Seorang wanita penipu ulung yang sengaja menjebak para pria kaya yang sudah mempunyai istri dengan cara berpura - pura menjadi selingkuhannya . Untuk melancarkan aksinya itu ia bersikeras mengumpulkan data - data target sebelum melancarkan aksinya .
Namun pekerjaannya itu hancur saat terjadi sebuah kecelakan yang membuatnya harus terlibat dengan pria dingin tak bergairah yang membuatnya harus menikah dengannya .
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mila julia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11.Taman Tanpa Gerbang.
Hari-hari pertama setelah pernikahan terasa seperti berjalan dalam taman yang dirancang indah, tapi dikelilingi pagar listrik tak kasat mata. Tristan tidak melarang ku pergi, tidak juga memaksaku menetap. Tapi setiap kali aku berdiri di ambang pintu rumah besar itu, ada sesuatu yang menahan langkah—bukan tangan, tapi tatapan para asisten rumah tangga, sopir, satpam, bahkan juru masak yang baru saja diganti oleh chef pribadi bernama Alberto.
﹘﹘﹘
Mereka tak pernah berkata apa-apa. Tapi mata mereka seperti menanyai tiap gerakanku. Dan entah bagaimana, semua pintu yang kupilih untuk buka selalu punya alasan untuk tertutup.
Pernah aku berkata pada Tristan, “Aku ingin kembali ke apartemen. Ambil buku, beberapa barang pribadi.”
“Bilang saja mau buku apa. Aku suruh kurir.” Ucapnya cepat, tenang.
“Aku lebih suka ambil sendiri.”
Ia hanya tersenyum. “Aku lebih suka kau tetap di sini.”
Itu bukan permintaan. Itu perintah yang dibungkus dengan senyum manis.
﹘﹘﹘
Kamar tamuku diubah total. Lemariku diisi puluhan pakaian desainer, sepatuku berjejer seperti museum mode. Meja rias baru, koleksi parfum mahal yang belum pernah kudengar, dan satu ponsel baru—katanya “untuk mengamankan komunikasi dari gangguan pihak luar.”
Tapi aku tahu maksudnya: memutus jalur ke Kalea.
Untungnya aku sudah belajar. Ponsel lamaku tetap tersembunyi di bawah bantal, mode senyap. Tiap malam, aku kirim satu kata ke Kalea: selamat, masih hidup, belum hilang akal.
Tristan memperlakukanku seperti ratu. Dan itulah yang paling menakutkan.
﹘﹘﹘
Setiap pagi ia menyesuaikan sarapan dengan seleraku. Sekali waktu aku menyebut nasi goreng jadul ala panti. Besok paginya, Alberto menyajikannya persis seperti buatan Kalea—dengan telur mata sapi, irisan timun, dan kerupuk udang.
Aku menangis dalam hati. Bukan karena rasanya enak. Tapi karena aku sadar: Tristan sedang memetakan isi hatiku untuk dikuasai satu per satu.
Setiap langkahku direkam. Aku tahu, karena aku pura-pura tersesat di lorong dan melihat kamera kecil tersembunyi di rak buku, dapur, balkon, bahkan kamar.
Aku tahu karena lampu merah kecilnya berkedip saat aku berpura-pura menangis sambil memeluk bantal.
﹘﹘﹘
Hari ketujuh, aku mencoba berbohong.
“Aku ingin ikut kursus bahasa Jepang, dua kali seminggu,” kataku saat sarapan.
“Aku kirim gurunya ke rumah,” jawabnya.
“Aku butuh suasana luar.”
“Suasana luar bisa berbahaya,” ucapnya tenang. “Ada kamera wartawan, orang-orang yang membenciku, dan… pria yang mengira kau masih bebas.”
Aku menatap wajahnya yang tenang. “Kau takut aku kabur?”
“Tidak,” katanya. “Aku takut kau hilang sebelum tahu kenapa aku memilihmu.”
﹘﹘﹘
Malam itu, aku nyalakan laptop lamaku—yang diam-diam dikirim Kalea sebelum pernikahan. Aku mulai menulis.
Bukan jurnal. Bukan puisi.
Tapi laporan. Detil.
Setiap kata yang diucapkan Tristan. Setiap benda baru di kamarku. Kebiasaan Marsha. Kebiasaan Clarissa. Posisi kamera. Semua.
Kusimpan dalam folder bernama “pengingat menstruasi.” Kata sandinya hanya Kalea yang tahu.
Aku belajar. Aku menyusup. Seperti janji kami.
﹘﹘﹘
Satu sore, aku berdiri di balkon membaca. Tristan muncul tanpa suara di belakangku.
“Kelihatan bosan,” katanya.
“Bukan bosan,” aku menjawab tanpa menoleh. “Sedang mencoba mengingat siapa aku.”
“Aurora,” katanya, “istri sah Tristan Dirgantara.”
“Tidak,” aku pelan. “Aurora—anak panti, sahabat Kalea, mantan pelayan kafe yang suka majalah usang dan tertawa lihat iklan jamu.”
Tristan tertawa. “Makhluk langka.”
“Dan kau terlalu sering berusaha mengawetkan makhluk langka,” bisikku.
Ia menyentuh punggungku. Sentuhan yang seharusnya menghangatkan, tapi membuatku ingin kabur.
﹘﹘﹘
Malam itu aku menyelinap ke ruang kerjanya. Tak terkunci.
Di sana, kutemukan lukisan ibunya—wajah lembut, mata sendu, mirip Tristan.
Di mejanya, ada bingkai foto Tristan kecil. Di sisi lain… kotak kecil dari kulit hitam.
Ku buak—dan kutemukan flashdisk.
Tak ada nama. Hanya satu file di dalamnya.
Ketika kubuka—itu… rekaman malam pertama kami di apartemen.
Aku hampir muntah.
Dia menyimpan itu. Dia mengawasi semuanya.
Tapi aku tidak hancur. Aku salin file itu. Satu ke drive pribadi. Satu kukirim ke Kalea: “Kunci cadangan.”
Untuk pertama kalinya sejak menikah, aku menangis bukan karena takut.
Tapi karena marah.
﹘﹘﹘
Aku bukan hanya dijadikan istri.
Aku dijadikan properti.
Tapi ini belum selesai.
Aku masih bisa memilih siapa aku.
Dan siapa yang akan ku bunuh—
Dengan cara yang paling elegan.
.
.
.
Bersambung