Kakak macam apa yang tega menjual keperawanan adiknya demi melunasi utang-utangnya?
Di wilayahku, aku mengambil apa pun yang aku mau, dan jelas aku akan mengambil keperawanan si Rainn. Tapi, perempuan itu jauh lebih berharga daripada sekadar empat miliar, karena menaklukkan hatinya jauh lebih sulit dibandingkan menaklukkan para gangster di North District sekalipun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DityaR, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gaun Pengantin
...୨ৎ R A I N N જ⁀➴...
Untuk pertama kalinya, Amilio terlihat lebih parah dari aku, tangannya patah, hidungnya bengkok, matanya lebam.
Anak buah Rose sudah melabrak dia sampai babak belur, dan satu-satunya hal yang aku sesali cuma satu. Aku enggak sempat melihatnya langsung.
Aku lagi pakai gaun sutra krem, lengan panjang, penuh renda. Aku memperhatikan Amilio sambil mengerutkan kening. “Kenapa, sih aku harus ikut?”
Gaun ini jelas lebih mahal dari semua baju di lemari aku, tapi aku senang karena setidaknya menutupi semua memar di lengan dan kakiku.
“Ya, karena kita harus nunjukin kalau keluarga kita harmonis. Ini malam penting buat aku. Akhirnya aku bakal dapat sesuatu yang pantas.”
Melihat muka babak belurnya, aku susah banget percaya omongannya.
Tatapan Amilio mengarah ke aku dengan jijik. “Kamu harusnya lakuin sesuatu sama rambutmu yang nyebelin itu.”
“Aduh, kamu pikir gampang? Butuh berjam-jam buat lurusin rambut,” ketusku balik. “Lagian kamu juga enggak kasih aku waktu buat siap-siap.”
Dia datang sejam yang lalu, menyodorkan gaun sama sepatu hak tinggi, menyuruhku siap dalam waktu sekejap. Aku cuma sempat mandi dan dandan seadanya.
Dia maju ke arahku dengan langkah mengancam, tapi entah kenapa kali ini dia menahan diri buat enggak mukul.
Malah dia menyodorkan jarinya ke mukaku dan mendesis, “Kamu benaran cari mati. Diam! Nanti pas kita di rumah Tuan Arnold, kamu harus senyum dan enggak usah buka mulut.”
Aku cuma memperhatikan dia. Biasanya tatapan seperti itu sudah bikin aku dipukuli habis-habisan. Tapi sekarang?
Aku sudah enggak peduli.
“Sialan kamu, jalang,” geramnya. Dia menyambar lenganku, seret aku ke arah pintu depan. “Ingat kata-kata aku, nanti waktu kita pulang, kamu pasti bakal nyesel udah lahir ke dunia ini.”
“Dan kamu udah bilang gitu berkali-kali. Ancamanmu itu udah enggak ngaruh lagi,” celetukku sambil jalan keluar rumah.
Telapak tangannya sampai di tengkukku.
PLAKKK!!!
“Diam!”
Begitu pintu dikunci, dia mencekal lenganku lagi dan menyeretku ke mobil Dodge-nya.
Kakiku masih sakit gara-gara luka dari Selasa malam, dan sepatu hak tinggi ini rasanya tambah menyiksa. Dia dorong aku ke kursi penumpang, tutup pintu keras-keras.
Aku merapikan kain sutra di sekitar kaki, terus tarik sabuk pengaman, menyilangkan di dada, kencang.
Amilio sudah meledak, marahnya terlihat dari cara dia menyetir. Mesin dinyalakan, mobil langsung jalan, dan dia bergumam, “Jangan bikin aku malu malam ini. Datang ke pesta di rumah Tuan Arnold tuh kesempatan langka. Kamu harusnya bangga bisa aku ajak.”
Aku malah berpikir, aku lebih milih mengurung diri di rumah.
Aku menatap keluar jendela, tapi enggak benar-benar melihat apa pun. Dunia berlalu begitu saja.
Dua minggu terakhir ini sudah seperti neraka, selalu dipukuli, Remy muncul di mana-mana, serangan Cavell, sampai kunjungan lima Big Boss Marunda.
Ya, memang begini nasibnya. Dan enggak ada satu pun yang bisa aku lakukan buat mengubah keadaan.
Waktu mobil Amilio berhenti di depan dua gerbang hitam besar, seorang penjaga berseragam tempur warna hitam jalan mendekat ke arah kami.
Tentu saja, Remy pasti punya pasukan buat melindungi dirinya. Mungkin cowok itu punya uang lebih banyak dari Tuhan.
Amilio buru-buru menurunkan jendela, terus dengan nada sok yakin dia bicara, “Nona Margot mau bertemu Tuan Arnold.”
Nona Margot?
Ya ampun, please banget deh.
Aku tutup mulut agar enggak tertawa cekikikan di tempat.
Penjaga itu sempat memperhatikanku sebentar sebelum kasih kode agar gerbang dibuka.
Amilio menyetir masuk ke jalan panjang menuju rumah itu, dan dia sempat menceletuk sok hebat, “Begitu warisanmu cair, aku bakal beli tempat kayak gini.”
Aku melihat taman-taman yang dirawat super rapi, rumputnya seperti disisir, pohon-pohonnya dipangkas sempurna, pagar tanamannya halus banget.
Cantik banget.
Terus mataku menyasar ke rumah besar yang mandi cahaya keemasan dari matahari sore. Mulutku langsung sedikit menganga. Aku belum pernah melihat rumah segila ini.
Tanaman Ivy menjalar di dinding, ada Lamborghini nongkrong di bawahnya, dan dua patung malaikat berdiri di sisi lengkungan menuju pintu depan.
Percaya deh, iblis pasti tinggal di tempat yang mirip surga.
Kita keluar dari Dodge, dan aku buru-buru merapikan lipatan di gaun mahalku.
Ini pertama kalinya Amilio belikan aku sesuatu kayak begini, dan aku sudah yakin banget pasti ada udang di balik batu.
Kata dia soal “Nunjukin kita sebagai keluarga harmonis” itu sekedar bualan belaka.
“Jangan bikin aku malu malam ini,” gumam Amilio dingin waktu kita melewati lengkungan itu.
Di kanan-kiri jalan berbatu ada kolam air bening, dikelilingi kerikil halus. Tanaman merambat warna hijau terang menjulur di antara bebatuan gelap, suasananya seperti dunia fantasi.
Aku melihat ikan koi bersembunyi di bawah daun-daun yang mengapung, bunga-bunga ungu kecil tumbuh di antaranya.
Tempat ini seperti mimpi.
Pintu depannya saja sudah tiga kali lebih besar dari rumahku, terbuat dari kaca hitam buram. Sebelum Amilio sempat mengetuk, pintunya terbuka, dan Big Jonny muncul di sana.
“Lewat sini,” katanya datar, tanpa basa-basi.
Aku enggak dengar ada musik, enggak ada suara pesta, enggak ada apa pun. Kerutan langsung muncul di dahiku.
Ada yang aneh.
Kita dibawa masuk ke ruang tamu yang super besar dengan area duduk cekung, sofa hitam tebal, meja kopi kayu terang, dan TV layar datar besar menempel di dinding.
Aku angkat kepala, melihat langit-langit kaca yang kasih pemandangan jelas ke pohon tua di luar sana. Daun-daunnya bergerak pelan tersapu angin, dan pemandangan itu, ya ampun, bikin aku sempat lupa bernapas.
Wow.
Kita lanjut ke ruangan terbuka yang punya tangga di dua sisi, naik ke lantai atas. Saat aku melihat ke atas, mataku langsung menemukan dia.
Remy Arnold.
Dia berdiri di sana, tangannya bersandar di pagar besi tempa, pakai Tuksedo hitam tiga lapis.
Iblis ganteng, tapi tetap saja … iblis.
Jantungku langsung berisik. Seluruh badanku kaku, karena tempat yang aku datangi adalah sarang serigala.
“Selamat datang,” bisik Remy, suaranya dalam, tenang, tapi mengerikan. Dia mulai turun tangga pelan-pelan, tiap langkahnya membuat udara di ruangan serasa menegang.
Ya, Tuhan.
Aku enggak percaya aku benar-benar ada di rumah Remy Arnold.
“Tuan Arnold, aku cuma mau bilang betapa terhormatnya kami bisa ada di sini malam ini,” kata Amilio dengan nada sok hormat yang menjijikkan.
Remy enggak melihat dia sama sekali. Dia langsung berhenti di depanku, pandangannya turun naik dari kepala sampai ujung kakiku, dan itu cukup buat mukaku panas, leherku langsung merah.
“Kamu cantik banget malam ini, Rainn.”
Aku berdeham kecil, menunduk sedikit. “Makasih,” bisikku.
“Ikut aku.” Suaranya rendah, tegas dan enggak butuh dijawab.
Rasa enggak enak pun langsung menyergap perutku waktu kita mulai mengikuti dia. Aku bisa dengar langkah berat Big Jonny di belakang.
Setiap saraf di tubuhku siaga. Mataku terus menyapu sekeliling ruangan, mencoba mencari tanda bahaya, tapi yang terlihat cuma kemewahan yang terlewat sempurna.
Dan justru karena itu, aku makin yakin kalau ada yang salah di sini.
Kita digiring lewat pintu kaca di belakang rumah besar itu, dan begitu aku menginjak balkon, pandanganku langsung menyapu seluruh pemandangan di depan. Semuanya terlalu indah, membuatku terpana.
Halaman belakangnya luas banget, rumputnya terlihat baru dipangkas. Di kanan-kiri ada kolam renang persegi panjang, ada kursi santai berjajar rapi. Airnya biru banget, seperti langit.
Bunga-bunga dalam pot berjejer di taman, empat pot besar di setiap sudut kolam. Warnanya menyala, bikin tempat itu terlihat hidup banget.
Aku melihat Pastor Yeskil berdiri di sebelah Benny, tapi anehnya, enggak ada tamu lain.
Apa kita datang kepagian?
Remy enggak bicara apa-apa. Dia terus jalan memutari sisi rumah sampai akhirnya berhenti di bawah pohon yang tadi aku lihat dari ruang tamu. Semua orang pun mengikuti.
Saat dia nengok ke arahku, bulu kudukku langsung berdiri.
Jujur saja, aku merasa super enggak nyaman jadi satu-satunya cewek di tempat ini.
Dua anak buah Remy berdiri di sisi kanan dan kiri Amilio, dan tiba-tiba perutku terasa kosong, dingin, ditelan ketakutan.
Sepersekian detik, pikiran gila melintas di kepalaku, "Mereka bakal bunuh kita di sini?"
Tapi, aku melihat tatapan Pastor Yeskil. Pandangannya lembut, penuh penyesalan dan justru dari situ aku mengerti sesuatu.
Oh, Tuhan. Jangan bilang ....
Pikiran itu berputar keras di kepalaku saat Remy buka mulut, mengatakannya dengan nada tenang dan dingin banget, “Ayo menikah, Rainn.”