NovelToon NovelToon
1000 Hari Bersamamu

1000 Hari Bersamamu

Status: sedang berlangsung
Genre:Wanita Karir / Romantis / Cintamanis / Cinta Seiring Waktu / Peran wanita dan peran pria sama-sama hebat / Romansa
Popularitas:6k
Nilai: 5
Nama Author: Mardonii

Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.

Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.

Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6. PASAL-PASAL YANG MENGURUNG

..."Beberapa aturan dibuat untuk melindungi, tapi ada yang justru perlahan mengurung hati yang ingin berbuat baik."...

...---•---...

"Pasal 15: Media dan Publikasi. Koki pribadi dilarang keras berbicara dengan media, mengunggah apa pun di media sosial tentang klien, bahkan sekadar memberi isyarat soal keberadaannya. Tidak boleh ada foto, status, atau cerita, bahkan kepada keluarga dan teman. Semua informasi harus dijaga ketat."

Adrian mengeluarkan dokumen tambahan dari kopernya dengan bunyi kertas yang bergesekan. "Ini perjanjian kerahasiaan. Berlaku seumur hidup, bahkan setelah kontrak selesai. Bapak tidak boleh menulis buku, menjual cerita ke media, atau mengeksploitasi pengalaman kerja dengan Nona Naira dalam bentuk apa pun."

Doni menandatangani tanpa membaca detail lebih lanjut. Kepalanya terasa berat, pelipis berdenyut pelan. Bahunya pegal dari berdiri terlalu lama. Sudah terlalu banyak janji yang ia torehkan hari ini.

"Pasal 18: Akses dan Pergerakan." Adrian melanjutkan. "Bapak hanya boleh berada di area tertentu: kamar, dapur, ruang makan, taman belakang, dan ruang cuci. Lantai dua adalah area pribadi Nona Naira, dilarang naik kecuali dalam kondisi darurat atau jika diminta langsung olehnya."

"Keluar rumah hanya untuk berbelanja bahan atau urusan pekerjaan. Bapak harus izin kepada Ibu Ratna minimal dua jam sebelumnya. Maksimal empat jam di luar, dan wajib kembali sesuai jadwal yang ditentukan."

Doni menata pancake di piring dengan gerakan otomatis, menuangkan sirup mapel yang mengalir lambat seperti madu keemasan, menambahkan buah segar di atasnya. Warna-warna cerah kontras dengan suasana hatinya yang kelam. Semuanya tampak sempurna. Di luar keindahan sajian itu, ia merasa seperti terpenjara dalam sangkar emas.

"Pasal 23: Kerahasiaan Mutlak." Adrian berbicara dengan nada lebih serius, suaranya turun setengah oktaf. "Apa pun yang Bapak lihat, dengar, atau alami di rumah ini adalah rahasia. Termasuk kondisi Nona Naira, tamu yang datang, bahkan percakapan yang tidak sengaja terdengar."

Adrian menatap Doni dalam-dalam, matanya tajam di balik kacamata. "Kalau ada wartawan yang menghubungi, jangan jawab apa pun. Kalau ada orang memotret, segera lapor ke Ibu Ratna. Kalau ada orang asing mencoba masuk, langsung hubungi keamanan."

Doni menarik napas pelan, udara masuk berat ke paru-parunya. "Saya tidak akan membocorkan apa pun. Lagipula siapa yang akan percaya cerita saya?"

"Bagus." Adrian mengangguk, senyum tipis muncul di wajahnya. "Kami membutuhkan orang seperti Bapak yang loyal, seribu hari penuh."

Loyal. Kata yang terdengar mulia untuk situasi yang terasa seperti penjara.

Mereka lanjut membahas sisa pasal dengan cepat. Larangan demi larangan berbaris rapi seperti tentara yang siap mengepung. Doni tetap sibuk di dapur, tapi pikirannya menelan setiap kalimat yang terasa makin berat: tidak boleh membawa alkohol, tidak boleh mengundang tamu pribadi, harus siap untuk inspeksi mendadak, tidak boleh punya hubungan romantis, dan yang paling mencekik, klien boleh memutuskan kontrak kapan pun dengan kompensasi hanya separuh dari sisa kontrak.

Pukul seperempat tujuh pagi, Adrian akhirnya menutup dokumen terakhir. Di meja tergeletak tumpukan kertas yang kini penuh tanda tangan Doni, seperti kontrak yang ditulis dengan darah tanpa perlu menusuk kulit.

"Selesai. Terima kasih sudah sabar, Pak Doni." Adrian tersenyum lega, mengusap keningnya yang berkeringat tipis.

Doni menghembuskan napas panjang. Pancake sudah siap: menara lembut berlapis buah segar, siraman sirup mapel yang berkilau di bawah lampu dapur, dan segelas jus jeruk yang baru diperas. Semuanya terlihat sempurna. Tapi entah kenapa, rasanya hambar bahkan sebelum disentuh lidah.

"Satu hal lagi, Pak Doni." Adrian merapikan berkas dan menutup koper hitamnya dengan bunyi klik yang final. "Saya tahu semua ini terdengar gila. Lima puluh pasal, segunung aturan. Tapi ini juga untuk melindungi Bapak. Kalau ada masalah, semua jelas di atas kertas."

Ia menurunkan suaranya sedikit, seperti berbagi rahasia. "Dan jujur saja, Nona Naira bukan tipe yang sulit. Dia cuma... tidak berada dalam kondisi terbaiknya saat ini. Baru keluar dari pernikahan yang buruk. Mohon berikan waktu. Jangan diambil hati. Lakukan saja bagian Bapak."

Doni menatap Adrian. Tidak berada dalam kondisi terbaiknya sampai tidak makan sama sekali? Tidak berada dalam kondisi terbaiknya sampai terkunci di kamar sendiri?

Tapi ia tidak mengatakannya. Ia hanya mengangguk. "Saya mengerti."

Kasih waktu. Jangan diambil hati. Tapi berapa lama seseorang bisa bertahan tanpa makan? Berapa lama sebelum ketidaksiapan kondisi berubah menjadi ancaman nyata?

Begitu Adrian pergi, dapur kembali sunyi. Hanya bunyi kulkas yang berdenging pelan dan desisan AC yang mengisi kekosongan. Pancake sudah dingin di piring, sirup mapel mulai mengental di permukaannya. Doni menatapnya lama, sempurna secara visual, menara berlapis yang rapi, buah-buahan berwarna cerah. Tapi ia sudah tahu ini akan menjadi penolakan yang ketiga.

Ia menutupi piring dengan plastik wrap dan meletakkannya di konter, menunggu pukul tujuh tepat.

...---•---...

Pukul tujuh, Ratna datang mengambil nampan. Doni sudah menatanya dengan rapi: pancake menara, sirup mapel di wadah kecil, buah segar, jus jeruk, dan secangkir teh hijau hangat.

"Cantik sekali tampilannya," kata Ratna sambil tersenyum, tapi ada kekhawatiran tipis di matanya. "Nona Naira pasti suka."

Doni hanya mengangguk. Ia sudah belajar: jangan berharap.

Pukul seperempat delapan, Ratna kembali. Seperti yang sudah diduga, pancakenya masih utuh, menara sempurna yang tidak tersentuh. Hanya teh hijaunya yang berkurang setengah.

"Ia bilang apa?" tanya Doni, suaranya nyaris datar tapi ada getaran kecil di ujungnya.

Ratna menggeleng pelan, tatapannya menghindari mata Doni. "Tidak bilang apa-apa. Dia cuma duduk di balkon, menatap keluar."

Menatap ke mana? Ke kota Bandung yang mulai sibuk di bawah sana, atau ke masa lalu yang tidak bisa ia ubah?

Doni mengambil piring pancake itu. Ia tidak tahu kenapa melakukan ini, mungkin karena tidak suka membuang makanan, atau mungkin karena ia merasa perlu merasakan penolakan itu secara fisik. Ia duduk di meja makan sendirian dan mulai makan, perlahan, gigitan demi gigitan.

Pancake yang tadi sempurna kini sudah dingin. Teksturnya berubah, tidak lagi lembut tapi kenyal seperti karet, sirup mapel mengental jadi lengket di langit-langit mulut. Buah-buahan sudah layu, stroberi kehilangan warna cerahnya, pisang mulai kecokelatan di pinggirnya. Setiap suapan berat ditelan, seperti ada yang menyumbat tenggorokan.

Ini bukan tentang rasa. Ini tentang menelan kegagalannya sendiri. Setiap gigitan adalah pengingat: masakanmu ditolak. Kamu ditolak.

Ia menghabiskan setengah piring sebelum berhenti. Tidak sanggup lagi. Garpu jatuh ke piring dengan bunyi klik pelan. Dadanya sesak, napasnya pendek-pendek.

Dua hari. Dua menu yang dimasak dengan hati, dua kali ditolak. Masih ada sembilan ratus sembilan puluh delapan hari tersisa.

Berapa banyak penolakan lagi sebelum aku mulai mati rasa seperti dia? Berapa lama aku bisa memasak dengan hati kalau setiap kali rasanya seperti membuang jiwa ke tempat sampah?

Doni menutup mata sebentar. Bahunya terasa berat, seperti menopang beban yang tidak terlihat. Lima puluh pasal kontrak membelenggu dirinya seperti rantai, tapi yang paling berat bukan aturan-aturan itu. Yang paling berat adalah harus memasak untuk seseorang yang kehilangan selera untuk hidup.

Ia menatap keluar jendela dapur. Matahari mulai tinggi, kabut menipis, dan burung-burung berkicau di taman belakang. Suara itu terasa kontras dengan hening yang menekan di dalam rumah.

Ia teringat Pasal 12: larangan terlibat emosional.

Tapi bagaimana mungkin ia tidak terlibat, kalau setiap makanan yang ditolak terasa seperti penolakan terhadap hatinya? Bagaimana bisa ia tidak peduli, kalau di lantai atas ada seseorang yang perlahan kelaparan? Bukan karena tidak ada makanan, tapi karena tidak ada keinginan untuk hidup.

Lima ratus juta rupiah denda kalau melanggar kontrak.

Namun Doni tahu, ada hal-hal yang jauh lebih berharga dari uang. Dan mungkin, suatu hari nanti, ia harus memilih antara kontrak atau nuraninya.

Untuk saat ini, ia hanya bisa kembali ke dapur. Membersihkan piring dengan gerakan mekanis. Menyiapkan bahan makan siang. Dan berharap, entah bagaimana, hari ini akan sedikit berbeda.

...---...

Tapi di lantai atas, di kamar yang pintunya terkunci rapat, Naira Adani masih duduk di balkon. Kursi rotan berderit pelan saat angin bertiup, tapi tubuhnya tidak bergerak. Punggungnya kaku, bahu turun, seperti boneka yang lupa cara duduk dengan nyaman.

Tangan terlipat di pangkuan, jari-jari pucat dan dingin. Mata menatap ke kejauhan tapi tidak melihat apa-apa. Kota Bandung di bawah mulai sibuk, mobil-mobil kecil bergerak seperti semut, tapi bagi Naira, semuanya hanya bentuk-bentuk tanpa makna.

Angin pagi menyentuh kulitnya tapi ia tidak merasakannya. Matahari menyinari wajahnya tapi matanya tetap kosong, seperti jendela rumah kosong yang tidak ada kehidupan di dalamnya. Burung berkicau di pohon dekat balkon, tapi suaranya tidak sampai ke telinganya.

Yang ia rasakan hanyalah dingin. Dingin yang datang dari dalam, dari tempat yang dulu penuh hangat tapi sekarang hanya ada kekosongan. Dingin yang tidak bisa diusir oleh apa pun, bahkan oleh pancake termanis yang disajikan dengan harapan.

...---•---...

...Bersambung...

1
Ikhlas M
Loh Naira, jangan banyak makan-makan yang pedes ya nanti sakit perut. Kasian perutnya
Ikhlas M
Bisa jadi rujukan nih buat si Doni ketika dia ingin makanan sesuatu yang dingin
Ikhlas M
Pinter banget sih kamu Don. Aku jadi terkesan banget sama chef terbaik kayak kamu
Ikhlas M
Akhirnya dia mau makan juga. Terbaik banget sih kamu Don. Chef paling the best se jagat raya
Ikhlas M
betul banget. Memang makanan lokal juga gak kalah hebatnya di bandingan makanan luar
Iyikadin
Biasanya orang yang paling kita cintai adalah orang yang paling menyakiti juga😭
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
ada mslh apa sebenrnya sama naira, hingga dia jd terpuruk kyk gtu, smg masskanmu bs mmbuat naira kmbli hidup Doni
☠ ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘAthena
krn selera mknnya udh nggk ada doni, coba km buat mdkn yg baunya menggugah selera, jd nnt saat namira mencium bau mskn km dia jd ingin mkn
Rezqhi Amalia
nah betul. si pemilik rumah aja gak masalah tu
Rezqhi Amalia
ya gtu sih, satu laki laki saja berbuat kesalahan, pasti semua laki laki disamakan. begitu pula sebaliknya😭🤣
Rezqhi Amalia
seperti biasa Thor, pbukaan yg bagus🥹
Cahaya Tulip
Asal Ratna ga tau..klo pun tau tenang aja don, Naira pasti membelamu. yang penting nasi gorengnya jangan lupa pakai terasi 😁👍
@dadan_kusuma89
Ternyata kau sudah memikirkan sampai sedalam itu, Don. Aku salut denganmu, bukan hanya rasa di lidah yang kau utamakan, namun lebih dari itu, selain enak juga harus sehat.
@dadan_kusuma89
Filosofi dalam setiap resep racikan yang kau ciptakan selalu mengandung unsur penawar, Don. Meski tanpa kata ataupun ramuan herbal, namun jika rasa yang ditimbulkan memiliki kekuatan hakiki, maka semua itu bisa menjadi pendorong semangat hidup.
☕︎⃝❥Ƴ𝐀Ў𝔞 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ℘ℯ𝓃𝓪 🩷
mungkin krn klean mulai dekat, jd Naira ingin lebih kenal, paham & berempati sama kmu Don 🤭
Muffin
Betul mereka punya luka kehilangan yang sama. Hanya beda cara bersikap aja. Kalau naira lebih menutup diri
Muffin
Teratur sekali yaa hidup naira. Aku aja kadang makan pagi dirapel makan siang 🤣
LyaAnila
dia goreng nasi goreng lagi kah? kalau iya, pasti baunya harum. ahjadi pengen🤭
PrettyDuck
hwaaaa kalo ketauan pengacaranya jadi masalah gak nih? tapi syukur2 naira gak jadi mati kelaperan kann 😭
PrettyDuck
akhirnya makan kau nairaa! udah 8 bab si doni nungguin biar kamu makan 🫵
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!