Yang Suka Action Yuk Mari..
Demi Semua Yang Bernafas Season 2 Cerita berawal dari kisah masalalu Raysia dan Dendamnya Kini..
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11
Bab 11 -
Beberapa pria di dekatnya hanya terpaku, nyaris tidak percaya dengan apa yang mereka lihat. Pemandangan ini sangat tidak biasa—apalagi jika dilakukan oleh Don, preman yang dikenal angkuh dan sulit diatur di kawasan taman keluarga Stanley.
“Bos, silakan rokoknya!” ucap Don dengan nada sopan penuh hormat.
Di lingkungan itu, nama Don sudah cukup membuat banyak orang memilih menyingkir ketika melihatnya datang. Tapi kali ini, sosok yang biasanya garang itu malah berdiri gugup di depan Rangga, wajahnya pucat dan kaku seperti orang yang baru saja melihat hantu.
Pria kurus yang berada di sebelahnya juga tampak bingung. Tatapannya berpindah dari Don ke Rangga, seolah mencoba memahami situasi aneh ini.
Rangga tidak mengambil rokok yang disodorkan Don. Ia hanya tersenyum tipis, menatapnya tanpa berkata apa pun.
Melihat tidak ada reaksi, Don segera meletakkan bungkus rokok itu di atas meja, lalu menarik si pria kurus berdiri dan—plak!—menampar pipinya dua kali tanpa ampun.
Setelah itu, ia kembali mengambil bungkus rokoknya, menunduk dalam-dalam, lalu bersuara lirih, “Bos… apa kau sudah puas?”
Rangga tertawa kecil, santai. “Apa yang kau lakukan? Aku tidak ingin merokok. Aku bisa batuk kalau menghisap rokok.”
Raysia yang duduk di sebelahnya buru-buru menutup mulut, berusaha menahan tawa yang hampir pecah.
Don makin kikuk, keringat mulai muncul di pelipisnya. Ia jelas tak tahu harus bersikap seperti apa.
“Suruh teman-temanmu pergi dulu,” kata Rangga tenang, memecah keheningan, “Ada hal yang ingin kutanyakan padamu.”
Mendengar itu, ekspresi Don seketika berubah tegang. Ia mengangguk cepat sambil berdehem. “Bos, aku sungguh minta maaf atas ulah teman-temanku tadi.”
“Aku tidak sedang membahas itu. Suruh mereka pergi dulu.”
Tanpa berani membantah, Don melambaikan tangan. “Kalian pergi duluan!” katanya tegas.
Anak buahnya langsung menurut, berjalan kembali ke meja mereka tanpa suara.
“Duduklah,” ujar Rangga dengan senyum tenang.
Don menggeleng cepat. “Tidak perlu, aku berdiri saja.”
Rangga menyandarkan punggung ke kursi dan menatapnya tajam. “Aku sudah bilang, berhentilah melakukan hal-hal melanggar hukum seperti berkelahi. Apa kau tidak takut masuk penjara?”
Don menunduk makin dalam. “Aku… aku janji tidak akan melakukan hal semacam ini lagi, Bos. Aku akan jadi warga negara yang baik, taat hukum.”
Rangga hanya tersenyum kecil. Ia tahu Don hanya bicara demi menyelamatkan diri.
“Berapa umurmu sekarang?” tanya Rangga santai.
“Empat puluh enam,” jawab Don cepat.
Rangga menyentuh dagunya sambil mengamati Don dengan tatapan tajam. “Empat puluh enam, ya? Berarti kau seharusnya tahu kejadian dua puluh tahun lalu. Kau pernah dengar tentang keluarga Stanley di Kota Yanzim? Keluarga besar itu?”
“Bagaimana mungkin tidak tahu?” kata Don dengan nada sedikit bangga. “Waktu aku kecil, aku tumbuh di taman keluarga Stanley. Aku sering masuk ke sana, jadi aku lumayan mengenal tempat itu.”
Rangga mencondongkan tubuhnya. “Apa kau akrab dengan mereka?”
Don berdehem kecil. “Tidak terlalu sih, tapi dulu aku sering bekerja untuk beberapa orang di keluarga itu. Kadang aku bantu-bantu urusan kecil mereka.”
Rangga dan Raysia saling pandang dan mengangguk pelan.
“Lalu kau pernah dengar tentang kabar keluarga Stanley yang tiba-tiba menghilang? Apa itu benar?”
Don mengangkat bahu. “Menghilang sih tidak juga. Dulu mereka memang sedang dalam masa sulit—katanya rugi besar. Jadi mereka pergi ke daerah pegunungan, membangun rumah besar seperti kastil dan menetap di sana. Katanya sih hidup mereka malah lebih tenang sekarang.”
Rangga sedikit terkejut. Ia tak menyangka alasan keluarga itu ‘menghilang’ ternyata karena kerugian besar, bukan hal lain seperti yang banyak orang gosipkan.
“Jadi, kau tahu di mana mereka sekarang?” tanya Rangga penuh minat.
Don menggeleng. “Tidak tahu pasti. Tapi Om-ku bilang, dulu dia sempat ikut membantu membangun tempat tinggal mereka itu.”
“Kalau begitu, tolong tanyakan pada Om-mu,” ujar Rangga. “Aku ingin tahu di mana mereka berada sekarang.”
Don tampak ragu sesaat, lalu menjawab pelan, “Om-ku itu orangnya cinta uang, Bos. Kalau aku tidak kasih dia segepok uang, mungkin dia tidak akan mau buka mulut.”
“Oh begitu?” ujar Rangga sambil mengetukkan jarinya ke meja, menatap Don datar.
Melihat tatapan itu, Don langsung panik. “Hei, aku cuma bercanda! Sungguh! Suatu kehormatan bisa bantu Bos. Aku tidak akan minta uang sepeser pun untuk informasi remeh seperti itu.”
Rangga tertawa kecil melihat ekspresinya. “Tenang saja. Kalau kau berhasil menemukan tempat tinggal keluarga Stanley, aku akan memberimu uang lebih dari sejuta.”
“Maksudmu… sungguh?” Don terkejut, matanya langsung berbinar.
Rangga tersenyum santai. “Menurutmu aku ini orang yang suka berbohong?”
“Tidak, tidak sama sekali! Baiklah, aku akan menunggu kalian makan dulu, ya?” jawab Don cepat-cepat.
Rangga hanya mengangguk sambil melambaikan tangan.
Don pun kembali ke mejanya. Begitu ia duduk, beberapa temannya langsung menyerbu dengan pertanyaan.
“Kak Don, siapa anak muda tadi?”
“Diam!” bentaknya. “Itu orang yang bikin aku babak belur tadi. Tapi tampaknya dia orang kaya. Aku baru saja dapat kerjaan besar darinya! Setidaknya aku bakal dapat jutaan rupiah!”
“Kerjaan apa? Ajak kami juga dong,” kata salah satu dengan semangat.
Don hanya mendengus. “Sudah, berhenti omong kosong. Cepat habiskan makanan kalian!”
Sementara itu, di meja lain, Raysia menatap Rangga sambil tersenyum tipis. “Aku tidak menyangka kamu kenal preman di Yanzim.”
Rangga menatapnya balik, tertawa kecil. “Aku juga tidak sengaja mengenalnya. Siapa sangka orang ini malah berguna untuk kita.”
Setelah itu, Rangga mengambil sepotong daging dengan sumpitnya. Ia menatap Raysia dan berkata pelan, “Selama ini aku belum pernah bertanya, sebenarnya apa alasanmu mencari mereka. Tapi sekarang kita sudah semakin dekat dengan jawabannya… aku ingin tahu, kenapa mereka membunuh keluargamu?”
Raysia menatap keluar jendela dengan tatapan dingin. “Kalau kita sudah menemukannya, kamu akan tahu sendiri.”
Rangga mengangguk tanpa mendesak lebih jauh.
Setelah makan, mereka membayar dan menghampiri Don.
“Aku akan membawa kalian menemui Om-ku!” seru Don bersemangat.
Akhirnya, seperti yang Don katakan, Rangga tetap harus memberikan sejuta rupiah untuk mendapatkan informasi lengkapnya.
Mereka kini melaju menuju lokasi yang disebutkan oleh Om Don—tempat yang terletak cukup terpencil di pinggiran kota. Beruntung, Don hafal benar jalan-jalan di sekitar situ.
Rangga menyetir sendiri, Don duduk di kursi penumpang depan, sementara Raysia berada di kursi belakang.
Mobil melaju menembus jalanan yang semakin sepi, meninggalkan Pusat Kota Yanzim, menuju arah perbukitan dan hutan.
Awalnya, Rangga sempat berencana menyerahkan kemudi pada Don agar lebih cepat, tapi setelah Don melihat mobil mewah yang dikendarainya, ia menolak mentah-mentah. “Aku tidak berani bawa mobil sebagus ini, Bos,” katanya tadi.
Akhirnya, Rangga sendiri yang menyetir sepanjang jalan.
Sudah hampir satu jam perjalanan ketika Rangga melirik jam tangannya dan bertanya, “Masih jauh?”
Kira-kira Don jahat gak ya?
Bersambung...
thumb up buat thor