NovelToon NovelToon
Ketika Takdir Menemukan Langit

Ketika Takdir Menemukan Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Crazy Rich/Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / CEO / Office Romance
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Lacataya_

Embun Nadhira Putri, 28 tahun, terjebak antara tuntutan pekerjaan dan desakan keluarganya untuk segera menikah. Ketika akhirnya mencoba aplikasi kencan, sebuah kesalahan kecil mengubah arah hidupnya—ia salah menyimpan nomor pria yang ia kenal.

Pesan yang seharusnya untuk orang lain justru terkirim kepada Langit Mahendra Atmaja, pria matang dan dewasa yang tidak pernah ia pikirkan akan ia temui. Yang awalnya salah nomor berubah menjadi percakapan hangat, lalu perlahan menjadi sesuatu yang jauh lebih berarti.

Di tengah tekanan keluarga terutama sang Mama, rutinitas yang melelahkan, dan rasa takut membuka hati, Embun menemukan seseorang yang hadir tanpa diminta.
Dan Langit menemukan seseorang yang membuatnya ingin tinggal lebih lama.

Terkadang takdir tidak datang mengetuk.
Kadang ia tersesat.
Kadang ia salah alamat.

Dan kali ini…
takdir menemukan Langit.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lacataya_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 2 – Dua Sahabat dan Tiga Gelas Kopi

Pagi itu, udara Jakarta belum terlalu menusuk—belum sampai tahap menusuk hati seperti komentar tetangga soal jodoh—tapi cukup bikin Embun merasa hidup lagi setelah “kampanye nikah nasional” yang diluncurkan Mama Raina saat sarapan. Angin pagi membawa aroma embun tipis dan jalanan yang mulai ramai, sementara Embun mencoba mengusir sisa-sisa dramanya dengan mandi panjang.

Air shower turun deras, suaranya mirip hujan lokal di atap seng—nyaring, meriah, dan sedikit menyebalkan tapi bikin segar. Embun memejamkan mata di bawah guyuran air, sambil bergumam, “Ya Tuhan, semoga hari ini Mama nggak tiba-tiba ngetag gue di postingan motivasi nikah.”

Setelah selesai mandi, ia mengeringkan rambutnya sambil berjalan turun ke ruang makan. Rumah terasa hangat dan sibuk, cahaya matahari menerobos dari jendela dan mengenai meja makan yang sudah rapi. Aromanya menggoda, dan Embun tersenyum kecil—Mama memang selalu bangun lebih dulu dari alarm dunia.

Ia menuju meja makan untuk mengambil bekal makan siangnya, kotak makan berwarna pastel yang sudah disiapkan Mama. Embun membuka tutupnya sebentar, memastikan isinya lengkap—telur balado, sayur capcay, dan sambal kesukaan yang pedasnya bisa bikin hidup terasa lebih berwarna.

“Setidaknya makan siang aman,” gumamnya sambil memasukkan bekal itu ke dalam totebag kerja. “Tinggal hidup gue yang nggak aman.”

Dengan rambut masih setengah basah dan pikiran setengah kusut, Embun menghela napas panjang sebelum melirik jam. Hari baru dimulai, dan entah kenapa, pagi itu terasa seperti pembuka babak baru yang ia belum siap jalani.

“Bun, jangan lupa makan siangnya dihabisin. Biar nggak pucat kayak tagihan listrik,” celetuk Mama.

Embun cuma mendengus sambil menenteng paper bag bekal makan siangnya. Kalau didebat, nanti malah disuruh nikah lagi.

Setelah itu, ia pamit dan berangkat kerja dengan totebag hitam kesayangannya—tas yang sudah seperti senjata utama superhero HR-IT. Ia berjalan cepat menuju tukang ojek langganannya untuk mengantarnya sampai kantor.

“Pagi Neng Embun” Sapa Mang Jajang, si tukang ojek langganan.

“Pagi Mang, yuk cus” ucap Embun sembari memakai helm.

“Semangat ya, sayang,” teriak Mama Raina dari teras depan. “Hati hati Mang bawa anak sayanya.”

“Iya Buk” balas Mang Jajang kepada Mama Raina.

Jalanan sudah lumayan ramai, dengan motor-mobil saling salip, klakson yang tidak sabaran, dan bapak-bapak yang nyetir sambil nelpon. Setelah beberapa menit bermanuver ala pembalap profesional, Embun sampai di kantor. A.k.a gedung Global Farmasi.

Begitu masuk lobi, dinginnya AC langsung mencambuk kulit. Dan baru beberapa langkah di dalam kantor, suara cempreng nan familiar menyambut.

“EHH BUN! TUMBEN BANGET LO DATENG PAGI!” seru Karin, temannya sesame divisi HRGA & IT, sambil nyengir lebar.

Embun mengangkat alis. “Halah, apaan sih? Gue selalu pagi, cuma jamnya aja beda.”

Karin langsung cengar-cengir. “Biasanya lo dateng kayak artis. Tinggal duduk, terus laptop udah siap dibuka. Kayak host TV.”

Embun tertawa sambil menyalakan komputernya. “Salah besar. Gue tuh bukan artis. Gue malaikat penyelamat karyawan. Tanpa gue, slip gaji kalian nggak bakal turun, Rin.”

Rani ngakak, “Ya jangan sombong dong, Mbak HRD!”

Baru saja Embun mau buka email pertama, tiba-tiba ada suara langkah panik dari ujung ruangan. Damar dari divisi finance datang tergopoh-gopoh sambil menenteng laptop kayak lagi bawa bayi mau disunat.

“BUN… BUN… tolong!” Damar hampir kehabisan napas. “Komputer gue error lagi! Nggak bisa connect WiFi! Tolong benerin sebelum bos gue ngamuk!’

Embun melirik tajam tapi wajahnya jelas bercanda. “Mar, sumpah… WiFi lo tuh kayaknya dendam pribadi sama lo. Setiap minggu error. Itu laptop apa magnet masalah?”

“Gue nggak tahu! Pokoknya benerin sekarang! Gue takut bos gue mergokin gue bengong di depan layar!”

Embun berdiri sambil mengambil mug kopinya. “Yaudah sini. Untung gue paket lengkap HRD + IT. Lo bayangin ya, kalo gue resign, kantor ini chaos total.”

Dari kubikal sebelah, Karin teriak, “AMIN! CHAOS BARENG-BARANG!”

Satu ruangan langsung pecah ketawa.

Setelah lima menit mengecek laptop Damar, mengetuk modem, dan mengutuk laptop tua yang kayaknya sudah siap pensiun, Embun akhirnya berhasil memperbaiki jaringan WiFi.

“Cieee nyala lagi,” kata Embun sambil menepuk laptop Damar. “Tolong ya, jangan bikin masalah lagi. Pemilik lo udah cukup nyebelin.”

“Gue denger yaa!” protes Damar.

“Emang gue ngomong buat lo.” Embun ngedip santai.

Baru Embun mau kembali menatap mejanya, tiba-tiba muncul sosok lain: Mbak Sari dari marketing. Energinya pagi itu seperti printer yang mau meledak.

“Mbun ini… pengajuan cuti. Tolong ACC cepet ya. Kalo nggak, sumpah bisa meledak gue kayak printer rusak!” katanya sambil menyodorkan amplop.

Embun menerima amplop itu sambil menyeringai. “Santuy, Mbak. Gue prosesin. Tapi jangan meledak ya. Printer rusak aja masih bisa gue benerin, masa manusia enggak.”

Mbak Sari ngakak sambil menampar pelan bahu Embun. “Ihhh mulut lo ada-ada aja!”

*

Jam makan siang pun tiba. Mereka berkerumun di pantry, masing-masing bawa bekal atau mie instan. Embun duduk sambil menyendok nasi ketika Karin kembali mulai menyerang.

“Eh Bun,” katanya sambil menunjuk Embun pakai sumpit. “Gue penasaran deh… lo ini HRD apa IT sih? Kayaknya semua orang kalo ada masalah apa pun, ujung-ujungnya ke lo.”

Embun mengangkat dagunya bangga. “Gue ini all-in-one, Ran. Kayak printer 3-in-1. Bisa nge-print, nge-scan, sama nge-fax.”

Damar nyeletuk dari ujung meja, “Fax masih ada ya, Bun?”

Embun langsung menatapnya dengan tatapan ‘lo cari ribut ya’. “Ya nggak ada lah! Sama kayak lo, Mar—fungsinya suka bikin bingung.”

Seluruh pantry langsung pecah ketawa. Damar cuma bisa manyun sambil ngaduk nasi, kalah debat lagi. Kemudian Embun menatap teman-temannya sambil tersenyum lelah tapi tulus.

**

Sore menjelang, cafe langganan itu selalu punya aroma khas: campuran kopi, kayu manis, dan sedikit bau roti baru keluar oven. Di luar, langit sudah gelap, lampu jalan mulai menyala. Dari balik jendela kaca, orang-orang tampak sibuk lewat.

Embun sudah duduk di pojok dekat jendela, memainkan sedotan di gelas es kopi yang baru ia pesan. Matanya kosong sesekali melirik keluar. Begitu pintu kafe berdering, Lona masuk dengan langkah terburu-buru, wajahnya setengah panik setengah bete.

Lona meletakkan tas di kursi dengan heboh “Sumpah ya, kalo gue bisa nyulap motor jadi helikopter, udah gue lakukan tadi. Jalanan macetnya kayak neraka pas jam diskonan.”

Ilona Meuthia, atau akrab dipanggil Lona, berusia dua puluh tujuh tahun. Ia adalah jiwa bebas dengan kamera di tangan, seorang fotografer sekaligus editor majalah politik online NUSADUA.COM. Ke mana pun ia pergi, selalu ada warna dan tawa yang ia bawa.

Mulutnya nyaris tak pernah berhenti bicara — tapi di balik cerewet dan blak-blakannya, Lona punya kemampuan membaca situasi yang tajam. Ia tahu kapan harus bercanda, dan kapan harus diam mendengarkan.

Sebagai anak bungsu yang orang tuanya tinggal jauh di luar kota, Lona terbiasa mandiri — dan dengan bangganya mengaku “anti menikah muda”. Namun kadang, di sela-sela candaannya tentang “hidup bebas tanpa drama rumah tangga”, ada satu desah lirih yang nyaris tak terdengar: “Tapi… kayaknya lucu juga ya punya seseorang buat pulang.”

Embun tertawa kecil, menggeleng “Lo drama banget. Padahal lo cuma telat lima belas menit.”

Lona mengerucutkan bibir, pura-pura tersinggung “Lima belas menit tuh bisa jadi perbedaan antara masih jomblo sama udah dilamar, Bun.”

Embun ngakak, baru saja mau membalas, pintu kafe kembali berdering. Bia muncul, wajahnya kalem seperti biasa. Ia masuk dengan langkah tenang, seakan dunia nggak pernah bikin dia terburu-buru.

Bia menaruh tas dengan rapi, duduk Santai “Hmm… gue suka tempat ini kalau udah mulai sepi.”

Berbeda jauh dengan Lona, Anabia Davina Prameswari — atau Bia, yang kini berusia dua puluh sembilan tahun — adalah tipe yang tenang, logis, dan selalu berpijak di realita. Ia bekerja sebagai staf di The Wiratama Group, sebuah Firma Hukum yang cukup terkenal di Indonesia.

Sebagai anak tunggal dari keluarga Jawa yang konservatif, Bia dibesarkan dengan nilai-nilai kesabaran dan kesopanan. Ia sering menjadi penengah antara Embun dan Lona — dua kutub yang berlawanan tapi selalu berhasil membuat hidupnya tidak pernah sepi. Namun, di balik tutur katanya yang lembut dan pikirannya yang rasional, Bia menyimpan luka kecil dari masa lalu, yaitu sebuah hubungan yang gagal menjelang hari pernikahan.

Lona menatap Bia dengan dramatis “Tolong ya, kita berdua udah setengah mati lawan kemacetan. Lo nongol santai kayak lagi iklan minuman isotonik.”

Bia tersenyum tipis, meraih menu “Ya makanya, sabar itu seni.”

Embun hanya menggeleng sambil nyengir, merasa nyaman dengan kehadiran dua sahabatnya. Setelah pesanan mereka datang, obrolan pun mulai mengalir.

*

Lona menyender, memutar sedotan di gelasnya  “Gue serius nih, kapan kita bertiga bisa upgrade status? Masa dari kuliah sampe sekarang masih aja jomblo berjamaah?”

Yap, mereka pertama kali berkenalan saat masih menjadi mahasiswa baru di Universitas Pangandar. Meski berbeda jurusan, takdir mempertemukan mereka bertiga dalam situasi yang… cukup unik dan sedikit memalukan. Saat itu, mereka sama-sama dihukum oleh anggota BEM karena tidak membawa papan nama.

Embun masih ingat jelas bagaimana kejadian itu berlangsung—terutama momen ketika Lona, tanpa takut sedikit pun, membalas setiap perkataan anggota BEM yang mengomel. Salah satu dari mereka tidak terima dibalas, dan suasana hampir berubah jadi baku hantam. Embun dan Bia yang awalnya hanya ingin menjalani hukuman dengan tenang, justru ikut turun tangan membantu Lona karena melihat bagaimana semena-menanya anggota BEM itu.

Kejadian itu langsung membuat nama mereka bertiga terkenal di kalangan mahasiswa baru—entah sebagai trio pemberani, trio pembangkang, atau trio calon penghuni ruang tata tertib, mereka tidak pernah benar-benar tahu.

Sejak hari itu, hubungan mereka berkembang begitu cepat. Mereka mulai sering bertemu di kantin, nongkrong di kosan Bia atau Lona, dan sesekali mereka bertiga bahkan menginap di rumah Embun. Di antara tawa, drama kampus, dan tugas yang menumpuk, perlahan tapi pasti, mereka menjadi sahabat yang tak terpisahkan.

Embun menyandarkan dagu di tangan, pura-pura Santai “Lagian kenapa sih jomblo dianggap masalah? Gue fine-fine aja, kok.”

Lona menatap tajam, menunjuk Embun dengan sedotan “Fine-fine apaan. Bun, lo tuh kayak orang abis kalah lomba karaoke tapi ngotot suaranya bagus.”

Embun tertawa, tapi cepat menutupinya dengan menyeruput minuman “Emang salah kalau gue nyaman sendiri?”

“Bukan salah, cuma… jangan sampai kenyamanan itu jadi alasan lo berhenti buka hati.” Ucap Bia berbicara lembut, menatap Embun lama.

Ucapan Bia membuat Embun terdiam sejenak. Ada sesuatu di tatapan sahabatnya yang terasa menembus.

“Atau kalo enggak, siap-siap aja dijodohin tetangga. Percaya deh, emak-emak komplek tuh lebih update daripada aplikasi kencan.” Ujar Lona mencoba mencairkan suasana

Embun mendengus dan pura-pura kesal “Lo ngomongnya enak, Lo. Tapi tau nggak, gue tiap kali pulang kampung, om tante gue udah kayak agen properti. ‘Eh, Bun, ada tuh anak si A, masih single, udah kerja di bank.’”

Lona meletakkan tangan di dada, berpura-pura terharu “Aww, berarti lo udah jadi incaran pasar! Gue aja ditanyain kapan kawin, bukan ditawarin jodoh.”

Mereka bertiga tertawa. Tawa itu nyaring, tapi sesaat kemudian hening menyelinap ketika topik bergeser ke masa lalu.

“Gue dulu pernah mikir hubungan gue yang paling serius. Eh, ternyata dia lebih cinta sama selingkuhannya. Nggak apa-apa sih, tapi rasanya… sakit juga.” Ucap Bia dengan suara pelan.

Tak mau kalah ari Bia, Lona menepuk meja pelan, nada naik turun kayak stand-up comedy

“Yaelah, Bi. Gue mah lebih tragis. Baru seminggu deket, cowoknya hilang. Kayak ditelan bumi. Gue sampe mikir jangan-jangan gue punya aura pengusir jodoh.”

Embun tertawa, tapi tawanya hambar. Ia menunduk, meremas tisu di tangannya.

“Yah, intinya kita semua punya cerita gagal. Bedanya cuma kapan dan seberapa sakitnya.” Ucapnya lirih terdengar riang.

Lona dan Bia saling bertukar pandang. Ada jeda singkat, sebelum Lona lagi-lagi memecah suasana.

Lona menepuk bahu Embun dengan gaya sok bijak “Udah, Bun. Solusi gampang: aplikasi dating. Tinggal swipe kanan kiri. Minimal kalo gagal, kita masih bisa bikin meme bareng.”

“Apa?! Gue? Download aplikasi kencan? Gila lo!” teriak Embun melotot kaget.

Bia tersenyum kalem, sambil mengaduk minumannya “Coba aja. Anggap tantangan. Kadang hal sepele bisa jadi awal dari sesuatu yang besar.”

“Ayolah Bun, Malam ini juga lo harus install. Kalau lo berhasil, gue langsung instal itu aplikasi.” Ucap Lona nyengir nakal sembari menunjuk Embun.

Embun mendengus keras, tapi wajahnya memerah. Ia mencoba membantah, tapi dua sahabatnya sudah cekikikan, menikmati kekesalannya.

*

Obrolan sempat riuh karena Lona yang terus-terusan nyindir soal aplikasi dating. Tapi tiba-tiba Embun menghela napas panjang, membuat dua sahabatnya otomatis menoleh.

Dengan suaranya yang pelan Embun menatap gelas kopinya “Lo tau nggak… kemarin nyokap gue bilang gini, ‘Bun, umur kamu udah segini. Jangan terlalu milih-milih. Mama pengen liat kamu nikah sebelum Mama tua.’”

Lona langsung refleks, mengangkat alis tinggi-tinggi “Waduh… ultimatum emak detected! Itu bukan lagi tekanan, Bun, itu deadliner hidup.”

Bia memandang Embun serius, nada tenang tapi hangat “Gue ngerti rasanya, Bun. Kadang keluarga cuma mikir kita bakal bahagia kalo udah nikah. Padahal nggak sesederhana itu.”

“Iya… gue ngerti maksud nyokap. Cuma… gue masih trauma. Gue takut salah pilih lagi. Tapi di sisi lain, gue juga nggak mau ngecewain beliau.” Balas Embun tersenyum miris sembari memeluk lengannya sendiri

Embun menunduk, matanya sedikit berkaca-kaca, meski ia buru-buru meneguk kopinya untuk menutupi.

Lona mencoba mencairkan suasana lalu menepuk tangan Embun “Ya ampun, Bun… kalo gitu gue punya solusi. Lo install aplikasi dating yang tadi terus gak perlu basa basi langsung lo ajak siapa yang mau diajak serius, terus lo nikahin dehh biar emak lo senang, happy dan tentram”

Embun langsung ngakak, air matanya hampir jatuh tapi tertahan oleh humor Lona. Suasana kembali cair. Embun menghela napas, kali ini lebih lega, lalu tersenyum tipis pada kedua sahabatnya.

“Makasih ya, karena kalian berdua. Gue jadi tau kalau gue nggak sendirian.” ucap Embun pelan.

Embun baru saja menyelesaikan kalimatnya, masih dengan ekspresi getir. Kedua sahabatnya menatap penuh empati. Kafe yang tadinya riuh terdengar, seolah memberi jeda khusus untuk mereka bertiga.

 “Bun, nggak ada yang bisa buru-buruin. Nikah itu bukan perlombaan. Tapi kalau lo emang masih takut, nggak apa-apa… asal jangan berhenti coba percaya lagi.” Ucap Bia dengan suara lembutnya mencondongkan badannya kearah Embun

Embun mengangguk pelan, meski jelas masih ada keraguan di matanya.

Lona menyambar dengan suaranya yang lebih ringan “Setuju. Tapi supaya lo nggak terlalu kebawa mellow, gue kasih challenge aja. Biar lo nggak cuma mikirin omongan nyokap lo doang.”

Embun menatap heran kearah Lona “Challenge apaan lagi, Lo? Jangan-jangan yang aneh-aneh…”

Sembari menepuk meja dengan mata berbinar Lona berkata “Install aplikasi dating. Malam ini juga.”

Embun spontan, hampir tersedak minumannya  “Hah?! Gila kali, Lo! Gue udah pusing mikirin disuruh nikah, sekarang lo malah nyuruh gue buat cari cowok di aplikasi dating, rada rada lo, gue kira ucapan lo yang tadi cuman candaan doang”

“Ihh justru itu! Anggap aja latihan mental. Nggak usah serius banget, Bun. Minimal lo punya bahan buat ketawa bareng kita.” Lona ngotot, tapi sambil ketawa.

Bia mengangkat alis, wajahnya tetap  datar tapi matanya berkilat nakal “Gue setuju sama Lona. Kadang jodoh datang dari hal-hal nggak terduga, kan? Coba aja. Anggap aja eksperimen.”

Embun menatap dua sahabatnya bergantian “Kalian berdua kompak banget kalau nyuruh gue gila. Eh, tau nggak, aplikasi itu penuh orang aneh.” Sewot Embun.

 “Kalau gitu cocok! Lo juga aneh.” Ucap Lona sembari mencondongkan wajah dan nyengir.

Embun ingin marah, tapi akhirnya malah ikut tertawa bersama mereka. Tawa itu sedikit banyak meringankan beban di dadanya.

*

Malam makin larut. Setelah mereka berpisah di depan kafe, Embun berjalan pulang dengan kepala penuh pikiran. Sepanjang jalan Kata-kata ibunya terus terngiang, bercampur dengan tantangan absurd dari dua sahabatnya.

setelah sampai rumah, Embun langsung masuk kedalam kamarnya. Di kamar, ia menatap ponselnya lama. Jarinya menggantung di layar, berdebat dengan dirinya sendiri.

“Apa gue beneran harus…?” gumamnya lirih.

Setelah hening panjang, ia akhirnya mengetik di kolom pencarian: dating app.

Dengan jantung berdebar, ia menekan tombol download.

“Astaga, Bun… Lo udah gila beneran?” katanya sambil menutup wajah dengan bantal.

**

tbc

1
Bia_
ferdi lu bener bener ya,
Al_yaa
greget banget sama bab ini, gak sabar nunggu lanjutannya, updatenya bisa langsung 5 bab gak thor,penasaran bangettt
Al_yaa
cepatt cari orang bodoh itu papiiii
Al_yaa
cefatt rekrut diaa langitttt
KaosKaki
rasakno koe fer
KaosKaki
boleh gak berkata kasar buat di Ferdi /Panic//Panic/
Bubuuu
ceritanya bagus banget 👍👍😍😍
Al_yaa
yg buat virus perempuan, diremehin pulak tapi bikin satu gedung gonjang ganjing /Joyful/
aRa_
hebat banget embun, langsung ulti si Ferdi pake virus biar kicep
aRa_
bajigur banget si Ferdi /Panic/
aRa_
baru telponan aja udh deg degan ya embun
Al_yaa
ferdi, lo syibal banget yakk/Angry/
Al_yaa
pandangan pertama awal aku berjumpa /Hey//Hey/
Al_yaa
one step closer langit, berawal dari callan lama lama video callan dehhh
Bia_
akhirnya akhirnya /Scream/
Bia_
yaloh mereka udah Callan aja
KaosKaki
huuwwaaa akhirnya mereka ketemu tapi gak kenal /Sob//Sob//Sob/
KaosKaki
ada apa inih, kenapa bapaknya angkasa nongol. tor ada apa ini coba jelaskan
KaosKaki
bener bener dah ya, embun sama langit udah kaya anak abg banget /Facepalm/
Bia_
wow apakah akan ada plot twist Pemirsa 🤭
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!