“Aku rela jadi debu… asal Ibu tetap hidup.”
Kevia rela ayahnya menikah lagi demi ibunya bisa tetap menjalani pengobatan. Ia pun rela diperlakukan seperti pembantu, direndahkan, diinjak, dianggap tak bernilai. Semua ia jalani demi sang ibu, wanita yang melahirkannya dan masih ingin ia bahagiakan suatu hari nanti.
Ardi, sang ayah, terpaksa menikahi wanita yang tak ia cintai demi menyelamatkan istri tercintanya, ibu dari putri semata wayangnya. Karena ia tak lagi mampu membiayai cuci darah sang istri, sementara waktu tak bisa ditunda.
Mereka hanya berharap: suatu hari Kevia bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, membiayai pengobatan ibunya sendiri, dan mengakhiri penderitaan yang membuat mereka harus berlutut pada keadaan.
Agar Kevia tak harus lagi menjadi debu.
Agar Ardi tak perlu menjadi budak nafsu.
Tapi… akankah harapan itu terkabul?
Atau justru hanyut… dan menghilang seperti debu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11. Emosi
Pagi itu, cahaya matahari menyusup lewat celah tirai. Ardi terbangun dengan kepala berat, tubuhnya lengket oleh keringat yang terasa asing. Saat kesadarannya pulih, ia tersentak. Ada tubuh lain dalam pelukannya. Kulit bertemu kulit, tanpa jarak, tanpa sekat.
Matanya melebar. Rima.
Dengan panik ia beringsut menjauh, melepaskan pelukan seolah menyentuh bara.
"Apa yang terjadi?" desis hatinya.
Potongan memori semalam menyalak satu per satu. Kepala yang tiba-tiba pusing, tubuh yang mendidih, pandangan yang kabur, wajah yang berganti-ganti antara Rima dan Kemala… lalu dirinya yang terjerat dalam gairah tak terkendali.
Ardi mengusap wajahnya kasar, seakan ingin menghapus mimpi buruk yang terlalu nyata.
Rima terbangun karena gerakannya. Rambut kusut, suara serak, ia menyungging senyum manis.
“Ardi sayang…” panggilnya lembut, berusaha meraih lengan pria itu.
Ardi menepis, tatapannya tajam menusuk. “Kau melakukannya? Kau memberiku sesuatu… agar aku—”
Belum selesai, Rima terkekeh kecil. “Memangnya kenapa kalau iya?” ujarnya santai, bibirnya melengkung penuh kemenangan. “Suamiku tak mau memberiku hak, apa salah jika aku sedikit melakukan trik untuk mendapatkannya? Apa aku berdosa karena membuat suamiku tidur denganku?”
Ardi membeku, rahangnya mengeras.
Rima semakin mendekat, dengan nada menggoda bercampur ejekan. “Oh ya, ngomong-ngomong… semalam kau hebat sekali. Seluruh tubuhku panas, berkeringat, melayang. Kau benar-benar perkasa, Sayang. Aku sampai kewalahan.”
Ia menyibakkan rambutnya, sengaja memperlihatkan tanda samar di kulitnya. Bukti yang menusuk harga diri Ardi.
Ardi memalingkan wajah, muak. Ia bangkit, meraih kemejanya dengan gerakan kasar.
“Dasar wanita licik…” geramnya.
Rima terkekeh sekali lagi, tapi senyumnya perlahan memudar. Ada bayangan getir yang tak bisa ia tutupi. Malam tadi, memang Ardi menggila, tubuhnya memabukkan. Tapi setiap bisikan, setiap erangan, bukan namanya yang keluar dari bibir lelaki itu, melainkan nama Kemala.
Nama itu menamparnya lebih keras dari tinju di dinding.
Rima menunduk sejenak, lalu tatapannya berubah. Senyum tipis kembali terukir, kali ini bukan senyum kemenangan, melainkan tekad dingin.
“Akan kuhapus namanya dari hatimu, Ardi… meski aku harus mengorbankan segalanya.”
Cahaya pagi yang masuk lewat tirai tak lagi terasa hangat, melainkan bagai bayangan tajam yang membelah kamar, memisahkan dua jiwa yang saling terikat tapi tak pernah benar-benar menyatu.
Di bawah siraman shower, Ardi berdiri kaku. Air mengguyur deras, namun rasa lengket di tubuhnya seolah tak mau hilang. Tidak ada kata yang keluar, hanya gelegar tinjunya yang menghantam tembok kamar mandi.
“Sial!”
Darah di buku jarinya berdenyut, seirama dengan amarah yang ia telan.
"Demi menjeratku di ranjang, perempuan itu… bahkan berani memberiku obat."
Ardi mengusap wajahnya kasar, air bercampur keringat dingin menetes. Kilasan semalam menghantam ingatannya. Tubuhnya yang kehilangan kendali, wajah Rima yang sesekali berganti samar dengan Kemala, desah yang menipu.
Dan pagi ini, kenyataan menusuk tanpa ampun.
“Kemala… maafkan aku,” gumamnya, suaranya pecah di antara guyuran air.
Ia menggosok tubuhnya keras-keras, seolah ingin mengikis jejak Rima yang menempel di kulitnya. Setiap gesekan sabun seperti upaya sia-sia untuk menghapus dosa yang ia rasa. Malam yang ia habiskan bersama Rima terasa seperti pengkhianatan terhadap Kemala. Padahal secara sah Rima juga istrinya. Namun hatinya menolak mengakui. Bagi Ardi, hanya Kemala yang pantas disebut istri, satu-satunya yang ia cintai.
***
Saat semua duduk di meja makan, suasana berbeda bagi setiap orang.
Rima duduk dengan wajah cerah, senyum tipis yang penuh kepuasan. Di hadapannya, Ardi kaku dan dingin, tatapannya kosong, tangannya hanya sekadar meraih sendok tanpa selera.
Riri sempat memicingkan mata, alisnya terangkat sejenak, tapi cepat kembali pada sarapannya. Anak itu tampak lebih tertarik pada rotinya ketimbang membaca pertarungan emosi di meja itu.
Kevia, yang duduk di samping ibunya, mencuri pandang ke arah ayahnya. Ia melihat ketegangan di rahang Ardi, lalu beralih ke Rima dengan wajah berseri. Sesuatu dalam dirinya terasa tidak nyaman, tapi ia menunduk, menyantap sarapan dengan tenang, seperti berusaha menghilang di tengah meja besar itu.
Kemala, di sisi lain, berusaha tampak biasa. Tangannya bergerak anggun menyendok nasi, wajahnya tetap datar. Namun matanya tak sengaja menangkap bercak kemerahan di leher Ardi… dan di leher Rima.
Sekilas saja, cukup untuk membuat dadanya bergemuruh.
"Semalam, mereka..."
Ia menunduk cepat, menusuk lauk di piringnya. Hatinya seperti diiris tipis-tipis, sakitnya tajam dan senyap. Wanita mana yang tak hancur melihat jejak itu di tubuh suaminya, dan madunya?
Kemala meneguk napas, menutup luka dengan diam. Ia tahu harus tegar, tapi di dalam dirinya, ada bagian yang retak, remuk, dan menjerit dalam sunyi.
Meski denting sendok dan aroma teh hangat mengisi udara seperti biasanya, tapi suasana meja makan pagi itu dari awal terasa aneh, Lalu perlahan, udara berubah tegang.
“Ardi sayang, cepat makan. Aku tahu kau masih teringat yang semalam, tapi jangan sampai lupa sarapan,” ujar Rima. Dengan sengaja ia menyibak rambutnya ke samping, menampakkan bercak kemerahan di leher. Senyumnya penuh arti.
Sendok di tangan Ardi bergetar, genggamannya mengeras. Rahangnya menegang, urat di lehernya menonjol.
Kevia menunduk, matanya melebar bingung. "Apa ibu Riri sakit alergi? Tapi… kenapa malah terlihat senang?" batinnya polos.
Riri mengernyit, tak mengerti.
Kemala, yang duduk anggun di samping Ardi, tetap berusaha tenang. Matanya menatap sekilas, lalu kembali ke piringnya, seolah tak terjadi apa-apa. Namun di balik ketenangan itu, hatinya bagai diremas.
Rima semakin berani. Ia menyentuh lengan Ardi, jemarinya menelusuri dengan lembut. “Tenang saja, Sayang… nanti malam, dan malam-malam selanjutnya, akan lebih menyenangkan,” bisiknya penuh godaan.
Ardi tersentak. Refleks ia menepis tangan Rima. Dadanya turun naik, menahan amarah yang kian memuncak.
Rima tersenyum miring, lalu menoleh pada Kemala.
“Kemala… aku tak menyangka suami kita begitu perkasa. Semalam aku sampai kewala—”
BRAK!
Gebrakan keras menghentikan kata-katanya. Meja berguncang, piring dan sendok berloncatan, suara berderak memenuhi ruangan.
“CUKUP!” suara Ardi menggelegar.
Semua terdiam. Rima membeku, senyumnya mati di bibir. Riri tersentak hingga hampir tersedak. Kevia menegang, rasa takut tergambar jelas di wajahnya. Ia belum pernah melihat ayahnya seperti ini.
Kemala juga terkejut. Selama bertahun-tahun hidup bersama, ia tahu Ardi jarang sekali kehilangan kendali, apalagi sampai menggebrak meja.
Namun justru di tengah kekacauan itu, Kemala tetap menampilkan ketenangan yang kontras. Tangan kirinya terulur, mengusap punggung Kevia dengan lembut, menenangkan ketakutannya. Tangan kanannya menyentuh lengan Ardi yang tegang, jemarinya terasa menyejukkan.
“Ardi, kendalikan emosimu. Kau membuat anak-anak takut,” bisiknya lembut.
Lalu ia menoleh pada Rima, suaranya tenang namun tajam, seakan menampar tanpa perlu mengangkat tangan.
“Rima, ada anak-anak di sini. Jangan bicara hal-hal yang tak seharusnya mereka dengar. Jika kau benar-benar bisa membuat Ardi bahagia, itu sudah cukup. Tapi jangan bersikap kekanak-kanakan seperti ini.”
Hening. Kata-kata itu menghantam jauh lebih keras dari gebrakan meja. Rima, yang semula ingin menusuk hati Kemala, justru merasa dirinya yang tertikam. Tersenyum pahit, ia menunduk, tak mampu membalas.
Ardi memejamkan mata. Tangan kirinya terkepal, rahangnya mengeras, berusaha menahan badai di dalam dirinya. Ada marah, ada muak, ada juga rasa bersalah yang menyesakkan.
Sementara Kemala tetap di sisinya, wajahnya tenang, seolah menjadi jangkar yang menahan kapal yang hampir karam.
Rumah itu kembali sunyi setelah mobil membawa anak-anak dan Ardi pergi. Hanya tersisa dua perempuan di ruang makan, duduk berhadapan. Dua istri dengan hati yang sama-sama luka, tapi berbeda cara menyalurkannya.
Rima menatap Kemala dengan sinis, dagunya sedikit terangkat, senyum tipis di bibirnya lebih mirip sayatan daripada keramahan.
Kemala, sebaliknya, duduk tegak dengan wajah tenang. Tenang, tapi sorot matanya jernih sekaligus menusuk.
“Sekali lagi aku peringatkan, Rima,” ucapnya, suaranya rendah tapi tegas, “anak-anak kita masih kecil. Mereka tidak pantas mendengar, apalagi melihat hal-hal seperti tadi.”
Rima mendengus pelan, namun Kemala belum selesai.
“Dan… jangan terlalu bangga dengan malam panjang yang kau lewati bersama Ardi. Jika kau bisa merasakan keperkasaan Ardi, itu karena kelicikanmu. Tanyakan pada hatimu… apa kau bahagia saat tubuhnya bersamamu, tapi hatinya tertinggal padaku?”
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
tenang saja Kevia jika ada yang mengusikmu lagi Kevin tidak akan tinggal diam,,Kevin akan selalu menjadi garda terdepan untukmu..
rasain Riri dan Ani kamu harus tanggung jawab atas semua perbuatanmu
makanya jadi orang jangan jail dan berbuat jahat.
semangat kak lanjutkan makin seru aja...
Karena bila ketauan Riri, nasib Kemala & Kevia jadi taruhannya, disiksa di rumah tanpa ada yang berani menolong 🤨
Wali kelas akan menyelidiki dengan minta bantuan pak Anton untuk mengecek CCTV.
Di Aula suasana semakin panas semua menghujat Kevia.
Wali kelas datang meminta Kevia untuk berkata jujur apa benar mencuri uang kas dan alasannya apa.
Kevia menjawab dengan menceritakan secara runtut kenapa sampai dituduh mencuri uang dan bukti bisa berada di dalam tasnya.
Kita tunggu rekaman CCTV
lanjut kak Nana sehat dan sukses selalu 🤲
Kevin tentunya akan melindungi Kevia dengan diam²,,demi menyelamatkan dari amukan si anak ular betina,,good Kevin biar dua anak ular itu di kira kamu benci sama Kevia...padahal sebaliknya Kevin sangat peduli sama Kevia dan akan melindunginya...
sabar banget Kevia...
orang sabar di sayang Alloh..
menolong Kevia secara tidak langsung di depan 2 ulet bulu yang tidak sadar diri....mantap..
ayo mau di hukum apa nih jedua ulet bilu itu...
enaknya disruh ngapain ya...
bersihin kelas yang bau kali ya..kna seru tuh ngebayangin mereka berdua beraihin kelas sambil muntah2 ...
alhasil bersihin kelas plus muntahannya sendiri...
rasain tuh hukuman yang sangat setimpal Dan jnagan lupa hubungi kedua orang tuanya terus mereka berdua di skorsing selama 1 minggu....
cukup lah ya hukumannya.....
setuju ga ka....