jhos pria sukses yang di kenal sebagai seorang mafia, mempunya kebiasaan buruk setelah di selingkuhi kekasih hatinya, perubahan demi perubahan terjadi dia berubah menjadi lebih kejam dan dingin, sampai akhirnya dia tanpa sengaja membantu seorang gadis mungil yang akan menjadi penerang hidupnya. seperti apakah kisahnya..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aak ganz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11
"Ini enak banget, Om. Aku suka! Meskipun ini pertama kalinya aku makan makanan seperti ini, tapi rasanya enak sekali," ujar Sisi sambil melahap makanannya dengan lahap. Seperti biasa, wajahnya penuh dengan sisa makanan, ciri khas cara makannya yang ceroboh namun menggemaskan.
Ferdinan tersenyum melihat tingkah laku gadis kecil di hadapannya. Ia tak menyangka, anak yang terlihat seperti putri dari keluarga kaya bisa makan dengan begitu lahap dan polos.
"Om nggak nyangka kamu bisa makan selahap itu. Nisa, kamu kenapa nggak nanya dulu, apa dia sudah makan atau belum?" goda Ferdinan kepada putrinya.
"Om, jangan salahkan Kakak Cantik. Dia nggak salah, kok. Ya kan, Kakak Cantik?" sahut Sisi cepat, lalu menyodorkan piringnya. "Kak, nambah lagi ya. Aku belum kenyang."
Tingkah Sisi membuat Ferdinan dan Nisa tak bisa menahan tawa. Walau manja, siapa pun pasti akan tergoda untuk memanjakannya. Wajah imut dan polos Sisi membuat siapa pun sulit menolak permintaannya.
Setelah makan selesai, Ferdinan bangkit dari kursinya. "Om kerja dulu ya. Kalian tinggal di rumah. Sore nanti Om pulang."
"Om kerja di mana? Aku mau ikut! Kayaknya seru deh bantuin Om kerja," ucap Sisi dengan penuh semangat. Ferdinan menoleh dan mengusap kepala gadis kecil itu.
"Kerjaan Om kotor, banyak debu. Om jadi tukang sapu jalanan," jawab Ferdinan jujur namun lembut. Tapi semangat Sisi tak luntur. Ia justru terlihat makin tertarik.
Melihat keinginan kuat Sisi, Ferdinan akhirnya menyerah. "Kamu yakin mau ikut? Nanti kamu kotor dan bau, loh."
"Nggak apa-apa! Aku nggak takut debu, asal bisa ikut Om!" jawab Sisi mantap, lalu segera menghabiskan makanannya, walau sisa nasi kembali menempel di pipinya.
Namun tiba-tiba, suara Nisa terdengar. "Tapi Kakak nggak bisa ikut."
Sisi segera menoleh. "Kenapa Kakak Cantik nggak ikut?"
"Kakak mau ke rumah sakit. Kakak mau bawain makanan buat Kakak kamu," jawab Nisa pelan. Raut wajahnya masih diliputi kekhawatiran—ia cemas Jhos belum makan sejak pagi.
Mendengar itu, Sisi langsung mengangguk. "Baiklah, karena Kakak perhatian sama Kakakku, aku nggak apa-apa pergi sendiri sama Om. Yuk, Om, kita berangkat!" katanya riang. Ia tampak paham dan tidak keberatan, justru mendukung niat baik Nisa.
Ferdinan pun akhirnya membawa Sisi ikut bekerja. Di hatinya sempat muncul keraguan—bagaimana jika orang-orang membicarakan dirinya karena membawa gadis kecil cantik menyapu jalanan? Bagaimana jika orang tua Sisi tahu? Tapi semangat Sisi menghapus semua kekhawatirannya.
"Tempatnya jauh nggak, Om? Kalau jauh, kita pakai mobilku aja. Ada sopirku di depan gang," tawar Sisi sambil menunjuk ke arah mobil mewah yang terparkir di ujung gang.
"Nggak usah. Dekat kok. Keluar gang, kamu langsung bisa lihat," jawab Ferdinan lembut menolak.
Sisi berjalan dengan riang, sesekali melompat kecil seperti anak kecil yang penuh keceriaan. Baginya, ini adalah petualangan baru yang mengasyikkan. Di Amerika, ia hanya terbiasa tinggal di rumah besar, tak pernah keluar bebas, dan selalu dijaga pengasuh. Kini, pengalaman ini sangat berharga baginya.
Sisi adalah adik kesayangan Jhos, anak yang paling dimanjakan oleh orang tua mereka. Apa pun keinginannya selalu dituruti. Meski manja, Sisi sebenarnya sangat cerdas dan selalu menempati peringkat pertama di sekolah. Namun, karena lebih suka bermain dan tidak suka dilarang, ia tampak seperti anak berusia 10 tahun, padahal usianya jauh lebih tua.
Saat menangis, wajah imutnya membuat siapa pun merasa kasihan. Guru-gurunya dulu pun tak pernah memaksanya belajar, sesuai permintaan orang tuanya. Tapi setiap kali serius, Sisi bisa sangat fokus dan tekun.
Sementara itu, setelah mereka pergi, Nisa segera menyiapkan makanan untuk dibawa ke rumah sakit. Ia ingin memastikan Jhos tidak melewatkan makan siangnya.
Dengan diantar sopir keluarga Jhos—sopir yang juga menjemputnya bersama Sisi sebelumnya—Nisa tampak gelisah di perjalanan. Ia tidak tahu kenapa, tetapi hatinya terasa tidak tenang.
"Nona muda, Anda baik-baik saja?" tanya sang sopir, menyadari kegelisahannya.
"Maaf, Pak. Bisa lebih cepat? Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres di rumah sakit," jawab Nisa cemas.
Sopir itu segera mempercepat laju mobil. Baginya, Nisa adalah majikan kedua, karena ia tahu betapa Jhos sangat menyayanginya.
"Baik, Nona muda. Kita hampir sampai."
Tak lama kemudian, mereka tiba. Tanpa berpamitan, Nisa langsung turun dan berlari masuk ke rumah sakit. Begitu sampai di depan kamar Anita, ia mendengar suara teriakan dari dalam. Panik, Nisa langsung membuka pintu.
Matanya membelalak kaget.
Di dalam ruangan, Jhos ditampar keras oleh seorang pria paruh baya. Darah menetes dari sudut bibir Jhos. Nisa langsung berlari dan berdiri di depan Jhos, melindunginya dari pukulan berikutnya.
"Cukup, Tuan! Anda tidak bisa semena-mena seperti ini! Apa salahnya sampai Anda memukulnya?!" bentak Nisa lantang, emosinya meledak. Ia berdiri tegap, menjadi tameng bagi Jhos dari kemarahan pria asing itu.
Pria paruh baya itu—yang ternyata adalah ayah Anita, bernama Alex—menatap tajam ke arah Nisa yang tiba-tiba berdiri di antara dirinya dan Jhos, menghalangi aksinya yang nyaris menghantamkan pukulan. Keberanian gadis muda dan cantik itu justru membuat Alex semakin marah.
“Kamu jangan ikut campur, gadis kecil! Ini urusanku dengan dia, jadi minggir!” teriaknya, suaranya meledak-ledak.
“Kenapa aku harus pergi? Tentu saja ini urusanku juga. Kamu memukuli majikanku, dan aku bertanggung jawab atas keselamatannya!” sahut Nisa lantang, berdiri teguh di tempatnya.
Alex menggeram. “Baiklah, kalau kamu tetap keras kepala, jangan salahkan aku kalau kamu juga terluka!” Ia mengangkat tangannya, siap memukul Nisa. Tapi Jhos sigap menarik gadis itu ke belakang—dan pukulan keras itu mendarat di tubuhnya sendiri.
“Tidak...!” Nisa menjerit, melihat tubuh Jhos terhuyung dan jatuh karena pukulan itu. Tanpa ragu, ia segera merunduk dan membantu Jhos berdiri.
“Kamu tidak usah ikut campur, Nisa. Ini urusanku dengan orang tua itu. Aku memang pantas dipukul karena kebodohanku,” kata Jhos, mencoba bangkit meski tampak menahan sakit.
Nisa menggeleng, air mata mulai mengalir. “Tidak, Jhos. Ini bukan salahmu! Dia tidak punya hak memukulmu!”
Alex kembali berteriak, “Apa gara-gara gadis ini kamu jadi lupa tugasmu? Kamu membiarkan putriku jadi begini! Di mana janjimu menjaga Anita, hah?!”
“Dan memang kenapa?! Semua ini bukan salah Jhos! Ini murni kecelakaan! Kamu tak punya hak memukuli orang seenaknya!” bentak Nisa, berdiri di depan Alex, membela Jhos tanpa gentar. Perlakuan pria itu terlalu kejam dan tak adil di matanya.
“Jhos, keluarkan wanita gila ini sebelum aku kehilangan kendali dan melukainya juga!” bentak Alex.
Tanpa membantah, Jhos menarik tangan Nisa dan membawanya menjauh. Meski wajahnya babak belur, ia tetap tersenyum lemah kepada Nisa.
“Ayo kita pergi. Ini terlalu berbahaya untukmu,” ucapnya lirih.
Awalnya Nisa enggan. Tapi demi keselamatan Jhos, ia akhirnya mengangguk dan menurut.
Saat mereka sampai di luar, Nisa langsung meledak dalam tangis. “Kenapa kamu nggak melawan?! Kenapa kamu biarkan dirimu dipukuli seperti itu? Di mana Jhos yang aku kenal—yang keras kepala dan selalu melindungiku?!”
“Maafkan aku, Nisa... Aku sudah membuatmu sedih. Tapi ini memang salahku. Aku pantas menerimanya,” balas Jhos sambil membelai punggung Nisa dalam pelukannya.
Nisa menggeleng, air mata makin deras. “Tidak, ini semua bukan salahmu! Iya, kamu bodoh! Tapi kamu bodoh karena tidak mau membela dirimu sendiri!”
Ia melepaskan pelukannya, menatap wajah Jhos yang lebam. Lalu ia mengeluarkan obat cair dari tas kecilnya.
“Sini, aku obati wajahmu,” katanya lembut, meneteskan obat itu ke luka di bibir Jhos.
Namun, reaksi yang ia tunggu tidak kunjung datang. Tak ada wajah meringis atau desahan kesakitan. Jhos tampak baik-baik saja.
“Lho, kamu nggak merasa sakit? Padahal ini obat pasti perih banget,” kata Nisa, mengernyit curiga sambil menatap label obat itu.
Jhos tersenyum geli melihat ekspresinya. “Kamu kenapa? Ngelihatin label obat kayak gitu.”
“Kamu kenapa senyum-senyum?” tanya Nisa, heran.
“Aku cuma geli lihat kamu kayak curiga rumah sakit ini jual obat palsu. Hahaha…” Jhos tertawa, membuat Nisa makin bingung.
Nisa mendelik, lalu menekan sedikit luka di bibir Jhos. Tapi tetap saja, pria itu tidak tampak kesakitan.
“Jhos, kamu beneran luka atau pura-pura, sih? Kenapa kamu nggak ngerasain sakit sama sekali?”
“Memang nggak sakit. Buatku ini bukan apa-apa, rasanya malah geli. Apalagi yang ngasih obat kamu—yang konyol begini—jadi tambah geli, hahaha...”
Jawaban konyol Jhos membuat Nisa mendengus kesal. Ia mempoutkan bibirnya dan menggeretakkan gigi.
“Dasar penipu! Kalau tahu gini, tadi aku nggak bakal sok pahlawan bela-belain kamu di depan ayah Anita!” ujarnya kesal sambil membalik badan.
Tapi Jhos cepat-cepat menarik tubuh Nisa, memutarnya kembali dan mendekatkan wajahnya sangat dekat—hanya sekitar satu sentimeter.
Wajah Nisa memucat, jantungnya berdetak cepat. Ia bisa merasakan napas hangat Jhos di pipinya.
“Aku nggak butuh obat luka itu. Cukup dicium kamu aja, aku udah sembuh,” bisik Jhos, lalu menempelkan bibirnya ke bibir Nisa, melumatnya dengan lembut.
Nisa terkejut, namun tidak menolak. Ia perlahan menutup mata, membalas ciuman itu dengan perasaan hangat yang menyeruak dalam dadanya.
Setelah cukup lama, Jhos melepaskan ciumannya, menatap Nisa dengan senyum lebar.
“Nisa, aku mau tahu satu hal. Kenapa kamu membelaku tadi? Padahal kamu tahu itu berbahaya.”
“Bodoh! Lupakan saja!” sahut Nisa gugup, membalikkan badan, wajahnya mulai memerah.
“Ayo, jawab aku jujur. Jangan-jangan kamu bela aku karena kamu… mencintaiku?” goda Jhos, senyumnya makin lebar.
“Ih, ke-PD-an banget! Mana ada aku cinta sama kamu!” balas Nisa dengan nada tinggi, tapi senyum malu tersungging di bibirnya.
Jhos menunduk sedikit ke telinganya dan berbisik lembut, “Aku memang sedang tidak percaya diri… karena aku lagi percaya padamu. Terima kasih karena kamu sudah peduli. Aku… semakin mencintaimu.”
Mendengar itu, Nisa menggeliat geli dan langsung memukul-mukul Jhos dengan gaya khas perempuan yang malu tapi bahagia.