NovelToon NovelToon
Cinta Yang Dijual(Suami Bayaran) By Leo Nuna

Cinta Yang Dijual(Suami Bayaran) By Leo Nuna

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Nikah Kontrak / Crazy Rich/Konglomerat / Cinta Paksa / Cinta Beda Dunia / Wanita Karir
Popularitas:718
Nilai: 5
Nama Author: Leo.Nuna_

Prolog:
Claretta Fredelina Beryl adalah seorang wanita dewasa yang belum juga menikah di usianya yang ke 28 tahun.

Dan karena itu Letta sering kali di teror dengan pertanyaan "kapan nikah?" Bahkan keluarga besarnya sampai mengatur sebuah perjodohan dan kencan buta untuknya, tapi dengan tegas Letta menolaknya namun tetap saja keluarganya menjodoh-jodohkannya.

Tanpa keluarga Letta ketahui, sebenarnya Letta mencintai seorang pria namun sayangnya pria itu bukanlah pria yang berstatus lajang. Yah, Letta mencintai seorang pria yang sudah menjadi seorang suami. Meskipun Letta mencintai pria itu Letta tidak pernah memiliki niat untuk menjadi orang ketiga dalam hubungan pria itu.

Lalu bagaimana jika tiba-tiba Letta berubah pikiran? Apa yang menyebabkan Letta berani menjadi orang ketiga di rumah tangga yang harmonis itu? Yuk simak ceritanya!
Selamat Membaca Guy's!

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leo.Nuna_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Part 12 (Saat Dunia Mulai Runtuh)

Happy Reading (⁠。⁠•̀⁠ᴗ⁠-⁠)⁠✧

⋇⋆✦⋆⋇

Zidan menarik napas dalam, berusaha menenangkan detak jantungnya yang berpacu kencang. Ia menatap sekeliling, menyadari banyak tetangga yang masih menonton dalam diam. Dengan suara berat, ia berkata lirih namun tegas, "Masuk sekarang!"

Zidan menoleh, memandangi ibunya yang tampak pucat dan gemetar di pelukan Aya. Hatinya seperti diremas. Dengan sigap, ia menghampiri keduanya dan memegang lengan ibunya dengan lembut.

“Bu, ayo masuk dulu. Udah cukup...” suaranya pelan, namun penuh tekanan.

Aya membantu menopang tubuh ibunya, dan mereka semua masuk ke dalam rumah kecil itu. Begitu pintu ditutup, suasana di dalam seketika menjadi tegang. Sunyi. Tapi bukan sunyi yang menenangkan—melainkan sunyi yang menyimpan ledakan.

Zidan berdiri membelakangi pintu, kedua tangannya mengepal. Ia mencoba bicara, tapi suaranya justru terdengar pecah. “Kamu tahu apa yang barusan kamu lakukan, Fel?”

Felicia berdiri di sudut ruangan, gelisah. “Aku nggak ada pilihan, Mas...”

“NGGAK ADA PILIHAN?!” bentak Zidan, membuat Ibu yang duduk di sofa langsung tersentak. Aya menggenggam tangan sang ibu, mencoba menenangkannya.

Zidan menatap Felicia dengan sorot mata yang tak lagi bisa menyembunyikan amarah. “Kamu bisa jelasin sekarang,” ucapnya pelan, tapi tajam.

Felicia mulai menangis, namun bukan air mata penyesalan—lebih karena ketakutan. “Aku terpaksa... Waktu itu uang dari kamu udah habis, aku nggak tahu harus gimana... Aku cuma pengen sedikit bahagia, Mas. Aku nggak kuat hidup susah terus...”

Zidan mengangkat tangan, menunjuk ke arah Felicia. “Kamu egois, Fel. Kamu nggak pikirin siapa-siapa selain dirimu sendiri!”

“Kalau Mas ngerasa aku beban, kenapa dulu nikahin aku?!”

Ucapan itu membuat Zidan membeku sejenak. Hening. Tapi kemudian ia tertawa getir, menunduk.

“Salahku... mungkin memang salahku, terlalu percaya sama orang yang nggak tahu artinya berjuang.”

“Terserah Mas mau ngomong apa!” Felicia berteriak, suaranya naik satu oktaf. “Tapi aku nggak akan terus jadi perempuan yang cuma duduk di rumah, nunggu sisa uang dari Mas kayak pengemis!”

“Berhenti, Fel! Kamu udah kelewatan!”

Tiba-tiba terdengar suara napas berat dari arah sofa. Zidan dan Felicia menoleh bersamaan—Ibu Zidan memegangi dadanya, tubuhnya menegang, wajahnya pucat.

“Ibu?!” Aya langsung panik. “Mas! Ibu kenapa?!”

Zidan berlari menghampiri, langsung menopang tubuh ibunya yang mulai limbung. “Ibu!”

“Ibu! Tolong tahan, Bu, aku antar ke rumah sakit sekarang!” ucapnya panik.

Felicia terpaku, wajahnya seketika pucat pasi.

Tanpa banyak berpikir, Zidan langsung menggendong ibunya dan berlari keluar. Aya menyusul di belakang, dengan wajah cemas yang tak kalah dari kakaknya. Sementara Felicia hanya berdiri terpaku di depan pintu rumah, tangannya gemetar, hatinya hancur oleh rasa bersalah yang tak lagi bisa ditutupi oleh gengsi atau pembenaran.

Beberapa tetangga membantu membuka jalan. Salah satu dari mereka menawarkan mobil untuk mengantar Zidan ke rumah sakit.

Sampai di IGD, Zidan langsung berlari masuk membawa ibunya yang hampir tak sadarkan diri. Suasana menjadi semakin kacau. Perawat bergegas menyambut mereka, dan tubuh renta sang ibu segera dibawa masuk ke ruang perawatan darurat.

Zidan terdiam di kursi tunggu rumah sakit. Tangannya mengepal, wajahnya kusut, dan mata sembab. Beban yang ia pikul terasa menekan keras dadanya—utang, pekerjaan, istri yang terus berulah, dan kini... nyawa ibunya.

Dunia Zidan runtuh perlahan—tapi ia tahu, menyerah bukan pilihan.

Sementara itu, di tempat lain, Letta baru saja selesai membersihkan diri. Rambutnya masih setengah basah ketika suara dering ponsel memecah keheningan malam. Nada dering itu terdengar nyaring dan mendesak.

Letta melirik layar ponsel. Nama Etan tertera jelas di layar. Letta mengernyit—jarang sekali asistennya menelepon malam-malam begini, apalagi setelah jam kerja. Dengan sedikit rasa waswas, ia menggeser layar untuk menerima panggilan.

“Ya Etan?” sapanya.

“Maaf mengganggu, Nona,” suara Etan terdengar serius di seberang, “tapi saya rasa ini sangat penting. Saya baru saja menerima laporan terbaru tentang Bu Felicia, istri Pak Zidan.”

Letta langsung duduk di tepi ranjang, raut wajahnya berubah tegang. “Ada apa? Katakan saja.”

Etan tak membuang waktu. Ia menjelaskan secara singkat namun rinci: dari tumpukan utang Felicia, cicilan yang menunggak, hingga transaksi keuangan mencurigakan yang melibatkan beberapa kredit konsumtif atas nama Felicia. Tapi bukan itu yang paling mengejutkan.

“Dan… ada kejadian baru, Nona,” sambung Etan pelan. “Hari ini, Bu Felicia sempat membuat keributan di depan rumah Pak Zidan. Beberapa tetangga menjadi saksi, dan... pertengkaran itu memicu kondisi ibunda Pak Zidan yang langsung memburuk dan harus dilarikan ke rumah sakit.”

Letta membisu. Nafasnya tercekat. Untuk beberapa detik, ia hanya bisa menatap ke depan dengan pandangan kosong. Tak ada suara selain detak jarum jam di dinding dan dengung samar AC kamar.

“Rumah sakit mana?” tanyanya pelan.

“Saya sedang pastikan, tapi kemungkinan besar RSUD daerah tempat tinggal mereka.”

Letta menutup mata sesaat, mencoba mengatur napasnya. Ada gelombang emosi yang naik pelan-pelan—cemas, marah, dan… entah perasaan apa lagi yang belum bisa ia definisikan.

“Terima kasih, Etan,” ucapnya akhirnya. “Terus kabari aku… semua perkembangan, sekecil apa pun.”

“Baik, Nona.”

Begitu panggilan berakhir, Letta terdiam, menatap layar ponselnya yang perlahan meredup. Suara Etan masih terngiang-ngiang di telinganya, bersamaan dengan bayangan wajah Zidan. Pikirannya berputar liar, dipenuhi rasa gelisah, empati… dan sebuah keputusan yang mendadak muncul dari dalam dirinya.

“Cukup,” gumam Letta lirih, tapi penuh tekad. Tatapannya mengeras. “Sudah cukup semua ini. Aku akan bebaskan dia dari beban yang bukan miliknya.”

Kalimat itu meluncur dari bibirnya dengan mantap—seolah bukan hanya pernyataan, tapi janji. Sebuah niat yang mulai menjelma menjadi rencana. Rencana yang akan mengubah banyak hal: hidup Zidan, nasib Felicia, dan bahkan… Letta sendiri.

Tanpa ragu, Letta kembali meraih ponselnya. Jarinya bergerak cepat mengetik pesan singkat untuk Etan.

“Etan, tolong atur pertemuan antara aku dan perempuan itu.”

Hanya satu kalimat. Singkat, namun sarat makna. Letta tahu ini bukan sekadar pertemuan. Ini adalah awal dari sebuah konfrontasi. Sebuah batas yang akan ia tapaki demi satu hal: keadilan bagi seseorang yang terlalu lama memikul beban tanpa suara.

Jika Letta mulai merasa lega karena menemukan celah dalam hubungan Zidan dan Felicia, maka berbeda halnya dengan Zidan. Di lorong rumah sakit yang sunyi dan dingin, ia masih diliputi kegelisahan. Matanya tak lepas dari pintu ruang pemeriksaan, sementara jari-jarinya mengepal, mencoba menahan kecemasan.

Aya duduk di sampingnya, juga tampak cemas.

Tak lama kemudian, seorang dokter keluar dari ruang periksa. Spontan, Zidan dan Aya bangkit berdiri.

“Dok, bagaimana kondisi ibu saya?” tanya Zidan cepat, suaranya bergetar.

Dokter itu mengangguk kecil, lalu menghela napas sebelum menjelaskan. “Untung saja serangan jantung yang dialami Bu Puspa tergolong ringan. Tapi tetap harus hati-hati ke depannya. Kami akan memindahkan beliau ke ruang rawat malam ini.”

Zidan mengangguk lega, meski wajahnya masih tegang.

“Tapi sebelum itu, mohon untuk segera mengurus administrasinya,” tambah sang dokter, sebelum beranjak kembali ke ruangannya.

Ucapan itu membuat Zidan tersentak. Wajahnya seketika menegang kembali, seolah diingatkan pada kenyataan pahit: ia tak punya cukup uang untuk membayar biaya perawatan.

Aya yang melihat perubahan raut wajah abangnya langsung mendekat. Dengan suara lembut, ia berkata, “Abang… pakai aja dulu uang sekolah Aya buat bayar biaya Ibu, ya?”

Zidan menoleh, menatap adiknya dengan pandangan nanar. Ada perasaan bersalah yang begitu dalam terpancar dari sorot matanya. “Tapi sekolah kamu, Dek...”

Aya tersenyum kecil, meski jelas terlihat dipaksakan. “Gak apa-apa, Bang. Nanti Aya ngomong sama wali kelas. Bilang aja pembayarannya telat sebulan. Yang penting sekarang Ibu dulu.”

Zidan tak sanggup berkata apa-apa lagi. Ia hanya menarik adiknya ke dalam pelukan, erat, seolah ingin menyalurkan sedikit kekuatan di tengah badai yang tengah mereka hadapi.

“Maaf, ya, Dek…” bisiknya pelan, penuh sesal.

Malam itu, di ruang tunggu rumah sakit yang sunyi, dua kakak-beradik itu saling menguatkan lewat pelukan hangat. Dalam diam, mereka berdoa agar pelukan ini cukup untuk meredakan semua kegelisahan, dan memberi mereka kekuatan untuk menghadapi hari esok.

TBC...

1
Mira Esih
ditunggu terus update terbaru nya thor
Leo Nuna: siap kak🫡
total 1 replies
Mira Esih
sabar ya letta nnti jg ada perubahan sikap Zidan masih menyesuaikan keadaan
Mira Esih
terima aja Zidan mungkin ini takdir kamu
Leo Nuna: omelin kak Zidan-nya, jgn dingin2 sma Letta😆🤭
total 1 replies
Okto Mulya D.
Zidan Ardiansyah hidupnya pas²an..
Okto Mulya D.: sama²
Leo Nuna: iya nih kak, makasih loh udh mampir😉
total 2 replies
Okto Mulya D.
Kasihan ya, cintanya ditolak
Okto Mulya D.
Zidan Ardiansyah cinta putih abu-abu yaa
Okto Mulya D.
semangat Letta
Okto Mulya D.
udah mentok kalii sudah 28 tahun tak kunjung ada
Okto Mulya D.
Letta coba kabur dari perjodohan.
Okto Mulya D.
jadi pelakor yaa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!