Blurb:
Mia meyakini bahwa pernikahan mereka dilandasi karena cinta, bukan sekadar perjodohan. Christopher mencintainya, dan ia pun menyerahkan segalanya demi pria itu.
Namun setelah mereka menikah, sikap Chris telah berubah. Kata-katanya begitu menyakitkan, tangannya meninggalkan luka, dan hatinya... bukan lagi milik Mia.
Christopher membawa orang ketiga ke dalam pernikahan mereka.
Meski terasa hancur, Mia tetap terus bertahan di sisinya. Ia percaya cinta mereka masih bisa diselamatkan.
Tapi, sampai kapan ia harus memperjuangkan seseorang yang terus memilih untuk menghancurkanmu?
Note: Remake dari salah satu karya milik @thatstalkergurl
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Phida Lee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12
Langkah-langkah kaki yang berat mengiringi kepergian Christopher dari restoran. Kepalanya dipenuhi suara-suara gaduh yang hanya bisa ia dengar seorang diri. Pikirannya kacau dan emosinya membara, namun di tengah semua itu, ada satu tempat yang terpikir olehnya, rumah Lusy.
Rumah itu, sejatinya adalah pemberiannya untuk Lusy. Hadiah diam-diam untuk seseorang yang telah begitu lama menemaninya dalam diam. Tempat yang sunyi, yang tidak pernah menuntut apa pun darinya, bahkan ketika ia datang dalam kondisi terburuknya.
Begitu kakinya melangkah masuk kedalam, aroma kopi segar langsung menyambutnya, begitu hangat, seperti pemiliknya. Dari arah dapur, Lusy tampak menuangkan kopi ke dalam dua cangkir porselen. Tangannya bergerak begitu lembut dan penuh dengan ketenangan yang menenangkan.
Christopher berdiri di ambang pintu dapur, ia memandangi wanita itu dalam diam. Amarah yang membuncah sejak tadi perlahan mereda. Tatapannya seketika melembut. Ia melangkah mendekat tanpa menimbulkan suara, lalu ia memeluk Lusy dari belakang. Kepalanya bersandar di bahu wanita itu, seakan menjadikan tubuhnya pelabuhan sementara.
"Chris...?" suara Lusy terdengar pelan.
"Ada apa, hm?"
Tanpa menoleh, Lusy menyodorkan cangkir kopi ke tangan pria itu. Gerakannya penuh pengertian, seolah telah memahami setiap gejolak hati Christopher bahkan sebelum pria itu mengucapkan sepatah kata.
Christopher menarik napas dalam, mencoba menenangkan badai yang masih bergemuruh di dadanya.
"Maaf, Lusy... Apakah aku membuatmu takut tadi?" tanyanya lirih sambil membelai rambut wanita itu dengan lembut.
"Aku… lupa kalau kita belum makan. Apakah kau lapar? Aku akan memesankan sesuatu untukmu."
Lusy tersenyum tipis, begitu tenang, seperti biasanya.
"Tidak perlu. Aku akan mengurusnya sendiri."
Kata-kata sederhana itu terasa seperti selimut hangat bagi Christopher. Ia mengangguk pelan, lalu menggenggam cangkir kopi itu lebih erat.
"Terima kasih..." ucapnya, suaranya nyaris patah.
"Terima kasih karena selalu memahamiku."
Namun Lusy menunduk. Jemarinya saling menggenggam, ia menyembunyikan kegelisahan yang tidak tertampakkan di wajahnya.
"Justru kali ini... akulah yang salah," bisiknya.
"Aku tidak seharusnya mengajakmu makan di tempat itu. Mia... dia masih pasangan sahmu. Maaf, karena aku... kau jadi bertengkar dengannya."
Pernyataan itu membuat tubuh Christopher menegang. Tapi detik berikutnya, ia tertawa.
"Pasangan?" ujarnya sambil memalingkan wajah.
"Dia hanya seorang penggoda, Lusy. Bahkan sedikit pun dia tidak pernah memikirkanku."
"Dia berpura-pura menjadi polos dan lemah di depan ibuku. Tapi kenyataannya... dia tidak tampak lemah ketika menggoda pria lain di luar sana."
Tidak ada respons dari Lusy. Ia hanya berdiri dengan diam, seolah menyesap setiap kata yang terlontar dari mulut Christopher. Di balik keheningannya itu, ada rasa puas yang tidak mampu ia sembunyikan.
Rencananya berhasil.
Pertengkaran itu pecah tanpa ia perlu menyentuh apa pun… karena luka terdalam memang tidak selalu berasal dari tangan, melainkan dari bisikan yang tertanam di waktu yang tepat.
Lusy menatap cangkir kopi di tangannya, uap hangatnya perlahan memudar seiring suara lirih yang keluar dari bibirnya.
"Daniel juga mengatakan bahwa mereka bertemu di rumah sakit," ucapnya pelan, seolah tidak ingin memicu gelombang amarah yang mungkin masih tersisa dalam diri Christopher.
"Mungkin… itu memang pertama kalinya mereka bertemu. Jangan marah padanya, Chris. Kau harus menjaga kesehatanmu."
Ia mengangkat bahu tipisnya, lalu menatap kosong ke arah cermin kecil di dapur yang memantulkan cahaya lampu temaram.
"Aku tahu... Tante tidak pernah menyukaiku. Tapi aku tidak pernah meminta apa-apa darimu... sungguh."
Christopher terdiam. Tidak ada kata yang keluar dari bibirnya, hanya tatapan tajam yang perlahan melembut. Lalu, tanpa peringatan, ia meraih bahu Lusy dan memutar tubuh wanita itu agar menghadap dirinya. Tatapan mereka bertemu, sepasang mata yang penuh dengan keraguan bersatu dengan mata yang telah bulat dalam keputusannya.
"Kau selalu memikirkanku..." katanya, nyaris seperti desahan yang penuh dengan rasa bersalah.
"Sementara dia?" Christopher menggeleng pelan. "Dia bahkan tidak bisa jujur tentang ke mana dia pergi."
Suaranya mulai berubah, lebih dalam dan lebih tegas.
"Lusy... tunggulah sebentar lagi."
Lusy mengerutkan kening bingung.
"Apa maksudmu?"
Christopher menatapnya lekat-lekat. Matanya dipenuhi oleh tekad, dan untuk yang pertama kalinya, Lusy bisa merasakan betapa seriusnya pria itu.
"Meskipun dia tidak mau bercerai denganku... aku akan menemukan cara untuk membuatnya menandatangani surat perceraian itu."
Ia menggenggam tangan Lusy dengan erat, seolah mencoba menyampaikan bahwa kali ini, dia tidak akan lari dari apa pun yang menghalanginya.
"Aku tidak mau terus hidup seperti ini. Aku ingin kau menjadi pasanganku yang sah. Bukan bersembunyi-sembunyi seperti ini. Bukan hanya sebagai bayangan."
Lusy menahan napasnya. Jantungnya berdegup dengan kencang, ia tidak percaya pada apa yang baru saja ia dengar. Tatapan Christopher begitu kuat dan begitu pasti, dan juga pelukannya lebih erat dari sebelumnya, membuat tubuh Lusy terasa lemas dalam dekapan itu.
"Aku berutang nyawa padamu, Lusy," lanjut Christopher, suaranya mulai bergetar.
"Dan aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan kedua ini. Tidak peduli berapa besar rintangannya aku akan mengakhiri segalanya… demi kita."
Sejenak, waktu terasa berhenti. Hanya suara napas mereka yang terdengar. Dalam pelukan itu, Lusy tidak mampu menahan gejolak didalam dadanya. Namun jauh di balik binar matanya yang bergetar, ada senyuman kecil yang nyaris tak terlihat.
Karena pada akhirnya, semua ini memang bagian dari rencananya.
-🐣-
Irene berdiri kaku di depan meja kerja besar berhias marmer. Tumpukan foto tersebar di atas permukaannya, seperti potongan-potongan kenyataan pahit yang tidak bisa ia abaikan.
Jemarinya yang bersarung tipis menyentuh salah satu foto, gambar Christopher yang tengah menggenggam tangan seorang wanita muda. Lusy. Tatapan mereka terekam jelas dalam bidikan diam-diam itu, begitu intens dan penuh makna. Di sisi lain, ada foto Daniel berdiri terlalu dekat dengan Mia. Senyum mereka terlalu akrab serta terlalu hangat untuk sekadar rekan kerja saja.
Wajah Irene mengeras. Mata tajamnya menyala dengan amarah yang ditahan, rahangnya mengatup rapat. Udara di dalam ruangan terasa dingin dan berat, seolah ikut merasakan emosi yang membuncah di dalam dirinya.
Pintu terbuka dengan perlahan. Seorang pria dengan setelan rapi melangkah masuk kedalam, suaranya tenang namun penuh dengan hati-hati.
"Nyonya, apakah Anda memanggil saya?" tanya Jonny, tangannya disilangkan di depan tubuhnya.
Irene menatap pria itu dengan dingin, lalu membalikkan tubuhnya.
"Jonny, aku akan kembali ke Korea," ucapnya tanpa basa-basi, nadanya sangat tajam seperti pisau. "Sisa urusan di kantor cabang... kupercayakan padamu sepenuhnya."
Jonny mengerutkan alis, raut wajahnya mencerminkan keterkejutan.
"Tapi... kontrak dengan Phoenix Group belum selesai, Nyonya. Apakah... ada sesuatu yang mendesak di Korea?"
Irene menarik napas dalam-dalam. Untuk sesaat, ia menutup matanya, ia menahan gejolak di dadanya yang semakin menggila.
"Jika aku tidak kembali sekarang... Christopher, si bajingan itu, akan menghancurkan segalanya."
Jonny langsung menundukkan kepala, ia menerima perintah itu tanpa banyak bertanya lagi.
"Baik, Nyonya. Saya mengerti."
Beberapa jam kemudian, pesawat pribadi yang ditumpangi Irene lepas landas. Langit gelap menyambut kepulangannya, seolah menyiapkan panggung untuk badai yang akan datang nantinya.
Di kantor cabang, Jonny menatap layar ponselnya, ia menimbang sejenak sebelum akhirnya menekan nama kontak yang sudah terlalu dikenalnya.
"Halo?" suara Christopher terdengar malas dan acuh diseberang sana.
"Ibumu dalam perjalanan pulang hari ini," ujar Jonny dengan tenang namun penuh makna. "Dia akan tinggal bersama kalian untuk sementara waktu."
Christopher menghela napas berat.
"Aku tahu... Kau tidak perlu khawatir."
Namun suara Jonny tidak surut.
"Christopher..." katanya, kali ini lebih serius. "Ibumu kembali lebih awal bukan tanpa alasan. Dia datang untukmu dan Mia. Kau harus berhati-hati. Jangan gegabah."
"Aku tidak gegabah, Jonny," balas Christopher dengan nada ketus. "Aku tahu apa yang harus kulakukan."
Ada jeda sebelum suara Jonny kembali terdengar, kali ini lebih rendah, lebih terdengar seperti sedang terluka dari dalam.
"Kenapa kau tega menyinggung perasaannya hanya demi Lusy? Itu... tidak akan berakhir baik untukmu."
Di seberang sana, suara Christopher terdengar datar.
"Aku sudah memikirkannya. Ibu tidak akan menerima Lusy sekarang, karena dia masih percaya pada wajah manis Mia. Tapi saat aku bisa membuktikan semuanya... dia pasti akan menyetujui perceraian kami."
Keheningan menggantung diantara mereka. Jonny akhirnya bertanya dengan nada pelan, namun pertanyaannya menusuk jauh ke dalam relung hati.
"Christopher... apakah kau melakukan semua ini karena benar-benar mencintai Lusy? Atau hanya karena merasa berutang budi padanya?"
Tidak ada jawaban apapun. Hening membungkus seisi ruangan. Jonny hanya bisa mendengar hembusan napas pelan dan detak waktu yang berlalu.
Akhirnya, ia berkata dengan lirih namun juga tegas.
"Ibumu bukan wanita yang mudah dibohongi. Jadi, jaga dirimu baik-baik. Dan pikirkanlah kembali... apa yang sebenarnya kau kejar."
Panggilan terputus. Suasana mendadak menjadi sunyi.
Christopher diam mematung di tempatnya. Ia menatap kosong ke arah jendela kaca besar yang menyuguhkan pemandangan malam Seoul. Lampu-lampu kota berkelap-kelip di kejauhan, tapi di matanya, semua terlihat kabur.
Tidak ada amarah dan tidak ada kesedihan di matanya. Hanya... kehampaan yang ada.
Dan di balik kehampaan itu, ada sebuah pertanyaan yang terus mengiang tanpa jawaban:
Apakah ini benar-benar tentang cinta? Ataukah hanya tentang membalas budi yang sudah terlalu dalam?
***
Mia terbangun dengan perlahan. Napasnya sedikit terengah dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Ia menggeliat pelan lalu mencoba bangkit dari ranjang, namun tubuhnya terasa berat.
Tangannya memegangi perut yang terasa begitu nyeri, dan ia meringis pelan.
"Sakit sekali..." gumamnya lirih. "Mungkin karena aku belum makan sejak kemarin..."
Ia menarik napas dalam-dalam, ia memaksakan dirinya untuk bangkit. Setelah mandi dan berganti pakaian, Mia menuruni tangga dengan langkah hati-hati. Setiap pijakan terasa seperti sebuah perjuangan. Tubuhnya terasa lemas dan pandangannya sedikit berkunang.
Saat ia sampai di pertengahan tangga, matanya menangkap sosok Paman Jack dan Bibi Im berdiri di dekat dapur. Keduanya tampak gelisah, wajah mereka pucat dan begitu tegang. Ketika mata mereka bertemu dengan Mia, mereka segera menoleh, bukan kepadanya, melainkan ke arah ruang tamu.
Mia mengernyit bingung. Suara napasnya tertahan.
"Ada apa...?" tanyanya pelan dengan kebingungan.
Namun tidak ada satu pun dari mereka yang menjawabnya. Hanya keheningan yang menyambutnya, dan itu sudah cukup untuk membuat firasat buruk menjalar di dalam dadanya.
Langkah Mia melambat ketika ia menuju ke ruang tamu. Bau asap rokok menyeruak tajam di udara. Aroma pahit dan pekatnya menyentuh hidungnya.
Begitu ia melewati ambang ruangan, tubuhnya seketika membeku.
Christopher duduk di sofa panjang dengan satu kakinya disilangkan dengan elegan. Asap rokok mengepul di antara jemarinya. Matanya yang dingin menatap lurus ke depan, dan ketika Mia masuk, pandangan tajam itu langsung mengarah padanya, mata yang sama seperti semalam, mata yang membuatnya merasa ditelanjangi dan tidak punya tempat untuk bersembunyi.
Jantung Mia mencelos. Kakinya menolak untuk bergerak maju. Ia berdiri di sana dengan diam, seperti seekor rusa yang tertangkap cahaya lampu kendaraan di tengah jalan malam.
Christopher mematikan rokoknya di asbak kristal. Suaranya sangat datar, namun ketajamannya mampu mengiris udara.
"Sudah bangun?" ucapnya pelan, tapi menggema ke seluruh ruangan. "Berapa lama aku harus menunggumu?"
Mia tidak menjawabnya. Suaranya tercekat di dalam tenggorokan. Tangannya yang menggantung di sisi tubuhnya mulai gemetar. Bibirnya bergetar, namun tidak satu kata pun yang keluar.
Ia hanya berdiri di sana, menatap pria yang pernah menjadi pelindungnya, yang kini menjelma menjadi sosok asing dengan sorot mata yang penuh dengan penilaian tajam.
.
.
.
.
.
.
.
- TBC -
Mia Mia cinta butamu membuat dirimu terluka kamu jg sangat goblok ,, wanita kaya kamu tuh ga bisa move on ga bisa sukses terlalu myek2 kamu ,,so enjoy lah