Karena dipaksa untuk segera memiliki anak, Jovan sang CEO dari perusahaan ternama diam-diam menikah lagi. Dengan kejamnya, dia mengusir Seina selaku istri pertamanya yang dikira mandul. Namun nasib buruk pun menimpa Jovan yang mana istri keduanya mengalami kecelakaan hingga membuatnya keguguran bahkan rahimnya terpaksa harus diangkat demi menyelamatkan nyawa Ghina.
Lima tahun kemudian, Seina yang dikira mandul kembali dengan tiga anak kembar yang memiliki ketampanan mirip Jovan.
“Bunda, Oom itu milip Kakak Jelemy, apa Oom itu Ayah kita?” tanya Jelita, si bungsu.
“Bukan!” elak Seina.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mom Ilaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jhansen Lindu Ayah
Happy Reading, jangan lupa like 🌹
Malam ini, awan hitam perlahan menutupi bulan. Angin bertiup kencang dan dingin, membuat Vara di kamarnya tak bisa tidur tenang. Suasana seperti ini memang sangat dibencinya.
Wanita muda itu mengambil kacamatanya di nakas. Merasa haus, Vara pergi ke dapur dan mengisi botol airnya. Setelah itu, ia berhenti di depan meja makan. Tiba-tiba, ia merasa ada yang merangkak perlahan di belakangnya, membuat Vara merinding ketakutan.
“DOR!”
“Akhhhh, tekotek!”
Plak!
Vara mematung, melihat Gara di depannya yang baru saja dipukul spontan olehnya.
“Aishh... tenaga kau lumayan kuat ya, Vara.” Ringis Gara, mengusap-usap lengannya yang terasa sakit.
“Dasar cowok nyebelin! Gara-gara kau jalan begitu, aku hampir saja kena serangan jantung tahu!” omel Vara, menambah pukulannya lagi, tapi kali ini Gara bisa menahan sakitnya.
“Habisnya kau juga lambat! Jalan kok kayak siput.” Balas Gara mengomel, bahkan dua jarinya menjentik kening Vara yang lebar tapi tertutup poninya.
“Dih jahat banget, aku disamain kek siput. Dasar cowok tidak berperasaan!” Ujar Vara agak susah menyebutnya.
“Emang cocok kok, kau itu kan kecil dan lucu seperti siput, hahaha...” Tawa Gara kemudian mengambil air es di dalam kulkas.
Vara cemberut, tapi diam-diam tersenyum disebut lucu. Namun tetap saja Vara kesal disebut makhluk kecil itu.
“Oh ya, ini sudah jam satu, kenapa kamu tidak tidur juga?” Gara duduk di kursi dan menatap Vara yang belum meninggalkan tempatnya berdiri.
“Biasa, aku takut mati lampu. Kalau hujan kayak gini kan biasanya ada kejadian,” jawab Vara, lalu duduk di kursi lain.
“Kejadian seperti apa?” tanya Gara sambil memainkan ponselnya.
“Seperti orang tuaku yang dibunuh.”
Deg.
Jemari Gara yang sibuk mengetik tertahan mendengar jawaban sekretarisnya itu.
“Maaf, aku ...”
“Tidak apa-apa, kau tidak usah minta maaf. Kejadiannya juga sudah lama kok.” Vara lalu tersenyum agar Gara tidak merasa bersalah.
Pantas saja tiap hujan dia selalu begadang, ternyata Vara punya pengalaman yang kelam, batin Gara kini paham arti ketakutan Vara.
“Ya sudah, kau pergi saja tidur, biarkan saja aku yang gantian begadangnya,” suruh Gara lalu ia menyimpan ponselnya setelah mengaktifkan alarm.
“Ngapain kau begadang?” tanya Vara sedikit terkejut melihat Gara berbeda malam ini.
“Buat jaga-jaga aja sih,” jawab Gara tidak mau jujur ingin menjaga Vara dari trauma masa lalunya.
“Mending kau pergi tidur saja. Besok kau yang akan mengemudi mobil jadi sebagai supir, kau tidak boleh begadang, Pak Bos.”
“Cih, gampang banget tuh mulut ngatain orang sebagai supir. Mau di—” ucap Gara terhenti lalu berpaling ke samping.
“Mau diapakan?” tanya Vara.
“Sudahlah, bukan urusanmu!” Gara malah berdiri dan pindah duduk di depan televisi.
“Dih, aneh. Orang cuma bercanda doang tapi dia malah diseriusin. Dasar Atasan baperan!” Gerutu Vara yang kemudian pergi ke kamarnya sendiri.
“Ck, aku kenapa sihh? Kenapa aku tiba-tiba bayangin hal mesum!!!” Gara menggerutu pada dirinya sendiri. “Apakah karena aku terlalu lama menjomlo?” pikirnya memandang layar televisi yang tidak menyala.
“Ah tapi masa sampai segitunya aku mikirin ciuman? Cium dia pula? Ihhh amit-amit dah.” Gara menepuk mulutnya. Kemudian pria itu berdiri. Ia sontak kaget pada Vara yang tiba-tiba sudah berdiri di depannya.
“Vara? Kok di sini? Mau balas dendam ya?” Tunjuk Gara tapi Vara menggeleng tidak. Wanita itu duduk diam di tempat Gara duduk tadi dan tampak ia tidak mendengar ocehan Gara barusan.
“Aku tidak bisa tidur, jadi daripada bengong di kamar sendirian, aku keluar ke sini. Tapi sejujurnya aku ingin tahu sesuatu darimu, Gara.”
“Apaan?” Gara kembali mendudukkan dirinya ke sofa lain. Ia menatap wanita itu yang memandanginya.
“Sudah lama kita tinggal bersama tapi aku dan Kak Salwa sampai sekarang belum tahu siapa Ayah dari anak-anak Kak Seina. Apakah kau bisa menceritakan sedikit kisah Kakakmu? Siapa tau aku bisa mengenali ciri-ciri pria yang tidak boleh aku dekati atau nikahi.”
Mendengarnya, Gara diam sejenak. Ada keraguan menceritakannya karena itu bisa membuat emosinya tak terkendali. Tapi, jika ia terus menyembunyikannya, ia juga tidak bisa menahan kesedihan dan amarah itu sendirian.
Pada akhirnya, Gara menceritakan semuanya, bahkan mengatakan tentang istri kedua Jovan. Setelah Gara bicara, Vara pun langsung tersulut emosi. Wanita itu mengumpat kesal dan mencaci maki Jovan di depan Gara.
“Pria brengsek itu benar-benar tidak punya hati! Bukan hanya satu wanita saja yang dia sakiti, tapi ada banyak wanita yang dia lukai.” Vara tidak punya ikatan darah kepada Seina, tapi Vara seakan bisa merasakan pengkhianatan yang dibuat Jovan.
“Jadi, menurutmu apa sebaiknya aku biarkan saja Kak Seina hidup menjanda atau aku carikan pria lain untuk membahagiakannya?” gumam Gara selalu memikirkan perasaan Seina.
“Memangnya mereka sudah resmi cerai?”
“Kalau Kak Seina belum sah bercerai, sulit baginya menikah lagi. Tapi tidak ada salahnya kamu carikan dia pria lain yang sungguh-sungguh mencintai Kak Seina apa adanya biar nanti dia bisa langsung nikah setelah perceraiannya berakhir,” kata Vara dengan sarannya.
“Cari pria lain sih mudah, tapi pria yang tulus dan setia itu susah dicari, Vara.”
Vara mengangguk setuju pada perkataan Gara.
“Kalau saja aku laki-laki, biar aku saja yang menggantikan posisinya, tapi sayang aku ini perempuan, haha...” Canda Vara merasa agak canggung sekarang. Terlebih lagi, Gara terus menatapnya.
“Lihat apa sih?” tanya Vara risih.
“Kamu cantik.”
“Hah?”
Vara melongo mendengar dua kata itu.
“Kau bilang apa barusan?” tanya Vara pura-pura tidak mendengar.
“Kamu jelek!” ralat Gara bercanda.
Vara terkejut lagi dan semakin terkejut melihat Gara malah pergi lalu masuk ke kamar tidurnya sendiri.
“Yaelah, gengsi amat bilangin aku cantik! Dasar Bos nyebelin!" gerutu Vara tapi wanita muda itu kembali senyum-senyum sendiri di depan televisi.
Dua jam kemudian, Vara akhirnya tidur. Berbeda dengan di toko Seina, Jhansen tampak terbangun di samping kanan Jeremy. Jhansen mengerjapkan matanya lalu menatap Ibunya yang tidur di tengah-tengah mereka.
Jhansen pun pindah tidur di depan Seina lalu kedua tangannya memeluk erat tubuh sang Bunda hingga mata Seina terbuka dibuatnya.
“Hm, Jhans? Kamu kenapa, sayang?” tanya Seina memegang dahi Jhansen agak panas.
“Bunda, Jencen lindu Ayah.”
Manik hitam Seina terbuka lebar mendengar keinginan putranya yang mengejutkannya itu.
“Jencen mau liat Ayah.”
“Kapan kita bisa temu Ayah, Bunda?”
Seina mencoba tenang dulu, setelah itu menyentuh dagu putranya.
“Kenapa Jhansen tiba-tiba bangun, hm?” tanya Seina mengalihkan topik.
“Balusan Jencen mimpiin Ayah, Bunda. Ayah mau liat Jencen uga, Ayah sedih kali, Bunda.”
Seina kemudian memeluknya seraya menahan embun di sudut matanya.
“Kalau Ayah kalian ingin bertemu kalian, dia sudah lama mencari kita. Tapi Ayahmu sampai sekarang tidak pernah mencari Bunda.”
Seina berkata dalam hatinya. Ia tidak mau melukai perasaan anaknya sehingga ia hanya memejamkan matanya seraya tangan kirinya mengusap-usap ke punggung Jhansen dengan lembut sampai bocah polosnya itu tertidur lagi.
Semoga Seina/ Elsha bisa bersatu lagi dengan Jovan, agar anak-anak bisa bahagia bersama orang tua yang lengkap.
Kasian si kembar baru bertemu bapaknya dah mau metong...