NovelToon NovelToon
AKU BUKAN USTADZAH

AKU BUKAN USTADZAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Spiritual / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Pelakor / Penyesalan Suami
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: ummu nafizah

"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 12: Cahaya di Ujung Lembah

Langit mendung menggantung rendah di atas perbukitan kecil di Desa Batupute, sebuah daerah terpencil yang hanya bisa dijangkau dengan berjalan kaki melintasi hutan dan sungai kecil. Di sinilah langkah dakwah Aisyah dan Khaerul berlanjut. Setelah pernikahan, mereka memutuskan untuk menjawab undangan dari seorang tokoh tua di desa itu yang menginginkan anak-anak desanya belajar mengaji dan mengenal Islam lebih dekat.

Di punggung Khaerul tergantung tas ransel berisi mushaf dan kitab-kitab dakwah. Aisyah berjalan di sampingnya, sesekali membantu menyeberangi aliran air yang licin. Wajah mereka lelah, tapi mata mereka bersinar, penuh semangat dan harapan.

“Desa ini seperti kembali ke masa awal hijrah Rasulullah,” ujar Khaerul saat mereka melewati rumah-rumah panggung yang jarang dihuni.

“Belum ada madrasah, belum ada guru ngaji, dan sebagian besar warganya belum bisa baca tulis. Tapi justru di sinilah cahaya itu harus dinyalakan,” balas Aisyah sambil menatap sekeliling.

Di hari pertama mereka membuka pengajian, hanya empat anak yang datang. Itu pun karena penasaran, bukan karena ingin belajar. Para orang tua masih memandang curiga. Dakwah dianggap sebagai ancaman terhadap adat lama yang telah bertahan puluhan tahun.

Namun mereka tak menyerah.

Setiap pagi, Aisyah menyambangi rumah-rumah warga. Ia membawa makanan kecil, menyapa dengan ramah, dan menawarkan pengajian untuk anak-anak. Ia bercerita tentang pentingnya huruf-huruf hijaiyah, tentang kisah Nabi Muhammad yang lembut dan bijak. Sedangkan Khaerul mengajak para pemuda desa bertani bersama, sambil menyisipkan nilai-nilai akhlak, pentingnya jujur, dan menjaga salat.

Minggu demi minggu, perlahan anak-anak mulai datang. Lima, sepuluh, kemudian dua puluh. Para ibu mulai memperhatikan perubahan anak-anak mereka yang jadi lebih santun. Bahkan beberapa bapak mulai ikut duduk di pengajian malam hari yang dibimbing Khaerul.

“Ini seperti menanam di tanah kering,” kata Aisyah suatu malam. “Awalnya retak, tapi jika terus disirami, insyaAllah tumbuh.”

Dakwah mereka tak bebas dari tantangan. Suatu malam, batu dilemparkan ke rumah kecil yang mereka tempati. Sebuah ancaman ditulis di kertas dan diselipkan di pintu: Pergi, atau adat kami rusak karena kalian.

Khaerul hanya tersenyum saat membacanya. “Lihatlah, Rasul pun dicaci, dilempari, bahkan diusir dari tanah kelahirannya. Ini... belum seberapa.”

Aisyah menatap suaminya dengan kagum. Di balik wajah teduh itu, ada keberanian luar biasa. Mereka salat malam bersama, memohon perlindungan Allah, sambil menyebut satu per satu nama anak-anak desa yang kini mulai hafal surat Al-Fatihah.

Lalu suatu hari, titik balik itu datang.

Seorang anak bernama Darmi jatuh sakit. Ibunya datang panik ke rumah Aisyah, memohon doa. Aisyah dengan sigap mendampingi mereka ke puskesmas terdekat, membantu mengurus obat, dan menenangkan sang ibu dengan bacaan ayat-ayat Al-Qur’an.

Setelah sembuh, Darmi bersaksi di depan teman-temannya bahwa Aisyah dan Khaerul bukan ancaman. “Mereka bukan orang kota yang sombong. Mereka seperti kita. Tapi mereka punya cahaya.”

Desa Batupute perlahan berubah. Adat masih dipertahankan, tapi nilai-nilai Islam mulai tumbuh bersama akar-akar lama. Pernikahan adat kini disertai khutbah. Kematian diiringi tahlil. Anak-anak tak hanya pandai menumbuk padi, tapi juga fasih membaca Al-Qur’an.

Aisyah membuka kelas perempuan setiap Jumat. Ia mengajarkan tajwid, akhlak, dan kisah-kisah istri Rasulullah. Para ibu yang awalnya takut kini mulai berbagi kisah rumah tangga mereka. Mereka merasa didengar, diberdayakan, bukan dihakimi.

Khaerul pun mulai mengadakan pelatihan pertanian berkelanjutan berbasis syariah. Ia mengajarkan bagaimana bercocok tanam tanpa merusak alam, mengingatkan pentingnya zakat hasil panen, serta bagaimana rezeki yang halal membawa keberkahan.

Ia bahkan merancang konsep koperasi syariah kecil-kecilan, agar para petani tidak terjerat hutang rentenir yang selama ini mencengkeram ekonomi desa. Pelan namun pasti, wajah ekonomi desa mulai berubah.

Ketika Ramadhan tiba, Aisyah dan Khaerul menghidupkan masjid kecil di tengah desa. Tarawih yang awalnya hanya dihadiri lima orang, pada minggu kedua sudah penuh sesak. Anak-anak berlomba menghafal doa, orang tua saling berbagi makanan berbuka, dan suasana kampung berubah jadi lebih hidup.

Puncaknya saat Idul Fitri, Aisyah dan Khaerul mendapat kehormatan menyampaikan khutbah bersama tokoh adat. Di sana, Aisyah menitikkan air mata saat menyampaikan bahwa keberhasilan dakwah bukan pada banyaknya jumlah, tetapi pada tulusnya perubahan hati.

“Jika satu orang berubah menjadi lebih dekat kepada Allah karena kita, itu lebih mulia dari dunia dan seisinya,” ujarnya dengan suara bergetar.

Mata para perempuan desa ikut berkaca-kaca.

Malamnya, Khaerul membawa Aisyah ke pantai Lasonrai yang menghadap ke seluruh desa. Cahaya lampu-lampu kecil tampak berkelip dari rumah-rumah panggung.

“Kita menyalakan lentera,” ujar Khaerul. “Dan lihatlah, satu per satu mulai bersinar.”

Aisyah menggenggam tangan suaminya. “Ini baru awal. Tapi aku yakin, jika Allah ridha, cahaya ini tetap akan bersinar.

Dalam bulan-bulan berikutnya, mereka diundang untuk mengisi kajian di desa sebelah. Anak-anak Batupute yang mulai bisa membaca Iqra' kini menjadi inspirasi. Bahkan kepala desa menawarkan lahan kosong untuk pembangunan madrasah sederhana.

Setiap malam, Aisyah menulis rencana pelajaran, sementara Khaerul membaca referensi tentang metode dakwah Rasulullah. Mereka tumbuh bersama, tidak hanya sebagai suami istri, tetapi sebagai pejuang ilmu dan iman.

Saat badai menerpa pantai Lasonrai, rumah mereka sempat rusak parah. Tapi seluruh warga bergotong royong membantu memperbaikinya. “Ini rumah guru kita,” ujar salah satu pemuda. “Tak boleh lama-lama dibiarkan rusak.”

Dari rumah yang sederhana itulah, ilmu dan cahaya menyebar. Pantai Lasonrai tak lagi hanya jadi tempat anak-anak bermain. Kini, di sore hari, mereka berkumpul di sana, belajar wudhu dan menirukan gerakan salat dari Aisyah. Sambil menghadap ombak, mereka belajar menyebut nama Allah.

Aisyah dan Khaerul tak pernah merasa besar. Mereka tahu perjuangan ini kecil dibanding dakwah para nabi. Tapi mereka percaya, jika setiap insan menyalakan satu pelita, kegelapan sebesar apa pun bisa ditembus.

Dan di tengah peluh, hujan, tawa anak-anak, dan gema azan dari masjid kecil Batupute, mereka tahu satu hal pasti: mereka telah memilih jalan yang benar.

1
Armin Arlert
karya ini benar-benar bikin saya terhibur. Terima kasih thor banyak, keep up the good work!
nafizah: mohon dukungannya yaa
total 1 replies
Aono Morimiya
Aku jadi pengen kesana lagi karena settingan tempatnya tergambar dengan sangat baik.
Nana Mina 26
Membekas di hati
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!