NovelToon NovelToon
Bisikan Hati

Bisikan Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Matabatin / Cinta Seiring Waktu
Popularitas:620
Nilai: 5
Nama Author: DessertChocoRi

Terkadang orang tidak paham dengan perbedaan anugerah dan kutukan. Sebuah kutukan yang nyatanya anugerah itu membuat seorang Mauryn menjalani masa kecil yang kelam.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DessertChocoRi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab- 11 Jejak dalam Hutan

Udara malam menusuk paru-paru saat Mauryn dan Revan menyelinap keluar dari rumah Darman. Jalanan kota sunyi, hanya sesekali terdengar suara anjing menggonggong dari kejauhan. Lampu jalan berkelip, cahayanya redup dan basah oleh embun.

Revan berjalan cepat, menggenggam tangan Mauryn erat. Ia tidak menoleh ke belakang. Mauryn bisa merasakan ketegangan di setiap langkah pria itu ia tahu, setiap detik mereka tetap di kota ini adalah undangan untuk bahaya.

Namun baru beberapa blok mereka berjalan, suara deru mesin terdengar. Berat, kasar, familiar.

Mauryn menahan napas.

“Revan…” bisiknya, matanya melebar.

Revan menoleh sekilas, dan benar dua motor muncul di ujung jalan, lampunya menembus kegelapan. Dua sosok berpakaian hitam duduk di atasnya, dengan sorot mata dingin.

“Lari!”

Revan menarik tangan Mauryn, berlari secepat mungkin.

Kaki Mauryn menghantam aspal basah, napasnya memburu. Sepatunya hampir tergelincir, tapi genggaman tangan Revan menariknya agar tidak jatuh.

Suara motor semakin dekat, bergema di antara dinding sempit bangunan tua.

“Ke kanan!”

Revan berteriak, menarik Mauryn ke gang kecil yang hanya muat dua orang berdampingan.

Lampu jalan di gang itu rusak. Gelap. Bau sampah menusuk hidung.

Tapi motor-motor itu tak menyerah. Mereka berhenti di ujung gang, suara langkah kaki berat terdengar mendekat.

“Cepat!”

Revan mendorong pintu besi berkarat yang terbuka sedikit. Mereka masuk ke dalam gudang kecil berisi tumpukan peti kayu.

Mauryn menahan napas, punggungnya menempel pada dada Revan.

Suara sepatu bergema di luar, makin dekat. Seseorang bersiul.

“Aku tahu mereka di sini. Tidak jauh. Jangan lama-lama.”

Suara hati itu menyentak Mauryn. Ia memandang Revan, berbisik hampir tak terdengar

“Mereka tahu.”

Revan mengangguk singkat. Matanya berkilat, penuh siaga.

Langkah-langkah semakin dekat. Pintu besi berderit dibuka.

Mauryn menahan napas. Jantungnya berdetak begitu keras, ia takut musuh bisa mendengarnya.

Seorang pria masuk, lampu senter menyapu ruangan. Sinar itu bergerak ke kiri, ke kanan, makin mendekat.

Mauryn nyaris menjerit ketika cahaya hampir menyentuh wajahnya. Revan menutup mulutnya dengan tangan, tubuh mereka saling menempel di balik tumpukan peti.

Detik-detik terasa seperti jam. Cahaya senter itu berhenti hanya beberapa jengkal dari mereka.

“Tidak ada… mungkin mereka sudah lari ke arah lain.”

Suara hati pria itu membuat Mauryn sedikit lega.

Akhirnya, langkah kaki itu menjauh. Pintu besi menutup kembali, suara berisik kunci terdengar.

Revan baru menurunkan tangannya dari mulut Mauryn. Ia bisa merasakan pipi gadis itu panas karena malu sekaligus takut.

“Kamu baik-baik saja?” bisiknya.

Mauryn mengangguk, tapi tubuhnya masih gemetar.

Revan menatapnya dalam-dalam, lalu berkata tegas

“Kita tidak bisa diam. Mereka akan kembali dengan lebih banyak orang. Kita harus keluar dari kota ini malam ini juga.”

Mereka keluar dari pintu belakang gudang, menemukan tangga besi menuju atap.

“Naik,” kata Revan.

Mauryn mendongak.

“Atap?”

“Percayalah.”

Mereka memanjat cepat. Atap bangunan itu basah oleh hujan, licin, dan berbahaya. Tapi dari atas, mereka bisa melihat jalanan sempit di bawah dan puluhan orang bersenjata mulai menyebar, membawa lampu senter.

Mauryn menggigil.

“Mereka begitu banyak…”

Revan meraih tangannya lagi.

“Kamu hanya butuh melihatku. Jangan lihat mereka.”

Mereka melompat dari atap satu ke atap lain. Suara langkah mereka bergema, memicu teriakan dari bawah.

“Di atas! Mereka di atas!”

Peluru menyalak. Batu genting pecah, serpihannya beterbangan. Mauryn menjerit kecil, hampir terpeleset, tapi Revan menariknya tepat waktu.

“Aku tidak bisa..” suara Mauryn pecah.

“Bisa!”

Revan menatap matanya tajam, seakan memaksa keberanian itu muncul.

“Aku ada di sini! Kamu tidak sendiri!”

Kata-kata itu menyalakan sesuatu dalam hati Mauryn. Ia menarik napas panjang, lalu melompat bersama Revan ke atap berikutnya, meski kakinya nyaris tak menapak sempurna.

Hujan tiba-tiba turun deras, membasahi seluruh kota. Langkah mereka semakin sulit, tapi justru suara hujan menutupi jejak mereka.

Mereka bersembunyi di balik cerobong asap besar. Nafas keduanya tersengal, wajah mereka basah oleh air hujan.

Mauryn menatap Revan, matanya berkilat oleh ketakutan dan kelelahan.

“Kalau mereka tangkap kita… apa yang akan terjadi?”

Revan mengusap wajahnya yang basah, lalu menatapnya dengan sorot yang lebih lembut.

“Selama aku hidup, aku tidak akan biarkan itu terjadi.”

Mauryn menggigit bibir. Hatinya mendengar suara Revan tidak ada keraguan, tidak ada kebohongan. Hanya tekad.

Dan untuk sesaat, dunia di sekitarnya peluru, hujan, teriakan musuh semua hilang. Yang ada hanya dirinya dan Revan.

“Revan…” suaranya nyaris tenggelam oleh hujan.

“Kalau kita berhasil selamat malam ini… aku ingin kamu tahu, aku… aku percaya padamu.”

Revan menatapnya dalam-dalam. Tangannya terulur, menyingkirkan helai rambut basah yang menempel di wajah Mauryn.

“Aku pun percaya padamu, Mauryn. Lebih dari siapa pun.”

Teriakan kembali terdengar. Mereka tidak bisa tinggal lebih lama.

Revan menggandeng tangannya, melompat ke bangunan berikutnya. Dari sana, mereka turun melalui tangga darurat besi.

Di bawah, sebuah mobil tua dengan kunci masih tergantung terlihat di pinggir jalan.

“Cepat!”

Revan membuka pintunya, mendorong Mauryn masuk. Ia sendiri duduk di kursi pengemudi, menyalakan mesin yang batuk keras.

Motor-motor sudah mendekat, lampu sorot menembus hujan.

“Pegangan yang erat!”

Mobil tua itu melaju kencang, ban selip di jalan licin. Motor-motor mengejar di belakang, suara mesin meraung.

Mauryn berpegangan pada dashboard, jantungnya nyaris pecah.

“Mereka semakin dekat!”

Revan menggertakkan gigi, lalu membelokkan mobil ke jalan sempit yang hanya muat satu kendaraan. Motor-motor itu terhambat, beberapa hampir menabrak dinding.

Namun masih ada yang berhasil mengejar.

Revan menekan gas sekuatnya. Mobil tua itu bergetar, tapi tetap melaju. Lampu-lampu kota berkelebat cepat, hujan memantulkan cahaya seperti kilatan petir.

Akhirnya, setelah tikungan tajam, suara motor mulai menjauh. Mereka berhasil lepas.

Mobil tua itu berhenti di tepi jalan luar kota. Hujan masih turun deras, tapi malam terasa lebih sunyi.

Mauryn bersandar di kursinya, tubuhnya gemetar.

“Aku… aku pikir kita tidak akan selamat.”

Revan menoleh, menatapnya lama.

“Tapi kita selamat. Dan selama aku bersamamu, aku akan pastikan itu terus terjadi.”

Mauryn menutup matanya, air mata bercampur hujan jatuh di pipinya. Ia tahu bahaya masih jauh dari selesai. Tapi malam itu, di tengah hujan dan kejaran, ia menemukan satu kebenaran

Bahwa satu-satunya tempat aman yang ia miliki bukanlah kota, rumah, atau dinding.

Tempat aman itu bernama Revan.

Bersambung..

Halo guys bantu support karya ku yah 🥰

1
Anonymous
Semangat thor
Syalala💋 ig: @DessertChocoRi: Hai hai.. terimakasih sudah mampir, tunggu update selanjutnya ya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!