Series #2
Keputusan Rayden dan Maula untuk kawin lari tidak semulus yang mereka bayangkan. Rayden justru semakin jauh dengan istrinya karena Leo, selaku ayah Maula tidak merestui hal tersebut. Leo bahkan memilih untuk pindah ke Madrid hingga anaknya itu lulus kuliah. Dengan kehadiran Leo di sana, semakin membuat Rayden kesulitan untuk sekedar menemui sang istri.
Bahkan Maula semakin berubah dan mulai menjauh, Rayden merasa kehilangan sosok Maula yang dulu.
Akankah Rayden menyerah atau tetap mempertahankan rumah tangganya? Bisakah Rayden meluluhkan hati sang ayah mertua untuk merestui hubungan mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vebi Gusriyeni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12 : Rasa Yang Tak Terucap
...•••Selamat Membaca•••...
Rayden membawa istrinya ke rumah sakit, melakukan perawatan atas apa yang telah dia lakukan. Semua luka di tubuh Maula sudah diobati dan akan membutuhkan beberapa hari agar bekasnya bisa hilang.
Malam itu, Manhattan bersinar seperti lukisan minyak yang hidup dengan langit bersih, udara dingin mengigit namun segar, dan kota berbisik pelan lewat bunyi langkah kaki di trotoar batu dan denting gelas dari restoran yang menyala hangat di balik jendela besar.
Rayden, dalam balutan coat wol warna batu arang dari Savile Row, menyentuh ringan punggung Maula, yang tampil dalam jaket tweed krem, syal kasmir, dan sepatu kulit yang berkilau samar. Tidak ada logo mencolok atau sopir yang membuka pintu. Hanya dua siluet dari mereka yang memutuskan berjalan kaki di sepanjang Madison Avenue menuju tempat makan malam.
“Sudah lama aku tak berjalan seperti ini,” ujar Maula, menatap barisan toko antik dan galeri seni di kanan-kiri mereka.
“Karena kita terlalu sering dibawa oleh dunia,” jawab Rayden. “Malam ini, kita mencicipi kota seperti lepas dari masalah sejenak, hanya ada kita, perlahan, diam-diam, tanpa tergesa. Yaaa... menikmati hidup lah.”
Tujuan mereka bukan restoran populer, melainkan 21 Club—tempat yang tidak akan dikenali oleh mereka yang hanya mencari kilau. Bekas speakeasy era Prohibition ini telah menjadi favorit presiden, bangsawan, dan investor tua yang makan dengan tenang, ditemani lukisan-lukisan asli dan perabot kayu gelap yang tak berubah sejak 1930-an.
Mereka duduk di Chamber Room, ruangan privat dengan pencahayaan amber, dinding berpanel ek tua, dan meja-meja bundar bersih dengan taplak linen gading. Di sekitar mereka, tamu lain berbicara pelan, sesekali tertawa dengan anggun. Pelayan tua menyodorkan daftar menu kulit hitam ber-embos emas.
Maula membuka dengan Foie Gras Terrine di atas brioche hangat, disandingkan dengan selai bawang karamel dan pistachio.
Rayden memilih Oysters Rockefeller klasik—panggang tiram dengan bayam, mentega, dan taburan parmesan yang dibakar hingga keemasan. Makanan tidak datang berlebihan, namun setiap hidangan ditata sempurna, dengan rasa yang seimbang dan penuh sejarah.
“Tidak ada tempat seperti ini di Madrid,” bisik Maula. “Semua terasa... tua, tapi abadi.”
“Seperti cinta kita,” Rayden menimpali tanpa mengalihkan pandangan darinya.
“Mulai ya kamu.” Rayden hanya terkekeh, untung saja Maula sudah menutupi lebam di wajahnya dengan make up, jadi dia lebih bebas keluar malam ini.
Untuk hidangan utama, Maula memilih Dover Sole Meunière yang disajikan langsung di meja oleh pelayan yang memfiletnya dengan cekatan. Ikan lembut yang digoreng dengan mentega Prancis, lemon, dan peterseli, menghasilkan rasa klasik yang nyaris punah.
Rayden menikmati Duck à l'Orange, bebek panggang dengan kulit renyah, saus jeruk pahit-manis, disajikan dengan kentang fondant dan wortel panggang madu.
Sebotol Puligny-Montrachet 2018 mengalir di antara mereka, dingin dan halus. Anggur putih Burgundy itu bukan simbol status, tapi pilihan pribadi—favorit Rayden sejak kuliah di Eropa.
Sesekali mereka diam, bukan karena kehabisan kata, tapi karena membiarkan rasa menggantikan percakapan. Di ruang seperti ini, kata-kata tidak dibutuhkan untuk memahami satu sama lain.
“Nah, penculikan mafia yang begini yang aku mau.” Rayden mendekap gemas kepala istrinya dan menciumi seluruh wajah Maula.
“Kau mau diculik begini? Sayangnya ini bukan lagi penculikan, istriku sayang.” Maula tertawa dan tawa itu sangat lepas. Rayden sendiri lega melihatnya.
Setelah makanan penutup—Crème brûlée untuk Maula dan cheese plate Prancis-Inggris untuk Rayden, mereka menolak kopi dan memutuskan untuk kembali berjalan kaki.
Keluar dari 21 Club, mereka tidak segera pulang.
Sebaliknya, Rayden mengajak Maula menyeberang ke Grand Central Terminal, yang sudah hampir kosong malam itu.
Di tengah aula utama, dengan langit-langit berwarna teal dan bintang-bintang yang dilukis tangan, mereka berdiri diam. Lantai marmer memantulkan cahaya lampu gantung dan bayangan mereka berdua.
Maula menatap langit-langit raksasa di atas mereka.
Rayden meraih tangan Maula. “Malam ini... rasa yang kita cicipi bukan hanya dari piring tapi dari kota, sejarah dan dari kita sendiri, hidup ini seperti permainan yang kalau kita bermain dengan panas dan tanpa arah, semua akan hancur dan pemain akan kalah.”
“Aku berusaha menjadi pemain kedua tapi sayangnya game ini menjadikan aku pemain utama.” Maula tersenyum setelah mengutarakan hal itu.
“Aku selalu menjadikanmu yang utama Ray, hanya saja... pilihan datang secara tidak menentu dan aku tidak bisa menentukan pilihanku sendiri.” Rayden mengusap lembut kepala sang istri yang kini bersandar di bahunya.
“Aku yang bodoh, harusnya lebih keras lagi melindungimu. Bukannya begini, aku malah menyakiti kamu sampai merusak hidupmu.”
“Itu reaksi spontan dari jiwa seseorang yang telah terbakar amarah. Tidak masalah dan untungnya aku baik-baik saja. Lupakan, malam ini kita hanya akan tertawa bahagia. Oke.” Rayden mencium tangan istrinya dan mengangguk.
Selepas malam ini dijalani dengan baik, Rayden dan Maula memutuskan kembali ke mansion dan di halaman telah terparkir dua mobil mewah milik Leo dan Marlo.
“Aku memiliki kejutan untukmu,” ujar Rayden sambil menarik tangan istrinya masuk. Di ruang tamu sudah ada Leo, Maureen, Marlo, dan Thalia yang baru saja sampai di New York malam ini.
“Papa, Mama.” Maula memeluk keduanya dengan bahagia, penuh haru.
Marlo langsung memeluk Rayden yang saat ini sudah menjadi kakak iparnya.
“Kenapa nggak bilang mau ke sini?” tanya Maula.
“Kami tadi di Las Vegas sedang mempersiapkan semuanya untuk pernikahan kalian. Rayden memaksa untuk kesini dan menjemput kami dengan jet pribadinya. Makanya kami di sini sekarang. Kamu baik-baik saja kan?” Leo memeriksa kondisi anaknya dan semua terlihat baik dan ditutupi dengan rapi oleh Maula.
“Ya Pa, aku baik.”
Mereka sekarang berkumpul di ruang tamu, saling bercanda dan tertawa hangat bagaikan keluarga pada umumnya.
Ketika yang lain mulai mengantuk dan pamit ke kamar masing-masing. Leo dan Rayden bicara berdua, mengemukakan apa yang menjadi kesalahpahaman selama ini.
“Maaf Tuan—”
“Aku ini ayah mertuamu, bukan majikanmu, Ray.” Leo memotong ucapan Rayden, pria itu hanya tersenyum kaku.
“Maaf Pa. Aku sudah berbuat salah dengan mengambil tindakan bodoh pada Maula. Semua terjadi karena egoku untuk memiliki dia seutuhnya.” Leo mendengarkan apa yang dikatakan oleh Rayden, pria itu mengungkapkan semuanya tanpa ada yang ditutupi bahkan apa yang sudah dia perbuat pada Maula semenjak dia bawa ke New York.
“Aku juga sama denganmu Ray, dulu sebelum memiliki Maureen. Aku pernah melakukan apapun agar dia tetap bersama denganku. Tak jarang aku berbuat kasar saat dia ingin lepas dariku. Anggap saja ini karma buruk atas perlakuanku dulu pada Maureen.” Rayden menggeleng.
“Ini bukan karmamu, tapi kesalahan dan kebodohanku.” Leo menepuk pelan pundak Rayden.
“Kita lupakan semua yang pernah terjadi dan fokus untuk hal baik ke depannya. Untuk Isabella, dia tidak akan berhenti mengganggumu, ada baiknya kita antisipasi dengan dia terlebih dahulu. Kau tentu paham cara kerja ibu tirimu itu.”
“Iya Pa, aku mengerti, karena masalah ini aku jadi melupakan dia. Padahal dia yang menjadi sumber masalah dalam semua ini.”
“Istirahatlah karena dua hari lagi kita akan ke Las Vegas dan kau juga harus mempersiapkan pesta di sini bukan?” Rayden mengangguk.
“Aku ke kamar dulu, Pa.”
...•••Bersambung•••...