu ia makan jika tidak ingin makan nasi. "Mau! Langsung buat sekarang!"
Arlan tersenyum dan mengajak Variel ke dapur untuk membuat roti goreng isi coklat lumer tersebut. Cukup mudah untuk membuatnya, bahkan tidak membutuhkan tenaga ekstra untuk membuatnya, cukup santai dan nikmati prosesnya.
Satu roti tawar yang diisi coklat kecil-kecil dan di tumpuk roti tawar lagi. Setelah itu, bentuk lingkaran dengan menekan bagian tengah dengan gelas yang diameternya cukup besar hingga kedua roti tawar saling menempel dan isian coklatnya tidak keluar.
Jika sudah selesai mengulanginya terus-menerus hingga jumlah yang diinginkan, celupkan roti tawar yang sudah jadi tersebut ke dalam kocokan telur lalu baluri seluruh permukaannya dengan tepung roti. Kemudian goreng dengan minyak panas hingga kuning keemasan.
Sebuah aroma wangi tiba-tiba masuk ke indera penciuman Variel yang membuatnya tidak sabar untuk mencobanya. Arlan meletakkan roti yang sudah jadi setelah meniriskan di piring. Ia meletakkannya di depan adiknya yang menatap piring tersebut dengan mata berbinar. "Pelan-pelan, panas itu."
Variel mengangguk paham dan memilih untuk menunggu abangnya selesai menggoreng. Setelah Arlan menggoreng, ia melepaskan celemek nya dan duduk di samping adiknya. "Cobain, mungkin udah. Gcak terlalu panas.."
Tangan Variel pelan-pelan mengambil salah satu dan ternyata sudah tidak terlalu panas. Ia mulai menggigit potongan kecil dan langsung merasakan coklat yang lumer. Ia mengangguk-anggukan kepalanya dengan mengacungkan jempolnya ke abangnya. "Enuwak!"
Arlan tersenyum simpul dan ikut juga merasakan. Walaupun cemilan sederhana, setidaknya dapat menyenangkan adiknya yang masih ingin jalan-jalan dan jajan di luar sana.
...••••...
Fino mondar-mandir di samping tempat tidur Rania dengan otaknya yang sedang berpikir keras untuk memberikan nama apa kepada putri kecilnya. "Apa ya, Ma?"
"Nggak tau, orang kecapekan kok disuruh mikir," balas Rania.
Naufal tiba-tiba memasuki ruangan dengan Zea dan Sheila di belakangnya. Sementara itu, Arzan, Garrel, dan Sean hanya duduk di depan ruangan dengan menyandarkan punggungnya karena lega akhirnya selesai juga.
"Lagi mikir buat namanya?" tanya Naufal kepada sang Papa yang mondar-mandir.
Tiba-tiba Fino memiliki ide dan mulai merangkai nama lengkapnya. "Gimana kalau... Stefania...Agatha? Bagus, nggak?"
Naufal mengetuk-ngetuk dagunya berpikir. "Bagus juga."
"Bagus kok om," balas Sheila yang diangguki Zea di sampingny. "Panggilannya?"
"Efa, Fani, atau nama belakangnya, Agatha?" jawab Fino.
"Boleh-boleh, padahal aku mau kasih nama unsur Jepang nya," ujar Naufal.
"Gimana?"
Naufal berpikir sejenak mengenai sesuatu. "Gimana kalau nam belakangnya dikasih" Kiarra?"
"Kiarra?" beo Fino.
"Iya, artinya beruntung."
"Stefania Agatha Kiarra," ulang Zea. Ia mengangguk-anggukan kepalanya tanda setuju. "Bagus kok, Om."
"Iya, bagus tuh! Nggak sekalian dikasih marga Izumi?" balas Rania.
Zea terkekeh mendengarnya. "Izumi siapa, Tan?"
"Izumi Agatha."
Fino geleng-geleng kepala mendengarnya. Istrinya ini tidak jauh beda dengan Naufal yang suka ngelawak dan menyukai anime saat senggang. Bahkan kasur kamarnya saja bergambarkan Kurama kecil yang lucu.
"Kok lama ya?" tanya Arzan.
"Udah! Tunggu aja, jangan ngerombol di dalam. Kasihan Tante Rani kalau terlalu ramai, takutnya menganggu," kata Sean.
Garrel hanya mengangguk setuju dengan ucapan Sean. Bola matanya menangkap seorang gadis yang tidak asing menurutnya. Gadis yang ikut mendorong tempat tidur yang terdapat seorang pria yang penuh dengan darah di kepalanya dengan wajahnya yang pucat. Seorang petugas penjaga dan para suster juga ikut mendorong yang diikuti dokter Farhan di belakangnya.
Gadis tersebut terduduk di bangku depan ruangan untuk menunggu pria itu diperiksa oleh dokter. Garrel sempat bingung sebelum membulatkan matanya. Gadis yang lama tidak ia lihat karena meninggalkan tempat yang mencetak banyak kenangan bersama Ezra dan teman-temannya sebelumnya. Dialah, Aza.
Mungkin Zea juga masih mengingatnya.
Aza menangis dengan tangan yang bergetar hebat dan menutup kedua telinganya. Ia sangat takut terjadi sesuatu kepada Bapak Awannya yang sangat ia sayangi. Ia tidak ingin terjadi suatu hal yang sangat buruk untuk pria tersebut. Aza sangat takut, benar-benar takut hingga ia juga meremas rambutnya yang acak-acakan.
...••••...
...TBC....