Ina dan Izhar memasuki kamar pengantin yang sudah disiapkan secara mendadak oleh Bu Aminah, ibunya Ina.
Keduanya duduk terdiam di tepian ranjang tanpa berbicara satu sama lain, suasana canggung begitu terasa, mereka bingung harus berbuat apa untuk mencairkan suasana.
Izhar keluar dari kamar mandi dan masuk kembali ke kamar setelah berganti pakaian di kamar mandi, sementara itu, Ina kesulitan untuk membuka resleting gaun pengantinnya, yang tampaknya sedikit bermasalah.
Ina berusaha menurunkan resleting yang ada di punggungnya, namun tetap gagal, membuatnya kesal sendiri.
Izhar yang baru masuk ke kamar pun melihat kesulitan istrinya, namun tidak berbuat apapun, ia hanya duduk kembali di tepian ranjang, cuek pada Ina.
Ina berbalik pada Izhar, sedikit malu untuk meminta tolong, tetapi jika tak di bantu, dia takkan bisa membuka gaunnya, sedangkan Ina merasa sangat gerah maka, "Om, bisa tolong bukain reseltingnya gak? Aku gagal terus!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Orie Tasya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
3 Hari Kemudian...
"Assalamu'alaikum," ucap Ina, yang baru pulang dari bersekolah.
Tidak ada sahutan atau jawaban salam dari dalam rumahnya, dikarenakan Bu Aminah dan Izhar sedang tak ada di rumah.
Izhar sejak pukul 10 pagi sudah pergi keluar rumah entah kemana, karena Ina pun tidak tahu kalau suaminya itu pergi.
Namun, melihat mobil suaminya tak ada di halaman rumah, itu artinya Izhar memang tak ada di rumahnya.
Ina langsung masuk ke dalam dan melepaskan sepatunya, lalu masuk ke kamar.
"Capek banget gue... Bobo siang ah!" Ina membanting tubuhnya di atas kasur, bersiap-siap untuk tidur siang.
Namun, baru saja Ina bersiap, tiba-tiba dia mendengar suara mesin mobil memasuki halaman rumahnya. Ina terkesiap, dia tahu itu suaminya yang baru pulang. Ina bangkit kembali dari tidurnya dan berlari kecil ke dapur untuk memasak.
Ina sudah diperingatkan oleh Ibunya berkali-kali untuk memasak makanan bagi suaminya setiap hari, karena Ina sudah bukan seorang gadis lajang lagi, tetapi sudah memiliki kewajiban melayani seorang pria yang disebut dengan suami.
Ina gegas mengambil ikan di dalam kulkas, membersihkannya dengan terburu-buru karena Izhar pasti sudah lapar setelah bepergian, belum lagi Ina takut jika Izhar akan mengadu pada Bu Aminah tentang kelakuan putrinya yang malas itu.
'srettt'
"Akhhh..." Ina meringis, tangannya berdarah.
Karena terlalu cepat dalam membersihkan sisik ikan
dengan pisau, justru malah tangan Ina yang teriris pisau.
Ina mencuci tangannya dan segera masuk ke dalam untuk mengobati dahulu lukanya.
Ina masuk kamar, dimana ternyata Izhar sudah ada di dalam tengah membuka kemejanya.
"Upsss! Sorry, kirain gak ada orang!" ucap Ina, yang langsung menundukkan kepala.
Izhar tak bereaksi, ia dengan santai membuka kemejanya, meninggalkan sebuah kaos putih tanpa lengan menempel di tubuhnya.
Ina membuka laci meja riasnya, mencari plester luka yang biasa dia sediakan untuk berjaga-jaga ketika ia terluka. Namun, walaupun Ina sudah mengacak-ngacak isi lacinya, tetap dia tidak menemukan satu buah plester pun di dalamnya.
"Apa udah habis ya? Gue lupa kapan gue beli lagi, kayaknya udah lama banget deh!" gumam Ina, sambil menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal mengingat kapan terakhir kali dirinya membeli plester dan kapan terakhir dia menggunakan plester tersebut.
Mendengar gumaman istrinya, Izhar pun menoleh, ia tidak berniat untuk bertanya sebelumnya, apa yang Ina cari. Tetapi, saat melihat tetesan darah dari yang berasal dari Ina ke lantai, ia pun jadi ingin bertanya.
"Kamu cari apa?" tanya Izhar kemudian.
"Cari plester luka," jawab Ina, tanpa menoleh.
"Memangnya apa yang terluka?" tanya Izhar lagi.
Tanpa berkata, Ina mengacungkan jari telunjuknya yang masih meneteskan darah segar.
"Kalau plester, saya punya banyak. Sini biar saya obati!" Izhar meminta Ina untuk mendekat padanya.
Ina mendekat pada Izhar dan duduk di sampingnya di tepian ranjang, pria itu lalu mengambil sebuah kotak P3K, yang selalu dibawanya setiap saat untuk berjaga-jaga, ia lalu mengeluarkan obat merah dan kapas.
Izhar mengambil tangan Ina dan tanpa diduga, Izhar bukannya membersihkan darah yang ada di tangan Ina, namun ia malah menghisap darah itu dengan mulutnya sendiri. Ina sangat terkejut melihat apa yang dilakukan suaminya dia terbelalak, baru kali ini ada seorang lelaki yang melakukan hal seperti itu padanya.
'Gila, itu 'kan darah, kenapa dia mau-mau aja hisap darah gue, apa nggak jijik? Udah kayak vampire aja nih si Om kulkas!' Ina bertanya-tanya dalam hatinya sambil terus menatap suaminya yang masih menghisap darahnya.
Setelah darahnya dipastikan bersih, Izhar mengambil tisu dan memuntahkan darah yang tadi dihisapnya pada tisu, kemudian membuang tisu tersebut ke dalam tong sampah.
Izhar membubuhkan obat merah pada tisu dan mengoleskannya ke luka Ina yang cukup dalam.
"Perih Om... Ssshhh... Pelan-pelan dong," ringis Ina.
"Kamu nggak lihat saya mengoleskannya dengan pelan-pelan, tapi kamunya aja yang cengeng," celetuk Izhar, wajahnya tidak berekspresi sama sekali.
Dikomentari seperti itu, Ina cemberut. Suaminya sangat menyebalkan, selalu saja bicara seenaknya, bahkan ekspresinya tak berubah sama sekali.
Izhar kemudian menempelkan plester luka pada Ina, hingga luka Ina itu terbungkus rapi.
"Makasih, Om," ucap Ina.
Izhar tidak menjawabnya, ia hanya memasukkan
kembali obat merah dan kapas bekas mengobati Ina tadi ke tempatnya.
Ina kemudian teringat sesuatu, dia berdiri dan mengambil tasnya.
Ina duduk kembali di samping Izhar mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan memberikannya pada Izhar.
Izhar menatapnya dengan tatapan penuh kebingungan, dia tidak tahu apa yang diberikan Ina padanya itu. Tanpa dijelaskan pun, Izhar sudah tahu kalau amplop coklat itu berisi uang, tetapi yang ia tidak tahu adalah uang apakah itui dan mengapa diberikan padanya.
Itulah yang membuatnya bingung.
"Kenapa malah tatap aku kayak gitu? Ambil dong!"
tanya Ina, tidak nyaman dengan tatapan suaminya.
"Jangan tanya kenapa saya tatap kamu, harusnya kamu langsung menjelaskan apa yang kamu kasih ke saya itu dan milik siapa," jawab Izhar datar.
"Ini punya Om, ini uang dari hasil penjualan barang-barang yang keluarga Om bawa waktu menikah. Belum kejual semuanya sih baru separuh, tapi memang harganya mahal-mahal, jadi uangnya juga banyak. Nih, aku kasih ke Om, ini 'kan punya om!" Ina menjelaskan daripada menunggu suaminya marah, Ina sedikit memaksa memberikan uang itu.
Walaupun sudah dijelaskan oleh istrinya uang apa itu, tetapi izhar tidak menerimanya, dia malah memalingkan muka dan pura-pura sibuk dengan ponselnya.
"Om, kenapa nggak diterima ini uangnya? Banyak loh! "
"Uang itu bukan hak saya, itu sudah menjadi hak kamu, karena barang-barang yang kamu jual itu adalah hak kamu setelah kamu menjadi istri saya. Jadi, ketika barang-barang itu dijual, maka uang hasil penjualannya adalah milik kamu dan saya nggak berhak mengambil sepeserpun dari apa yang sudah jadi milik istri saya," tutur Izhar.
Yang Izhar tahu, setiap barang (seserahan) yang dibawanya ketika menikahi sang istri, maka semua itu telah resmi menjadi milik istrinya dan ia tak berhak atas barang-barang itu lagi.
"Tapi, Om nikahi aku karena terpaksa bukan karena cinta, Om terpaksa terima aku Karena Om nggak mau keluarga Om malu kalau sampai Om gagal menikah. Aku benar 'kan?" Izhar tak menjawab.
Ina merasa di acuhkan, seperti percuma saja bicara dengan seseorang yang suaranya mahal itu.
Namun, Ina yang memang cerewet dan banyak bicara tidak bisa membiarkan suaminya aman dari banyak pertanyaannya, maka...
"Aku boleh tanya sesuatu nggak?" Ina kembali ingin bertanya lagi rupanya
"Soal apa?" tanya Izhar cuek.
"Kenapa Tante Ratih melarikan diri di hari pernikahan, sedangkan dia sedang mengandung anak Om?" Ina memberanikan diri menanyakan itu pada Izhar, sebuah pertanyaan yang sangat ingin ditanyakan nya selama mereka telah terikat pernikahan.
Izhar terkesiap begitu mendengar apa yang Ina katakan, ia langsung berbalik dan menatap Ina.
"Apa maksud kamu mengatakan kalau Ratih mengandung anak saya?" tanya Izhar, menatap nyalang pada Ina.
"Iya, bukannya tante Ratih hamil anak Om, tapi kenapa dia melarikan diri dan nggak mau melaksanakan pernikahannya sama Om, kalau dia lagi hamil anak Om? Sebenarnya, itu masih bikin aku penasaran, apa alasan tante Ratih melarikan diri kalau memang dia hamil? Bukankah seharusnya dia senang akan menikah dengan Ayah dari calon anaknya?"
Ina dengan sangat polos menanyakan itu pada Izhar, dia tak menyadari kalau Izhar bahkan terkejut dengan apa yang diberitahukan olehnya.
"Kata siapa Ratih hamil?" tanya Izhar lagi. Ekspresi wajah Izhar berubah, dari yang datar tanpa ekspresi, berubah menjadi ekspresi yang penuh keterkejutan.
"Bukan kata siapa-siapa, tapi aku yang menemukan sebuah tespek di kamarnya waktu kami semua mencari keberadaan tante Ratih. Aku nggak sengaja nemuin tespek itu di dalam laci, tapi aku nggak pernah tunjukin tespek itu kepada siapapun, aku langsung menyimpannya. Karena waktu itu nenek dan kakek lagi sedih banget, aku nggak mau menambah kesedihan mereka dengan memberitahu mereka kalau Tante Ratih hamil." Ina menjelaskan.
Bagai tersambar petir di siang bolong, Izhar seolah merasakan hantaman keras juga pada dirinya, setelah mendengar penjelasan dari Ina. Izhar terdiam selama beberapa saat, tidak mengatakan apapun lagi, namun terlihat sekali dari ekspresinya Izhar seperti sedang memendam perasaan-perasaan yang sulit dijelaskan, seolah sebuah kekecewaan, kesedihan, kemarahan dan juga keterkejutan menguasai dirinya.
Karena Ina tak mau disangka berbohong, dia pun mengambil tespek yang saat itu ditemukannya dan menunjukkannya pada Izhar.
"Ini tespek yang aku temukan di lacinya tante Ratih, rasanya gak mungkin kalau ini milik orang lain," ujar Ina.
Tubuh Izhar bergetar, tangannya pun bahkan gemetaran saat menerima alat kecil itu dari Ina, Izhar memperhatikan dengan jelas dua garis merah di alat itu, yang memang secara medis itu menunjukkan bahwa seorang wanita Tengah hamil.
Izhar tak percaya Ratih memiliki barang kecil itu, terlebih hasilnya lah yang membuat Izhar sangat tidak percaya.
Ina yang melihat suaminya seperti itu menjadi khawatir, mungkinkah Izhar baru mengetahui kalau Ratih sedang hamil dan Izhar terkejut karena Ratih pergi dengan membawa benihnya?
"Om sedih ya, karena Tante Ratih pergi dengan membawa calon anak kalian? Sabar ya, Om," Ina mengusap-usap bahu Izhar lembut.
"Anak saya? Kamu pikir janin yang dikandung oleh Ratih itu anak saya?" Izhar bertanya pada Ina, tatapan matanya tajam pada gadis itu.
Ina mengangguk, "Iya, bukannya anak yang Tante Ratih kandung itu anaknya Om?"
Izhar menggeleng, "Saya dan Ratih belum pernah melakukan hubungan terlarang, apalagi sampai berhubungan badan, saya selalu menjaga dia sebaik mungkin dan nggak pernah menyentuh dia lebih dari menggenggam tangannya. Saya sangat menghormati wanita, bagi saya walaupun Ratih adalah calon istri saya, bukan berarti saya bebas menjamahnya, saya selalu menjaga diri saya agar enggak melakukan sesuatu yang dapat merusak dirinya. Saya hanya ingin melakukannya ketika kami sudah menikah." Izhar menuturkan dengan menahan emosinya, hingga tangannya mengepal.
Ina tak kalah terkejut mendengar penjelasan izhar, "kalau memang anak yang dikandung Tante Ratih itu bukan anaknya Om, lalu anak siapa?!" tanya Ina.
"Saya nggak tahu, yang pasti kehamilan Ratih itu bukan saya yang menyebabkannya, karena sampai detik ini saya pastikan kalau saya masih perjaka, saya belum pernah berhubungan badan dengan wanita manapun," Izhar membantah kehamilan Ratih adalah karenanya, dia sendiri tak pernah merasa menggauli kekasihnya itu, bagaimana bisa Ratih hamil olehnya?
"Jadi, kalau begitu, Tante Ratih selingkuh dan dia hamil anak selingkuhannya?" Ina menerka.
"Iya, kalau memang Ratih hamil dan melarikan diri, pasti karena dia selingkuh dan hamil oleh selingkuhannya. Jika memang Ratih nggak berselingkuh ataupun nggak hamil, dia nggak akan pernah pergi dari saya, dia pasti akan melanjutkan pernikahannya dengan saya. Tapi kenapa kenapa dia harus memperlakukan saya seperti ini? Selama ini saya mencintai dia, saya menyayangi dia dan memberikan semua apa yang dia inginkan tanpa pamrih, tanpa meminta balasan. Kalau memang dia berniat untuk selingkuh, kenapa harus menerima lamaran dari saya? Kenapa harus menggoreskan sebuah luka yang sangat dalam di hati saya? Apa yang kurang dari saya selama ini? Saya pikir saya bisa menjadikan dia satu-satunya wanita yang akan bertahta dalam hati saya dan membuat dia sangat jatuh cinta kepada saya, karena saya juga memberikan cinta dan kasih sayang yang penuh buat dia. Tapi kenapa seperti ini, dan fakta tentang kehamilan dia justru membuat saya ingin menangis," tutur Izhar dengan perasaan yang sangat sakit, matanya pun memerah.
"Saya sangat bodoh, saya nggak pernah menyadari kalau selama ini ternyata saya dipermainkan wanita yang paling saya cintai dan selalu saya jaga sepenuh hati, tanpa berani melakukan sesuatu yang melewati batas padanya, tapi dia justru hamil oleh laki-laki lain!"
Izhar berkata dengan penuh emosi namun dia juga terlihat sedih bahkan setetes air mata keluar dari sudut matanya, Ina baru sadar kalau Izhar tidak pernah mengetahui bahwa Ratih hamil dan dia juga tidak pernah menyadari kalau dirinya dikhianati oleh Ratih selama ini.
Izhar mematahkan tespek itu, melemparnya sejauh mungkin dan menangis dengan menutup wajahnya dengan telapak tangan. Izhar malu pada Ina karena menangis di depannya, tetapi ia juga tidak bisa menyembunyikan kesedihannya, rasa kecewanya dan amarahnya pada Ratih.
Ina tak tega melihat suaminya bersedih seperti itu, dia pun mendekat dan menyentuh kepala izhar.
Perlahan Ina mengusap kepala izhar, "Om yang sabar ya, maaf karena aku mengatakan yang sebenarnya tentang kehamilan Tante Ratih, harusnya mungkin aku gak usah bilang aja supaya Om gak sedih."
Ina merasa bersalah karena sudah mengatakan fakta yang seharusnya Izhar tak usah tahu, karena itu dapat membuat luka hati Izhar semakin mendalam.
Izhar tak mengatakan apapun, ia membuka kedua tangan yang menutupi wajahnya, lalu meraih pinggang Ina lebih mendekat padanya dan menenggelamkan wajahnya di perut Ina. Izhar menangis sesenggukan, merasa menjadi manusia yang paling menyedihkan di dunia ini.
Dua kali gagal menikahi wanita, dua kali juga di sakiti bertubi-tubi. Izhar terkadang ingin mengeluh, apa dosanya hingga Tuhan memberikan cobaan serumit ini dalam kisah asmaranya?
Ina mengelus kepala Izhar selembut mungkin, untuk pertama kalinya Ina melakukan hal seperti itu pada seorang lelaki. Rasa iba dan sedih mampu membuat sifat Random dan kekanakan dalam dirinya melemah untuk sejenak, Ina hanya ingin membuat Izhar tenang.
Siang itu, Izhar tak mau lepas dari Ina, ia merasa nyaman dalam pelukan gadis yang dinikahinya tiga hari lalu itu.
Ina sendiri tak keberatan dengan itu, karena Izhar adalah suaminya yang sah.
...***Bersambung***...