Terkejut. Itulah yang dialami oleh gadis cantik nan jelita saat mengetahui jika dia bukan lagi berada di kamarnya. Bahkan sampai saat ini dia masih ingat, jika semalam dia tidur di kamarnya. Namun apa yang terjadi? Kedua matanya membulat sempurna saat dia terbangun di ruangan lain dengan gaun pengantin yang sudah melekat pada tubuh mungilnya.
Di culik?
Atau
Mimpi?
Yang dia cemaskan adalah dia merasakan sakit saat mencubit pipinya, memberitahukan jika saat ini dia tidak sedang bermimpi. Ini nyata!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ana_nanresje, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
11_Milik Caramondy
Aya terbangun saat merasakan sakit diperutnya, cacing-cacing di perutnya sedang demo membuat tidur Aya terganggu dan harus bangun dari dunia mimpinya. Matanya melirik kearah jam weker yang berada di atas nakas, dan dia mengesah saat meliat jarum kecil itu menunjuk ke angka dua.
Sensasi dingin dia rasakan saat kaki polos itu menginjak marmer. Pencahayaan yang minim membuat matanya menyipit karena nyawanya belum sepenuhnya terkumpul. Tangannya segera menutup mulutnya saat menguap, meregangkan ototnya sesaat yang terasa kaku.
Matanya kembali melirik pelan, arah yang dia tuju adalah pintu kamarnya. Dimana dia harus keluar dari pintu itu lalu turun menuruni anak tangga menuju dapur untuk mengisi perutnya yang kosong.
Semua lampu dimatikan kecuali lampu utama yang berada di lantai dasar. Tapi langkah kakinya terhenti saat mendengar suara orang yang sedang berbicara di balik pintu kerja suaminya yaitu Caramondy.
Awalnya dia tidak memperdulikannya tapi saat gendang telinganya mendengar nama kakaknya Azka disebutkan Aya menghentikan langkahnya. Sempat ragu untuk menguping pembicaraan orang lain, tapi karena rasa penasaran akhirnya Aya mengikuti egonya.
Perlahan kakinya mendekat kearah pintu, satu daun telinganya dia tempelkan pada daun pintu, indra pendengarannya sengaja dia tajamkan agar bisa mendengar dengan baik apa yang sedang mereka bicarakan.
Meskipun Aya menajamkan indra pendengarannya tetap saja dia tidak dapat mendengar apa-apa lagi selain nama kakaknya sebelumnya. Seolah olah mereka sengaja berbicara pelan entah karena memang itu rahasia atau mengingat waktu yang sudah masuk ke dini hari dan mereka takut suara mereka akan mengganggu yang lainnya yang sedang tidur.
Menyerah. Akhirnya Aya melangkahkan kakinya dan meninggalkan mereka tanpa mendapatkan informasi apapun. Meskipun dia masih penasaran, tapi rasa laparnya tidak dapat lagi dia tahan.
Matanya memperhatikan setiap sudut dapur. Entah makanan apa yang bisa mengganjal perutnya yang kosong. Tangannya bergerak cepat mencari sesuatu entah itu apa. Dan senyumnya mengembang saat apa yang tengah dicarinya dia temukan. Sebuah mie instan yang mudah untuk dia masak, tanpa ba bi bu lagi Aya segera memasak air untuk memasak mie nya.
Sambil menunggu air mendidih Aya menyandarkan tubuhnya pada lemari pendingin dengan sebatang cokelat ditangannya. Mulutnya mengunyah makanan manis itu dan sesekali menengok kearah kompor untuk mengecek airnya. Dia menyimpan sisa cokelatnya saat melihat air yang sudah mendidih. Setelah itu dia terlihat sibuk dengan mie yang akan mengisi perutnya.
Mengesah pelan. Itulah yang saat ini pria bermata cokelat itu lakukan. Hawa panas dalam tubuhnya seakan akan ikut membakar isi kepalanya. Kakinya menuruni anak tangga dengan cepat, saat ini dia membutuhkan air dingin utuk mendinginkan pikirannya juga.
Dengan cepat dia membuka lemari pendingin lalu mengambil sebotol air mineral yang langsung dia buka. Dan setelah menutup pintu lemari pendingin, air yang sudah masuk kedalam mulutnya menghambur keluar karena terkejut.
UHUK
Dia segera mengusap mulutnya membersihkan sisa air yang menyembur tadi " Kamu tidak apa?" Sedikit cemas, pria itu yang tak lain adalah Kavin segera menghampiri Aya dengan wajah yang basah karena ulahnya. Bukan itu saja, dia tersenyum kikuk saat Aya menatap malang pada mienya yang sepertinya belum tersentuh sama sekali.
Kavin segera menarik beberapa lembar tissu yang terdapat di dapur lalu membersihkan muka Aya yang masih terlihat datar " Kenapa kamu mengejutkanku?" Aya segera menyimpan mie tadi di dekat kompor, matanya menatap sinis pada Kavin.
" Brengsek!" Dengan sekali gerakan Aya mengusap kasar wajahnya dengan tangannya. Aya melipat tangan di dadanya dan perlahan kakinya mulai melangkah.
" Serius aku nggak sengaja." Kavin berusaha meyakinkan Aya namun wanita itu sudah terlanjur kesal padanya. Sedikit dendam di hatinya masih mendarah daging tentang pertengkaran kemarin, dan menurutnya saat inilah waktu yang tepat untuk memberi pelajaran padanya.
" Kemarin apel, sekarang mie. Nanti besok apa lagi huh?" Aya menatap nyalang padanya. Tidak sedikitpun rasa takut yang Kavin perlihatkan padanya. Tapi lebih ke frustasi dan lelah. Karena pada dasarnya saat dia turun ke bawah pun untuk mendinginkan pikirannya bukan bertengkar dengan istri orang.
" Aku benar-benar minta maaf. Aku akan membuatkan yang baru untukmu."
" Aku tidak membutuhkannya," Serga Aya cepat " Rasa lapar ku menghilang saat melihat wajahmu yang menyebalkan."
" Maaf," Terdengar tulus sampai sampai Aya hampir luluh saat mendengarnya. Tapi secepat kilat dia segera menangkis perasaan iba itu. Karena rasa laparnya sudah hilang jadi tidak ada gunanya lagi dia berada disana, Aya pun hendak pergi dari dapur tapi karena pencahayaan yang minim dan tidak hati hati, Aya tidak sengaja menginjak sisa cokelatnya yang jatuh pada genangan air tadi sehingga Aya oleng dan hampir kehilangan keseimbangan tubuhnya jika Kavin tidak membantunya.
" Kamu tidak apa?" Lagi dan lagi nada bicara pria itu tidak sama dengan sebelumnya. Aya segera menarik diri dari rangkuhan Kavin dan berusaha menetralkan pikirannya.
" Terimakasih," Ucap Aya seperlunya. Langkahnya kembali tertahan saat kakinya ingin melangkah dan ternyata Kavin lah yang mencekal tangannya.
Aya mengerutkan keningnya saat Kavin menunjuk pada sudut bibirnya. Aya berusaha meraba bibirnya dan sepertinya dia tidak dapat menemukan petunjuk dari Kavin sehingga pria itu sendiri yang menyentuh sudut bibir Aya.
" Makan cokelat aja belepotan, udah kaya anak kecil." Aya terdiam. Kavin masih membersihkan sisa kotoran itu yang terdapat di sudut bibirnya. Namun pergerakannya terhenti saat hidungnya menghirup aroma yang tak asing untuknya.
" Mau apa?" Aya menyilangkan tangannya di depan dadanya saat Kavin mencondongkan tubuhnya untuk lebih dekat dengannya. Pria itu sempat terpejam sesaat lalu menghirup aroma dalam dalam milik tubuh Aya.
" Kamu!" Aya sempat ingin mendorong dada pria itu namun usahanya sia-sia saat Kavin terlebih dulu mencekal tangannya.
" Apa Ramon yang membelikannya untukmu?" Tanya Kavin " Parfum mu?"
Aya menggelengkan kepalanya " ini pilihanku sendiri,"
Seulas senyuman tipis terbit dari bibirnya Kavin mengangguk pelan di depan Aya sampai membuat wanita itu bingung " Setelah aku memikirkannya ternyata kalian tidak jauh berbeda."
" Kalian?" Ulangi Aya dengan bingung.
Lagi dan lagi Kavin hanya tersenyum " Sepertinya kamu tidak mengenal dengan baik siapa suamimu sebenarnya," Aya semakin dibuat penasaran oleh perkataan Kavin yang membentuk sebuah teka teki. Kali ini Aya lah yang mencekal tangan Kavin saat pria itu ingin melangkahkan kakinya.
" Siapa? Siapa orang yang kamu maksud yang tidak jauh berbeda denganku? Dan lagi ada apa dengan Mondy? Kenapa kamu berbicara seperti itu?"
" Aku tidak berhak untuk menjelaskannya. Lebih baik kamu tanya saja pada suamimu itu."
" Kavin,"
" Apa?" Jawabnya " aku sudah berusaha untuk melupakannya tapi ini sangat sulit."
Cup
Aya membulatkan matanya sesaat, setelahnya dia melayangkan tamparan yang cukup keras pada pipi Kavin " Berani sekali kamu mencium ku? Apa kamu lupa? Aku ini istri sepupumu brengsek. Dan lagi walaupun aku bukan istrinya kamu tidak berhak menyentuhku apalagi mencium ku seperti tadi!"
Melihat Aya yang terlihat murka Kavin hanya tersenyum tipis sebagai responnya. Bahkan tamparan yang dia dapatkan dari tangan Aya tidak sebanding dengan rasa sakit yang dulu dia rasakan " Ramon sangat beruntung memiliki istri sepertimu. Sepertinya tuhan masih memihak padanya." Setelah mengatakan kalimat terakhirnya, Kavin segera pergi dan meninggalkan Aya dengan kebingungannya.
Wanita itu berfikir keras mencoba untuk memecahkan teka teki yang baru saja Kavin berikan " Aiss. Aku benci situasi seperti ini!" Aya mengembuskan nafasnya kasar " sebenarnya apa tujuan dia berbicara seperti itu? Ya tuhan, cobaan apa lagi ini?" Aya sempat memijit pelipisannya yang tiba-tiba terasa pening. Dia memutuskan untuk kembali ke kamarnya meskipun saat ini otaknya tengah berfikir keras.
DUKKK
" Awsss," Aya mengusap keningnya yang terasa sakit karena menabrak pintu kamarnya sendiri. Dia merutuki dirinya sendiri karena kembali kurang hati-hati. Dengan mulut yang masih meringis kesakitan Aya membuka pintu kamarnya, masih gelap itu tandanya Ramon belum kembali dari ruang kerjanya.
DUKKK
Dan kali ini lumayan cukup kencang bahkan membuat Aya hampir mati rasa " Jidat Aya," tangannya terus mengusap keningnya tanpa tahu benda apa yang kembali dia tabrak.
Lampu di samping nakas menyala memberikan sedikit pencahayaan di ruangan itu " Kanaya?" Ramon segera memegang kedua bahu Aya saat wanita itu akan kehilangan keseimbangannya. Dia membantu Aya untuk duduk di sisi ranjang.
" Sakit," Aya merengek dengan mata yang nyaris menumpahkan cairan kristal berwarna jernih. Ramon segera mengambil alih tangan Aya lalu mencoba meniupi keningnya.
" Masih sakit?" Aya mengangguk. Ramon mengusap jidat aya dengan pelan " Kamu habis dari mana?"
" Dapur,"
" Dapur?" Ulang Ramon " Kamu ngapain kesana? Itu bahaya buat kamu!"
" Tapi buktinya aku nggak apa-apa," Jawab Aya " Tapi...."
" Tapi apa?"
" Tadi aku ketemu Kavin terus kena sembur. Bukan itu aja dia juga cium pipi aku." Aya membekap mulutnya karena keceplosan. Matanya melirik pelan kearah Ramon yang tiba tiba berubah menjadi dingin.
" Pipi mana?" Aya menunjuk pipi kirinya dengan ragu. Tatapan Ramon membuatnya merasa terintimidasi.
" Berapa kali?"
" Sekali, aku juga bahkan sempet nampar dia." Adunya.
" Coba sini," Ramon menarik bahu Aya dan membuat wanita itu menghadap kearahnya. Perlahan tangannya mengusap pipi kiri Aya yang telah dikecup oleh sepupunya itu " Saya tidak suka milik saya di sentuh oleh orang lain. Apa lagi dia sampai mencicipinya. Kamu adalah hak saya, milik saya dan kepunyaan saya. Jadi selama kamu masih berstatus istri saya hanya saya yang berhak atas tubuh kamu."
Cup
Ramon mengecup pipi kiri Aya tepat di tempat yang Aya tunjukkan tadi " Saya ingin menghapus bekas Kavin dan memenuhi tubuh kamu dengan kepunyaan saya!"
Cup
Cup
Cup
Dari pipi kiri berpindah ke kanan. Naik ke kening lalu turun kehidung " Ingat kamu hanya milik saya!" Ucapnya Tegas. Ramon memiringkan kepalanya lalu menempelkan dua benda kenyal itu. Rasa manis seperti madu, yang entah kenapa sekarang menjadi candunya sejak kejadian malam itu. Ingin mencicipinya bahkan menyentuhnya, tapi Ramon berusaha menahannya. Sampai akhirnya kesabarannya habis saat Aya mengatakan jika Kavin dengan beraninya mencium Aya.
Dibalik perlakuannya yang lembut terhadap Aya bahkan sampai membuat istrinya terbuai. Di dalam tubuhnya, darahnya sudah mendidih ingin melampiaskan amarah pada sepupunya itu. Tanpa tahu diri dengan beraninya dia menyentuh istrinya.
Tapi Ramon menyampingkan ego dan amarahnya. Kegiatannya malam ini harus dia tuntaskan bahkan jika perlu benih darinya harus segera membuahi rahim Aya agar orang lain tak lagi berani menyentuh yang sudah menjadi miliknya. Dan masalah sepupunya dia akan mengurusnya nanti.