"Hans, cukup! kamu udah kelewat batas dan keterlaluan menuduh mas Arka seperti itu! Dia suamiku, dan dia mencintaiku, Hans. Mana mungkin memberikan racun untuk istri tersayangnya?" sanggah Nadine.
"Terserah kamu, Nad. Tapi kamu sekarang sedang berada di rumah sakit! Apapun barang atau kiriman yang akan kamu terima, harus dicek terlebih dahulu." ucap dokter Hans, masih mencegah Nadine agar tidak memakan kue tersebut.
"Tidak perlu, Hans. Justru dengan begini, aku lebih yakin apakah mas Arka benar-benar mencintaiku, atau sudah mengkhianatiku." ucap Nadine pelan sambil memandangi kue itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon alfphyrizhmi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 12 - Pembuktian Cinta sang Dokter
"Bukan, Pak! Ini ulah mertua saya!" jawab Nadine tegas.
Setelah menjawab hal tersebut, wajahnya mulai menggambarkan kekhawatiran,
"Mereka selalu jahat kepada saya, Pak. Dan terkadang, saya merasa takut berada di rumah megah itu," kata Nadine jujur.
"Takut kenapa?" selidik petugas. Semakin mendekatkan wajah ke arah Nadine.
Nadine menggelengkan kepala. Wajahnya nampak serius menampakkan ketakutan. Ia semakin menggenggam erat jemari Hans.
Di lain sisi, Hans yang tidak menyangka dapat merasakan tingkat ketakutan Nadine sudah sampai sejauh itu, merasa tambah kesal dan emosi. Ia menduga bahwa, selama dua minggu di kediaman Arka, Nadine seolah merasakan neraka dunia!
Hans coba meredakan emosinya, lebih memilih bersikap tenang dan menenangkan Nadine.
"Kamu nggak usah takut dengan apapun, Nad. Ada para polisi baik di depan kita. Mereka akan bantu menegakkan keadilan, tanpa pandang bulu. Tanpa melihat kekuasaan atau siapa dibalik dalang kejahatan itu. Selain itu, aku selalu di sisimu dan akan menjagamu."
Ucapan Hans rasanya menjadi jaminan terkuat bagi Nadine memberikan kesaksian secara jujur dan terbuka.
"Karena mungkin mereka punya kekuasaan dan kenalan orang penting. Perusahaan mereka juga selalu masuk berita karena saking terkenalnya. Saya sangat kesal, tapi cuma sebatas takut dan mengutuk diri sendiri, pak. Belum berani angkat bicara seperti sekarang ini," Nadine mengungkapkan sebuah fakta, sekaligus curhat atas keluh kesahnya selama ini.
"Oh, baik. Ternyata seperti demikian permasalahannya. Asal ibu Nadine tahu, itulah ucapan yang selalu dikatakan mereka, orang-orang yang merasa lemah. Memang wajar. Tapi, jangan khawatir, sebisa mungkin kami akan beri perlindungan,” janji petugas itu pada Nadine.
Setelah selesai menginterogasi Nadine dan Hans, para polisi pamit undur diri. Hans meminta tim medis memberikan sample racun yang telah diambil dari tubuh Nadine maupun Bu Minah, juga sample dari kue cokelat kiriman Arka, kepada para polisi.
Hans juga meminta perawat yang mengantar kue itu untuk diinterogasi, berikut nama pengirim, serta kurir yang mengirim paket tersebut. Semua akan dicek melalui cctv dan juga dianalalisis lebih lanjut oleh pihak kepolisian.
"Saya ucapkan terima kasih banyak dokter Hans, Ibu Nadine, IBu Minah, serta para perawat dan tim medis, atas kerjasama dan bersikap kooperatif dalam kesaksian kasus ini. Saya akan berupaya keras untuk keadilan atas kasus ini." kata petugas itu sekaligus izin pamit.
"Terima kasih juga pak, atas kerja kerasnya. Kami tunggu hasilnya." ucap Hans dengan menaruh harapan besar, sekaligus misi besar yang tersembunyi.
Para polisi akhirnya pamit dengan membawa beberapa barang bukti untuk diperiksa lebih lanjut, dan akan mengabarkan dokter Hans secepatnya.
------
Malam pun tiba, karena berbagai alasan dan keamanan pasien, dokter Hans meminta supaya salah satu ruang ICU yang diisi oleh Nadine dan Bu Minah, harus dijaga ketat oleh dua satpam rumah sakit.
Memang terkesan berlebihan dan lebay. Tapi protokol ini sengaja dokter Hans terapkan, karena sebegitu cinta dan sayangnya kepada Nadine. Di lain sisi, ia khawatir Nadine mendapat kiriman lain yang akan membahayakan nyawa sang pujaan hatinya itu.
Malam semakin larut, ruang ICU semakin sepi. Hanya menyisakan Hans, Nadine, dua orang perawat, serta Bu Minah yang sudah terlelap dalam mimpi.
Hans memilih berjaga pada kursi di sisi ranjang Nadine. Matanya tak pernah lepas dari pengawasan bunga hatinya itu.
"Dokter kayaknya sayang banget sama dia, ya? Soalnya kelihatan tulus dan effort banget pengorbanannya." tanya salah satu perawat.
Hans mengangguk pelan, “Sejak kecil aku sudah mencintainya. Bisa dibilang, Nadine adalah cinta pertama dan cinta satu-satunya dalam hidupku. Bahkan, rasa itu nggak pernah pergi sampai sekarang. Justu semakin hari semakin kuat."
"Wah, pasti kalau ibu Nadine mendengar hal ini, akan memerah pipinya. Perempuan manapun akan mati dalam keadaan bahagia, jika mendapatkan cinta sebesar itu dari seorang laki-laki." ucap sang perawat, membuat kondisi Hans semakin tenang.
"Oh, benarkah?" pancing Hans, memastikan.
"Iya, dok. Salah satu impian kami, para perempuan, adalah mendapatkan cinta maksimal dari seorang laki-laki. Bahkan kalau bisa, aampai-sampai bagi si lelaki itu, nggak ada perempuan manapun yang bisa menandinginya dalam mendapatkan cinta lelaki tersebut."
Hans hanya mengangguk dengan senyum ke arah Nadine.
"Aku iri dengan bu Nadine." curhat perawat itu, sambil menjaga Nadine dan Bu Minah yang sedang istirahat, terlelap dalam mimpi masing-masing.
"Suster nggak usah iri begitu, saya yakin pasti nanti dapat cowok yang baik juga, kok. Percayalah!"
"Tapi, dalam kondisi ini, saya pun harus tahu dan sadar diri, sus. Mungkin saja hati Nadine memang sudah sepenuhnya untuk Arka. Sehingga tidak ada celah untukku mengetuk." lanjutnya dengan nada pasrah.
"Namun, saya pun dalam posisi sudah nanggung nyemplung ke medan perang, nggak bisa mundur sekarang!" tambah dokter Hans, kedua perawat itu hanya mendengar saja.
Obrolan santai diantara mereka tidak melanggar rambu apapun, dan cukup menenangkan.
“Cinta bisa jadi obat… atau racun. Kalian tahu itu." kata Hans
"Dan aku harap… untuk Nadine seorang, aku masih bisa jadi obat." tutupnya.
------
Setelah lima hari menjalani perawatan intensif di rumah sakit (yang seharusnya tiga hari, karena ada insiden keracunan makanan, akhirnya nambah dua hari), Nadine akhirnya diperbolehkan pulang.
Wajahnya masih menunjukkan bekas luka akibat siraman air keras, juga balutan kain kasa yang belum boleh dibuka, sesuai saran dokter Hans. Sehingga siapapun yang melihatnya, merasa seolah melihat orang dengan wajah setengah mumi.
Namun, semangatnya untuk kembali ke rumah tetap kuat. Ia masih berharap setitik asa, secuil apapun cinta di hati Arka, suami yang tega mengirimnya paket berupa kue beracun itu.
Hans, dokter sekaligus sahabat semasa kecil yang telah merawatnya dengan penuh perhatian, berdiri di samping ranjangnya, memastikan Nadine benar-benar siap untuk pulang.
"Aku sebenernya ingin kamu lebih lama di sini, Nad. Supaya mendapatkan pemulihan maksimal." ucap Hans lirih.
"Nggak usah, Hans. Lima hari biaya pengobatan dan perrawatanku pun, sangatlah mahal. Aku tahu berapa kisaran nominal itu. Suatu saat pasti akan aku cicil untuk lunasi, ya. Kamu mohon bersabar sampai saatnya tiba." kata Nadine sungguh-sungguh, matanya berbinar.
Hans melihat tekad kuat pujaan hatinya itu, tidak berani protes. Jika dirinya menghalangi, justru yang ada, Nadine akan semakin malu dan seolah harga dirinya telah ia renggut melalui faktor ekonomi.
Hans sangat paham watak keras Nadine, sejak kecil. Jadi, Hans hanya merespon dengan mengangguk saja.
"Terima kasih banyak, Hans. Aku benar-benar berhutang budi padamu. Banyak sekali!" ucap Nadine dengan suara lirih.
Hans hanya tersenyum, terbesit ide nakalnya, "Kamu bisa kok anggap lunas semua itu, Nad. Seratus persen lunas! Tapi dengan satu syarat, cukup mudah, kok!"
"Hah? Benar, Hans?" Bagaimana caranya?" tanya Nadine dengan kegirangan.
"Menikahlah denganku!"
Deg !
Bersambung ......