NovelToon NovelToon
Pesona Cinta CEO Tampan

Pesona Cinta CEO Tampan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Terlarang / Cinta pada Pandangan Pertama
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: Mira j

Maura, gadis lugu dari kampung dengan mimpi besar di kota, bekerja sebagai pengasuh nenek dari seorang milyader muda bernama Shaka Prawira. Tak disangka, Maura juga ternyata mahasiswi di universitas milik Shaka. Di balik sikap dinginnya, Shaka menyimpan perhatian mendalam dan mulai jatuh cinta pada Maura—meski ia sudah memiliki tunangan. Terjebak dalam cinta segitiga, Maura harus memilih antara impian dan perasaannya, sementara Shaka berkata,

"Aku sangat menyukaimu, Maura. Aku ingin kau ada saat aku membutuhkanku."

“ anda sudah bertunangan tuan ,saya tidak mau menyakiti hati wanita lain .”

“ Kau tidak akan menyakitinya sayang ,Thalita urusanku ”.

Namun, apakah cinta mampu mengalahkan janji dan status?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 12

Setelah makan malam yang tampaknya lebih banyak diisi diam daripada tawa, Thalita memeluk lengan Shaka erat saat mereka keluar dari restoran. Langkahnya ringan, senyumnya lebar.

“Sha... malam ini jangan antar aku ke apartemenku, ya?” ucapnya dengan nada manja, kepalanya sedikit menyandar ke lengan Shaka.

Shaka menoleh sekilas. “Mau ke mana?”

Thalita tersenyum, menatap Shaka dengan tatapan dalam. “Ke apartemen kamu, lah. Anggap aja... ini malam perpisahan sebelum aku pergi ke Paris.”

Shaka tidak langsung menjawab, hanya membuka pintu mobil untuk Thalita lalu masuk ke kursi pengemudi. Mesin menyala, mobil melaju dengan tenang di bawah lampu jalan yang temaram.

Di dalam mobil, Thalita berbicara pelan, suaranya terdengar seperti bisikan. “Aku bakal kangen kamu, tahu... Sebulan bukan waktu yang sebentar.”

Shaka melirik Thalita sekilas. “Kamu bisa video call kapan aja.”

“Tetep aja beda,” keluh Thalita, menggigit bibir bawahnya. “Gimana kalau aku homesick karena kangen kamu?”

“Kamu nggak pernah homesick pas ke Milan, Tokyo, atau Dubai,” jawab Shaka datar.

Thalita mendesah panjang. “Ya, tapi waktu itu kita masih hangat-hangatnya, Shaka,Sekarang... kamu mulai dingin. Aku cuma butuh bukti kecil kalau kamu masih peduli.”

Shaka tak menjawab. Hanya tangannya yang sempat meraih tangan Thalita dan menggenggamnya sebentar—hangat tapi singkat. Itu cukup membuat Thalita tersenyum lagi.

Sesampainya di basement apartemen, mereka turun dari mobil. Suasana hening menyelimuti lift yang membawa mereka naik ke lantai tempat unit Shaka berada.

Thalita memecah keheningan, dengan suara lebih lembut. “Inget nggak... pertama kali aku nginep di apartemen kamu? Kamu bikinin aku teh mint, terus kita ngobrol sampai jam dua pagi.”

Shaka mengangguk pelan. “Waktu itu kamu baru pulang dari London.”

Thalita tertawa kecil. “Iya. Dan kamu... masih sering peluk aku tanpa alasan. Sekarang, kamu peluk aja kayak mikir seratus kali dulu.”

Shaka tersenyum tipis. “Mungkin aku cuma kelelahan... atau terlalu banyak mikir.”

Pintu lift terbuka. Mereka berjalan keluar dan Thalita masih menautkan tangannya di lengan Shaka.

“Aku cuma mau malam ini jadi malam yang manis. Biar aku bisa bawa kenangan hangat ke Paris,” ucapnya pelan saat mereka memasuki apartemen mewah milik Shaka.

Shaka menatapnya sejenak. “Oke. Malam ini... aku nggak akan kemana-mana.”

Thalita tersenyum lega, lalu berjingkat dan mengecup pipi Shaka dengan lembut. “Thank you, sayang.”

Di dalam apartemen yang sunyi dan remang, Thalita langsung menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Sementara itu, Shaka masih duduk di sofa ruang tengah. Ia bersandar, memejamkan mata sejenak, mencoba menenangkan pikirannya yang sejak tadi terasa kacau.

Bayangan wajah Maura terus mengganggunya—raut kecewa gadis itu seolah menempel di ingatannya. Tiba-tiba Shaka merasa bersalah, meski ia sendiri tak tahu jelas kenapa. Ia menenggak seteguk minuman dari gelas kristal di tangannya, berharap rasa pahit itu bisa meredam gejolak di dadanya.

Pintu kamar terbuka.

Shaka membuka matanya perlahan, dan mendapati Thalita keluar dengan pakaian tidur yang tipis dan sensual—salah satu dari banyak pakaian yang memang sudah ia tinggalkan di apartemen Shaka sejak lama. Rambutnya masih setengah basah, dan aromanya langsung memenuhi ruangan.

“Sayang,” Thalita berjalan mendekat, duduk di samping Shaka sambil menyandarkan kepala di bahunya. “Kamu capek, ya?”

Shaka tidak langsung menjawab. Matanya menatap lurus ke depan, seolah masih terpaku pada sesuatu yang tak terlihat.

Thalita mencolek pipinya manja. “Sha... jangan diam terus dong. Malam ini milik kita. Aku mau kamu fokus ke aku, ya? Besok aku udah harus persiapan buat berangkat.”

Shaka mengangguk singkat. “Iya, aku dengar kok.”

Thalita menarik dagunya agar menatap ke arahnya. “Aku tahu kamu lagi banyak pikiran. Tapi malam ini... cuma kita. Oke?”

Shaka menatapnya sesaat, lalu menghela napas. “Oke.”

Walau ia berkata begitu, hatinya masih terasa kosong. Ada ruang di dalam pikirannya yang masih ditempati oleh satu nama yang bahkan tak seharusnya ada—Maura.

Thalita mendekat perlahan, tubuhnya menempel pada Shaka yang masih duduk bersandar di sofa. Jemarinya yang lentik membelai garis rahang Shaka, sementara bibirnya menyentuh lembut leher pria itu.

“Aku akan sangat rindu kamu selama di Paris…” bisik Thalita di telinganya, suaranya seperti desahan lembut angin malam.

Shaka membuka matanya, menatap Thalita dalam-dalam. “Paris cuma sebulan, Lita . Kamu sudah sering pergi seperti ini,” gumamnya pelan.

“Tapi kali ini rasanya beda. Aku ingin membawa pulang bayangan malam ini bersamaku,” ucap Thalita sambil menarik wajah Shaka untuk membalas ciumannya. Kali ini lebih dalam, lebih menuntut.

Shaka akhirnya membalas. Tubuhnya mulai merespons, meski pikirannya masih setengah melayang pada wajah gadis lain. Tapi kehadiran Thalita terlalu nyata untuk diabaikan. 

Tanpa berkata-kata, Shaka berdiri, mengangkat tubuh Thalita dalam pelukannya. Ia membawanya ke kamar tidur yang terletak di ujung ruangan. Kamar itu gelap temaram, hanya diterangi cahaya lampu samping ranjang yang menyiratkan suasana hangat dan menggoda. Tirai jendela menari pelan terkena hembusan angin malam.

Di dalam kamar, cahaya lampu tidur menerpa kulit pucat Thalita yang kini hanya terbalut lingerie tipis. Shaka menatapnya sejenak.

“Kamu cantik malam ini,” ucap Shaka pelan, suaranya berat.

Thalita tersenyum genit. “Malam ini milik kita, Shaka, Lupakan hal lain.”

Shaka mengangguk, lalu merunduk, membisik di telinganya, “Kamu tahu caramu menyiksaku, kan?”

Thalita membalas bisikan itu dengan ciuman panas di bibirnya. “Kalau itu siksaan, maka kamu harus rela disiksa semalaman.”

Begitu punggung Thalita menyentuh sprei lembut, ia menarik Shaka turun bersamanya. Kemeja Shaka meluncur dari tubuhnya, disusul napas yang mulai memburu di antara desahan pelan. Tubuh mereka saling menyatu, saling mencari, saling melengkapi dalam gerakan yang perlahan namun penuh gairah. Mereka menyusuri malam itu bukan hanya dengan hasrat, tetapi juga dengan pengenalan tubuh dan perasaan yang intens.

Mereka menyatu dalam kehangatan ranjang, tubuh mereka bergerak berirama di atas seprai yang berantakan. Percakapan mereka berubah menjadi bisikan di antara tarikan napas.

Desah dan bisikan pelan menjadi satu-satunya bahasa yang menyelimuti ruang itu. Ranjang berderit pelan mengikuti irama keintiman yang semakin dalam. Dalam dekap dan peluh yang mereka bagi, tak ada yang lain kecuali rasa ingin memiliki dan dimiliki.

“Aku ingin kamu ingat ini saat kamu di Paris,” kata Shaka sambil mengecup bahu Thalita.

“Aku akan mengulangnya dalam pikiranku setiap malam…” balas Thalita, meremas lengan Shaka yang membungkusnya erat.

Malam itu, mereka larut dalam keintiman yang bukan hanya tentang gairah, tapi juga upaya untuk saling memiliki meski hanya sementara.

Pagi itu udara terasa masih sejuk ketika Shaka dan Thalita keluar dari lobi apartemen mewah tempat Shaka tinggal. Thalita yang mengenakan setelan kasual elegan menggandeng lengan Shaka dengan manja. Ia terlihat sangat ceria, antusias dengan rencana keberangkatannya ke Paris.

“Aku excited banget, Sha… Akhirnya fashion show internasional pertamaku!” ujar Thalita sambil menoleh ke arah Shaka, mengulum senyum penuh semangat.

Shaka hanya mengangguk, tangannya membuka pintu mobil untuk Thalita. “Semoga sukses,” katanya singkat.

Setelah masuk ke mobil dan mulai melaju di jalanan kota yang mulai ramai, Thalita kembali bicara, “Kita ke apartemenku dulu ya, aku tinggal ambil koper. Nggak banyak, cuma satu koper kecil dan tas selempang.”

“Ya,” jawab Shaka sambil tetap menatap jalan.

Beberapa menit kemudian mereka sampai di apartemen Thalita. Mereka naik ke atas bersama. Sesampainya di unit Thalita, gadis itu segera masuk ke dalam kamar untuk mengambil barang-barangnya.

Sementara itu, Shaka duduk di sofa ruang tengah. Ia menyandarkan tubuh, berusaha menikmati momen tenang sebelum berpisah sementara dengan Thalita. Namun, saat duduk, ia merasakan seperti ada sesuatu yang mengganjal di bawah bantal sofa.

Dengan rasa penasaran, ia mengangkat bantal itu—dan menemukan sebuah korek api logam berwarna hitam elegan. Wajah Shaka mengeras seketika. Tangannya terhenti memutar korek itu, lalu perlahan ia memandang ke arah kamar Thalita yang masih tertutup.

Thalita tidak merokok, pikirnya.

Raut wajahnya mulai berubah. Sebuah spekulasi muncul di benaknya. Korek api ini… milik siapa?

Ia memasukkan korek itu ke saku celananya secara diam-diam, lalu berdiri ketika mendengar pintu kamar terbuka.

“selesain.” seru Thalita ceria sambil menggulung koper kecilnya ke ruang tamu. “Tinggal kamu antar aku ke bandara, ya?”

Shaka hanya mengangguk. “Ayo.”

Mereka kembali turun ke mobil. Tapi aura Shaka jelas berbeda. Ia jauh lebih pendiam dari sebelumnya. Tangannya menggenggam kemudi, tatapannya kosong sejenak, memikirkan kemungkinan yang membuat dadanya sesak.

Thalita sesekali mencuri pandang, menyadari sikap Shaka berubah. Tapi ia memilih diam, takut merusak suasana sebelum keberangkatannya.

Mobil melaju menembus pagi yang cerah. Di dalam mobil, Thalita bersandar santai sambil menatap keluar jendela, sementara Shaka tetap memegang kemudi dengan tenang.

“Kalau sudah sampai Paris, jangan lupa video call aku ya,” kata Thalita dengan nada menggoda, lalu melirik Shaka sambil tersenyum tipis.

Shaka mengangguk singkat. “Jaga kesehatan. Jadwalmu padat.”

“Yaaa, kamu juga. Jangan terlalu dingin sama orang-orang kantor.” Thalita tertawa kecil, lalu menepuk lengan Shaka manja.

Tak lama kemudian, mereka sampai di bandara. Shaka turun lebih dulu, membukakan pintu untuk Thalita dan membantu menurunkan kopernya. Mereka berjalan berdampingan ke arah pintu keberangkatan internasional.

Saat Shaka hendak duduk di kursi tunggu untuk menemani Thalita hingga boarding, Thalita menahan lengannya. “Nggak usah nunggu. Kamu harus ke kantor, kan? Lebih baik langsung berangkat aja. Nanti aku kabarin kalau sudah sampai Paris.”

Shaka sempat menatapnya ragu, tapi akhirnya mengangguk. “Baiklah.”

Thalita tersenyum lalu memeluk Shaka singkat dan mendaratkan ciuman lembut di pipinya. “Hati-hati di jalan. Jangan mikirin aku terus, ya,” katanya bercanda.

Shaka mencium kening Thalita sebagai balasan, lalu beranjak pergi, langkahnya tenang seperti biasa.

Namun, saat ia hampir keluar dari area bandara, matanya menangkap sebuah mobil hitam berhenti tak jauh dari pintu masuk VIP. Pintu mobil terbuka dan seorang pria turun dari dalam. Shaka memperhatikan dengan tajam.

Wajah itu cukup familiar.

Nathan.

Seorang pebisnis muda yang namanya sedang naik daun di media dan dunia korporat. Shaka mengenalnya sekilas dari beberapa pertemuan di acara bisnis, walau mereka tak pernah terlalu dekat.

Alis Shaka terangkat sedikit ketika menyadari arah langkah Nathan… menuju pintu keberangkatan yang sama seperti Thalita.

Shaka menatap sosok Nathan yang kini berjalan santai melewati area VIP. Dalam hatinya muncul satu pertanyaan yang mengganggu.

“Apa ini hanya kebetulan?”

Namun, ia buru-buru menepis pikiran buruk itu. Ia menghela napas panjang, mencoba berpikir positif. “Mungkin memang ada jadwal bisnis ke Paris juga. Dunia bisnis itu sempit.”

Tanpa menunggu lebih lama, Shaka kembali melangkah menuju parkiran. Ia masuk ke dalam mobilnya, duduk sejenak sambil menyandarkan kepala ke jok.

Matanya terpejam sesaat, mencoba membuang semua prasangka.

Kemudian, ia menghidupkan mesin dan melajukan mobilnya menembus hiruk pikuk pagi yang mulai ramai. Ia melanjutkan perjalanan menuju kantor, meskipun pikirannya masih sedikit terusik oleh korek api yang ia temukan… dan juga sosok pria bernama Nathan yang muncul tiba-tiba di bandara.

Sementara itu, di ruang tunggu bandara, Nathan melangkah cepat dengan sorot mata penuh semangat. Ia mencari-cari sosok yang sudah lama memenuhi pikirannya.

Dan akhirnya... matanya menangkap Thalita yang sedang berdiri sendirian, memandangi layar jadwal keberangkatan.

Senyum lebar terukir di wajah Nathan. Ia segera mempercepat langkah, lalu tanpa ragu memeluk Thalita dari belakang. Pelukannya erat, penuh rindu yang tertahan.

Thalita sempat terkejut, tubuhnya menegang sesaat. Namun saat menoleh dan melihat siapa yang memeluknya, wajahnya langsung bersinar ceria.

“Nathan…” ucapnya pelan, disertai senyum manja.

Ia segera berbalik dan membalas pelukan itu. Kedua tangan mereka saling menggenggam, dan tanpa ragu Thalita mencium bibir Nathan dengan mesra, seolah melepas rindu yang menumpuk selama ini.

Mereka larut dalam kehangatan yang terasa sangat intim, tak peduli dengan sekitar. Ini adalah momen mereka—momen yang telah lama dinanti Nathan.

1
Petir Luhur
lanjutkan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!