NovelToon NovelToon
The Thousand Faces Of The Demon Sage

The Thousand Faces Of The Demon Sage

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Action / Reinkarnasi / Mengubah Takdir / Budidaya dan Peningkatan
Popularitas:498
Nilai: 5
Nama Author: Demon Heart Sage

Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya.
Setiap wajah punya kekuatan dan masa lalu sendiri.
Saat dunia mengejarnya sebagai iblis, ia sadar—
menjadi iblis sejati bukan berarti kehilangan kemanusiaan,
tapi menerima semua sisi manusia yang ia benci.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 10 — Pertemuan dengan Guru Sekte

Hening menyelimuti aula rahasia sekte Langit Tenang, cahaya lilin bergetar pelan, memantul dari dinding batu bercahaya simbol energi yang terpahat rapi. Wuyan berdiri di ambang pintu, merasakan ketegangan di udara, berat namun mencekam. Di sisinya, Elder Ming Zhao berjalan perlahan, tatapan matanya tajam namun tenang, membawa aura wibawa yang membuat setiap langkah Wuyan terasa seperti ujian tak kasat mata.

“Wuyan,” suara guru terdengar dalam nada yang lembut, namun mengandung ketegangan yang tak terbantahkan, “kau telah menapaki jalan yang berbahaya. Fragmentasi jiwa yang kau alami… bukan sekadar teori lagi.”

Wuyan menelan ludah, menatap lantai bercahaya. Ia merasakan getaran halus di tubuhnya, serpihan energi yang bergerak di antara Hun dan Po, dan di tengahnya, wajah Liang Yu yang kini hidup sebagai fragmen di dalam dirinya. Bayangan itu hadir, samar, menatap Wuyan dengan senyum tipis, menunggu reaksi muridnya.

“Apa yang Kau maksud, Guru?” Wuyan bertanya perlahan, suara hampir tersedak karena ketegangan. Ia tahu jawaban yang akan ia dengar tidak akan ringan.

Elder Ming Zhao berhenti di tengah aula, menatap Wuyan dalam diam sejenak, seolah mengukur kedalaman perubahan yang terjadi dalam diri muridnya. “Setiap jiwa yang kau serap, setiap wajah yang kau panggil… itu bukan tanpa konsekuensi. Hun–Po milikmu mungkin masih utuh, tapi setiap fragmen yang kau bawa ke dalam dirimu… bisa menimbulkan retakan permanen dalam identitasmu.”

Wuyan menunduk, menyadari kebenaran kata-kata guru. Ia merasakan tekanan di dada, di mana Po berontak, dorongan naluriah yang liar, sementara Hun mencoba menahan arus yang tidak stabil. Ia menatap bayangan di dalam kesadarannya, wajah Liang Yu muncul di antara pusaran energi, tersenyum samar namun menuntut.

“Jadi… aku seharusnya berhenti?” Wuyan bertanya, suaranya bergetar, tetapi nada itu tidak sepenuhnya menyerah. “Aku tidak bisa… tidak mungkin mundur sekarang. Jika aku berhenti, semua yang sudah aku pelajari dan semua kekuatan yang aku rasakan akan hilang. Aku ingin mengerti, Guru. Aku ingin tahu batasku.”

Elder Ming Zhao menghela napas panjang. Lilin-lilin di sekeliling mereka bergetar, cahaya mereka menari di dinding, membentuk bayangan yang seolah hidup. “Mengetahui batasmu… berbeda dengan menantangnya tanpa kesiapan. Setiap langkah yang kau ambil tanpa pemahaman penuh, Wuyan… akan meninggalkan bekas yang tak bisa diperbaiki. Hun–Po bukan sekadar latihan energi. Ini adalah esensi jiwa, inti kesadaranmu. Dan fragmentasi… fragmentasi jiwa bukanlah hal yang bisa dihapus.”

Wuyan merasakan keringat dingin mengalir di punggungnya, meski ruangan itu sejuk. Bayangan itu bergerak, menari di tepi persepsi, seolah ingin mengingatkan bahwa ia selalu ada, pengawas dan pemandu sekaligus. “Aku mengerti risikonya, Guru. Tapi… aku harus melanjutkan. Aku harus tahu sampai sejauh mana aku bisa mengendalikan fragmentasi ini.”

Elder Ming Zhao menatap muridnya dalam diam, matanya penuh filosofi. “Keingintahuan adalah api yang kuat, Wuyan. Tetapi ingat, api yang sama bisa membakarmu jika kau tidak hati-hati. Kau memanggil wajah-wajah lain, kau menyerap jiwa lain… dan satu saat, kau mungkin kehilangan siapa dirimu sendiri. Kau mungkin menjadi sesuatu yang tak pernah kau kenal, sesuatu yang bahkan aku tak bisa pahami sepenuhnya.”

Wuyan menunduk lebih dalam, merasakan Po berontak, dorongan naluriah yang ingin membebaskan diri. Hun mencoba menahan, menyeimbangkan energi. Bayangan tersenyum, mengarahkan perhatian Wuyan ke pusaran energi di dalam diri, memperlihatkan kompleksitas fragmentasi. Wajah pertama — Liang Yu — menatap, seolah berkata, “Aku bagian dari dirimu sekarang.”

“Dan jika aku kehilangan diriku sendiri, Guru?” Wuyan bertanya, nada suaranya rendah namun tegas. “Jika aku tidak bisa kembali… apakah itu berarti aku gagal?”

Elder Ming Zhao menunduk, lalu menjawab dengan suara lembut namun tegas: “Tidak. Itu bukan kegagalan, Wuyan. Itu adalah konsekuensi dari pilihan. Semua yang kau lakukan meninggalkan jejak di jiwa. Kau akan belajar dari setiap fragmen yang kau serap, setiap kekuatan yang kau tarik ke dalam dirimu. Tetapi jangan pernah lupa… setiap langkah membawa risiko moral dan spiritual.”

Wuyan mengangguk perlahan, merasakan aliran energi di dalam tubuhnya, seperti gelombang yang menekan sekaligus menggairahkan. Ia menutup mata sejenak, menarik napas panjang, dan membiarkan bayangan serta wajah pertama menari di dalam kesadarannya.

“Guru,” Wuyan memulai lagi, lebih mantap kali ini, “aku tidak bisa berhenti. Aku ingin mengerti, aku ingin memegang kendali. Aku ingin tahu apa artinya memisahkan Hun dan Po tanpa kehilangan diriku.”

Elder Ming Zhao tersenyum samar, mata menatap cermin batu di tengah ruangan. Cermin itu memantulkan cahaya lilin, serpihannya membentuk wajah-wajah yang menari samar, bayangan bergerak di antara mereka. “Jika kau benar-benar ingin mengerti, Wuyan… kau harus menghadapi semua wajah itu. Kau harus melihat mereka, menerima mereka, dan menahan dorongan mereka untuk menguasaimu. Dan kau harus siap menghadapi konsekuensi — bukan hanya untuk dirimu sendiri, tetapi juga untuk mereka yang kau serap.”

Wuyan menelan ludah, merasakan ketegangan yang membungkus dada. Ia menatap cermin batu, serpihan kecil memantulkan wajah Liang Yu dan bayangan secara bersamaan, seolah menunggu keputusan dan keberanian dari murid itu. Ia tahu, setiap langkah ke depan bukan hanya tentang kekuatan, tetapi tentang moral dan identitas. Ia tidak lagi hanya berlatih, ia memilih jalannya sendiri, menantang tradisi dan batasan sekte, sekaligus menghadapi konsekuensi fragmentasi jiwa yang perlahan menuntut pengakuannya.

Bayangan tersenyum, samar, tetapi penuh intensitas. “Kau siap, Wuyan. Kau tahu risikonya. Sekarang lihatlah wajahmu sendiri… lihatlah semua yang telah kau serap.”

Wuyan menghela napas, perlahan melangkah mendekati cermin batu. Serpihan-serpihan memantulkan bayangan dan wajah Liang Yu, keduanya seolah menatapnya, menunggu, menantang, dan menggoda. Ia merasakan energi yang berputar di dalam dirinya, Hun menenangkan, Po menari liar, dan fragmentasi membuatnya hampir kehilangan pijakan kesadaran.

Ia menatap serpihan itu, dan untuk pertama kalinya, seluruh dirinya — Wuyan, bayangan, dan wajah pertama — menjadi satu kesadaran penuh. Gelombang energi menyapu tubuhnya, cermin batu bergetar samar, dan suara guru terdengar di telinga batinnya: “Ingatlah, Wuyan… setiap fragmen yang kau panggil adalah pilihan. Pilihan yang akan membentuk siapa dirimu kelak.”

Dan di sana, di tengah cermin batu, wajah Liang Yu tersenyum samar, bayangan ikut menari di sekitarnya. Dua entitas itu menatapnya, penuh misteri dan intensitas, meninggalkan pertanyaan yang tak terjawab: Apa yang akan Wuyan lakukan selanjutnya? Apakah ia akan menyerah pada dorongan fragmentasi atau menaklukkan kekacauan itu demi keseimbangan Hun–Po?

Malam itu, ruangan meditasi rahasia menjadi saksi dari keputusan Wuyan. Ia tahu jalan yang dipilihnya tidak mudah. Ia tahu risiko moral, spiritual, dan psikologis yang menunggu. Tetapi ia juga tahu… ini adalah jalannya, dan setiap fragmen yang ia panggil akan menjadi bagian dari kekuatan dan identitas barunya.

Bayangan tersenyum, wajah pertama menatap, dan cermin batu tetap bergetar samar, menunggu langkah berikutnya.

Wuyan berdiri di hadapan cermin batu, serpihannya memantulkan ribuan potongan cahaya, masing-masing menampilkan fragmen dirinya sendiri. Hun dan Po berdansa di dalam kesadaran, saling tarik-menarik, sementara wajah Liang Yu berkilau samar di antara pusaran energi. Ia merasakan bayangan di sisinya, pemandu ambigu yang menunggu keputusan yang akan menentukan arah jiwanya.

“Lihatlah, Wuyan,” suara bayangan bergema di batinnya, lembut namun penuh kekuatan, “semua yang kau panggil adalah bagian dari dirimu sekarang. Mereka bukan musuh, bukan teman. Mereka adalah kekuatan sekaligus cermin jiwamu.”

Wuyan menarik napas dalam, mencoba menenangkan aliran energi di tubuhnya. Ia merasakan Po berontak, dorongan naluriah yang ingin menguasai semua yang ia serap, sementara Hun berusaha menahan, menyeimbangkan kesadaran. Fragmen wajah Liang Yu berkilau semakin jelas, emosi temannya bercampur dengan rasa bersalah, kesedihan, dan kebingungan yang kini menjadi miliknya juga.

“Bayangan…” Wuyan memulai, suara dalam hatinya bergetar, “aku bisa… mengendalikan ini, bukan?”

Bayangan tersenyum tipis, penuh teka-teki. “Bisa. Tapi kendali itu tidak absolut. Setiap fragmen yang kau serap adalah jiwa lain yang menempel pada kesadaranmu. Kau harus belajar mendengar mereka, bukan hanya menundukkan mereka. Jika kau menolak, mereka akan memberontak, dan kau… akan kehilangan pijakan.”

Wuyan menutup mata, merasakan energi yang mengalir ke seluruh tubuhnya. Ia mulai memusatkan perhatian pada Hun, membiarkannya menuntun fragmentasi dengan lembut, sementara Po menyalurkan dorongan naluriah menjadi kekuatan produktif. Serpihan cermin memantulkan gerakan energi di dalam dirinya, setiap fragmen wajah menatap, seolah menilai keteguhan murid itu.

Ia membuka mata, dan wajah Liang Yu menatap langsung ke matanya. “Kau milikku sekarang,” bisik fragmen itu di batinnya. Wuyan menelan ludah, jantung berdegup kencang. Kata-kata itu bukan ancaman fisik, melainkan tekanan psikologis yang mendalam — pengingat bahwa sebagian jiwa temannya kini menyatu dengan dirinya.

Elder Ming Zhao mengamati dari sisi ruangan, diam namun hadir dengan aura wibawa yang membungkus seluruh atmosfer. “Wuyan… kau sedang berjalan di tepi jurang. Fragmentasi bukan sekadar latihan. Ia adalah tanggung jawab, konsekuensi, dan ujian moral. Kau bisa menjadi pengendali, atau kau bisa menjadi korban fragmen itu sendiri.”

Wuyan merasakan aliran energi Po semakin liar, namun kali ini ia menahannya. Ia mulai berbicara pada bayangan dan fragmen, bukan dengan suara, melainkan dengan niat murni di dalam kesadaran. “Aku mengerti risikonya. Aku tidak ingin menundukkan kalian. Aku ingin belajar, aku ingin mendengar, aku ingin mengerti siapa aku dan siapa kalian.”

Bayangan dan wajah pertama berdiam, menunggu. Lalu bayangan perlahan mencondongkan diri, seperti guru yang menatap muridnya dengan penuh evaluasi. “Kau memilih jalan yang sulit, Wuyan. Tapi itu adalah satu-satunya cara agar kau tetap utuh — bukan tanpa fragmen, tapi dengan pengertian dan kendali.”

Cermin batu bergetar perlahan, serpihannya memantulkan cahaya yang menari di dinding. Setiap fragmen wajah yang dipantulkan memunculkan kilau energi yang berbeda, beberapa menatap dengan rasa ingin tahu, beberapa dengan keinginan untuk memaksa. Wuyan tahu bahwa jika ia gagal menjaga keseimbangan Hun–Po, semua fragmentasi ini bisa menjadi malapetaka.

Ia memusatkan pikiran, membiarkan setiap fragmen menyalurkan energi mereka ke arah yang harmonis. Hun menenangkan, Po menyalurkan dorongan, dan wajah pertama — Liang Yu — tetap hadir, tetapi kali ini tidak menuntut. Ia seperti menunggu pengakuan, menunggu Wuyan untuk membuktikan bahwa ia bisa menahan fragmentasi tanpa hancur.

“Wuyan,” suara Elder Ming Zhao terdengar lagi, lebih lembut namun menembus kedalaman kesadaran muridnya, “ingatlah ini: kekuatan datang dengan harga. Kau bisa memperoleh apa yang tak dimiliki orang lain, tapi kau juga harus menanggung konsekuensinya. Fragmentasi jiwa bukan sekadar kekuatan… ia adalah cermin moralmu.”

Wuyan menunduk, merasakan gelombang energi melintasi tubuhnya. Ia melihat bayangan tersenyum samar di tepi kesadaran, wajah Liang Yu menatapnya, dan serpihan cermin memantulkan kombinasi mereka berdua. Semua fragmentasi itu kini tidak lagi liar; mereka menunggu arah, menunggu keputusan, menunggu Wuyan untuk memimpin.

Dengan hati-hati, ia merasakan setiap fragmen jiwa bergabung dalam ritme yang seimbang. Ia merasakan Po bergetar, Hun stabil, dan bayangan di sisinya menatap puas. Ia menyadari bahwa meskipun fragmentasi jiwa menakutkan, dengan pengendalian dan pengertian, kekuatan ini bisa menjadi alat, bukan beban.

Namun di balik kesadaran itu, sebuah getaran halus menembus batinnya — sebuah bisikan yang lembut, tapi menegaskan: “Kau tahu risikonya, dan kau memilih jalan ini. Tidak ada jalan kembali.”

Wuyan menelan napas, perlahan menatap cermin batu. Serpihan memantulkan wajah Liang Yu dan bayangan secara bersamaan, keduanya menunggu keputusan dan keteguhan hatinya. Ia tahu, setiap langkah ke depan akan menentukan siapa dirinya. Ia menutup mata sejenak, menyerap energi yang mengalir, dan membiarkan kesadaran Hun–Po menyeimbangkan semua fragmentasi.

Ketika ia membuka mata, Elder Ming Zhao tersenyum samar, penuh wibawa, dan berkata: “Langit Tenang selalu memberi kesempatan untuk belajar. Tapi ingat, Wuyan… setiap fragmen yang kau panggil, setiap jiwa yang kau serap… adalah cermin moralmu. Jangan pernah lupa siapa dirimu.”

Wuyan mengangguk pelan, perasaan berat namun tegas memenuhi dadanya. Ia tahu bahwa ia telah memilih jalannya sendiri. Ia tidak lagi hanya menjadi murid, ia telah menjadi pemimpin bagi jiwanya sendiri — pengendali fragmentasi, pemegang keseimbangan Hun–Po, dan penjaga moral dalam kekuatan baru yang lahir dari dirinya.

Bayangan tersenyum, wajah pertama menatapnya dengan intensitas yang sama, dan serpihan cermin tetap bergetar di hadapan mereka, membentuk kombinasi yang sempurna antara kekuatan, fragmentasi, dan kesadaran moral.

Dan malam itu, di ruangan meditasi rahasia, Wuyan menatap serpihan cermin, merasakan getaran energi yang menandai perjalanan baru. Ia menyadari bahwa fragmentasi jiwa bukanlah kutukan semata; ia adalah kekuatan, cermin, dan pelajaran moral yang harus ia pelajari dengan keberanian.

Dengan satu tarikan napas panjang, ia menutup mata, membiarkan Hun dan Po menyeimbangkan aliran energi, dan membiarkan bayangan serta wajah pertama menunggu — bukan lagi sebagai ancaman, tapi sebagai bagian dari dirinya sendiri.

Cermin batu bergetar lembut, serpihannya memantulkan kombinasi wajah Liang Yu dan bayangan, tersenyum samar, seolah menunggu langkah selanjutnya. Dan Wuyan, untuk pertama kalinya, merasakan kekuatan dan ketegangan moral berpadu dalam satu kesadaran yang utuh.

Malam itu berakhir dengan ketegangan yang menggantung di udara, penuh simbolisme dan filosofi Hun–Po. Fragmentasi jiwa tidak lagi sekadar potensi, tetapi kenyataan yang harus dihadapi, dan Wuyan telah memilih untuk menatapnya langsung, bersiap menghadapi konsekuensi setiap langkah, setiap keputusan, dan setiap fragmen yang kini menjadi bagian dari dirinya.

1
knovitriana
update Thor, jangan lupa mampir
knovitriana
keren Thor, jangan lupa mampir 🙏
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!